Ada peluang memperbesar ceruk pasar teh Indonesia di kancah global. Perbaikan mutu produk dan peningkatan daya saing menjadi kunci untuk merebut pasar teh dunia tersebut.
Oleh
M Paschalia Judith J dan Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berupaya merebut pasar teh dunia dengan memanfaatkan pertumbuhan konsumsi teh yang terus tumbuh. Agar ekspor teh berdampak optimal hingga ke tiap mata rantai nilai dari hulu ke hilir, pelaku industri perlu memperkuat daya saing dari segi diversifikasi produk, kemasan, promosi, hingga citra pemasarannya.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), teh merupakan minuman paling banyak dikonsumsi di dunia setelah air putih. Dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan konsumsi teh per kapita mencapai 2,8 persen per tahun. Namun, Indonesia belum terhitung sebagai pemasok terbesar tersebut. Empat besar negara produsen teh dunia, menurut FAO, adalah China, India, Kenya, dan Sri Lanka.
”Tren ekspor teh Nusantara tengah menurun. Dunia kehilangan 42.000 ton teh dari Indonesia. Oleh sebab itu, saat ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengambil kembali pasar teh dunia,” kata Ketua Umum Dewan Teh Indonesia Rachmad Gunadi dalam webinar memperingati Hari Teh Internasional, Jumat (21/5/2021).
Untuk mewujudkan rencana itu, kata Rachmad, ia berencana untuk menggelar Festival Teh Nusantara yang mengundang perwakilan dari sejumlah negara. Harapannya, festival ini dapat menjadi pintu masuk bisnis untuk memasarkan teh Indonesia ke luar negeri.
Teh merupakan minuman paling banyak dikonsumsi di dunia setelah air putih. Dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan konsumsi teh per kapita mencapai 2,8 persen per tahun.
Secara terpisah, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor teh dengan pangsa pasar terbesar Malaysia (13,91 persen), Rusia (12,67 persen), dan Australia (8,83 persen. Pada Januari-Maret 2021, negara-negara itu berkontribusi terhadap ekspor teh Indonesia yang senilai 23,44 juta dollar AS.
Di sisi lain, pada periode tersebut, ekspor teh ke China dan Inggris naik sangat signifikan masing-masing sebesar 494,09 persen dan 134,5 persen. ”Mulai pulihnya perekonomian kedua negara tersebut dari imbas pandemi Covid-19 mendorong permintaan teh global, termasuk Indonesia,” ujar Kasan.
Namun, kata Kasan, dalam lima tahun terakhir (2016-2020), tren ekspor teh Indonesia turun 5,2 persen. Pada 2016, ekspor teh Indonesia senilai 113,1 juta dollar AS. Nilai tersebut turun menjadi 92,3 juta dollar AS pada 2019 dan 96,33 juta dollar AS.
Tren penurunan ini terjadi lantaran suplai teh di Indonesia mulai berkurang di tengah tingginya permintaan teh global, terutama selama pandemi. Sisi suplai ini perlu kembali ditingkatkan untuk menangkap peluang permintaan global.
Tren penurunan ini terjadi lantaran suplai teh di Indonesia mulai berkurang di tengah tingginya permintaan teh global, terutama selama pandemi.
”Pemerintah tetap akan mempromosikan produk teh Indonesia agar semakin mengglobal. Pemerintah juga telah memfasilitasi beragam produk teh Nusantara untuk diperdagangkan melalui platform e-dagang dan memperkuat citranya dengan sertifikat Indikasi Geografis,” kata Kasan.
Sementara itu, Direktur Marketing Holding Perkebunan Nusantara Dwi Sutoro mengatakan, kinerja teh sedang menghadapi masa yang menantang selama sepuluh tahun terakhir. ”Salah satu penyebabnya adalah perubahan permintaan konsumen lebih cepat dibandingkan kemampuan adaptasi. Kami memahami, kinerja ekspor teh Indonesia bergantung pada PT Perkebunan Nusantara,” ujarnya.
Kondisi yang ia maksud tecermin dari penurunan kinerja ekspor teh Holding Perkebunan Nusantara dalam tiga tahun terakhir. Sepanjang 2018 hingga 2020, nilai ekspor teh perseroan masing-masing sebesar 23 juta dollar, 19 juta dollar, dan 15 juta dollar AS.
Oleh sebab itu, Dwi menilai, Hari Teh Internasional 2021 menjadi momentum kebangkitan kinerja ekspor teh perusahaan. Dia menargetkan nilai ekspor teh tahun ini kembali pada posisi 2018, yakni 23 juta dollar AS.
Demi mencapai target tersebut, Holding Perkebunan Nusantara mendekati sejumlah perusahaan internasional yang bergerak di industri hilir teh. Perusahaan juga meriset mengenai kualitas, varian, hingga kelas (grade) teh yang diminati di sejumlah negara potensial sasaran ekspor. Setelah meriset, perusahaan akan mengarahkan perkebunan untuk memproduksi daun teh sesuai dengan kualitas, varian, dan kelas yang diminati pasar.
Perusahaan juga meriset mengenai kualitas, varian, hingga kelas (grade) teh yang diminati di sejumlah negara potensial sasaran ekspor.
Perusahaan lain yang bergerak di industri teh adalah PT Mitra Kerinci, anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). Luas areal perkebunan teh yang dikelola Mitra Kelinci mencapai 2.025 hektar. Korporasi juga bermitra dengan 70 petani teh dari dua koperasi.
Direktur Komersial Rajawali Nusantara Indonesia Frans Marganda Tambunan menyebutkan, ekspor teh PT Mitra Kerinci pada 2018 hingga 2020 secara berturut-turut sebanyak 103,7 ton, 71,27 ton, dan 103,8 ton. ”Kami berupaya mempertahankan mutu produk, pelayanan, dan standar pemenuhan setiap permintaan pembeli sesuai kesepakatan,” katanya.
Nilai tambah
Founder PT Koleksi Teh Indonesia, Wahyu Raja Galuh, berpendapat, nilai tambah teh Indonesia belum optimal sehingga dampak pada kesejahteraan petani kurang signifikan. Teh Indonesia yang diekspor dalam bentuk karung harganya berkisar Rp 55.000-Rp 100.000 per kilogram. Namun, teh yang sama dengan kemasan dan citra perusahaan luar negeri dapat mencapai Rp 2,5 juta per kg. Selisih harga itu tidak dinikmati oleh petani teh dalam negeri.
Oleh sebab itu, dia menilai, pemain teh Nusantara mesti berupaya keras memperkuat citra produk dan meningkatkan daya saing. Langkah ini dapat memberikan nilai tambah bagi teh Indonesia dan menyejahterakan petani teh itu sendiri.