Proses pendataan desa secara partisipatoris hendaknya tidak berhenti semata-mata sebagai kumpulan angka. Penggunaan data perlu diperluas untuk menentukan pembangunan desa, termasuk menjalin kerjasama dengan desa lain.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendataan desa secara partisipatoris hendaknya tidak berhenti semata-mata sebagai kumpulan angka, terlebih sekadar berhenti menentukan perencanaan proyek-proyek yang menggunakan dana desa. Perspektif penggunaan data desa harus diperluas supaya kesejahteraan masyarakat desa bisa lebih baik.
Becermin pada penyebaran Covid-19 yang akhirnya membuka mata terhadap seluk-beluk keterbatasan desa selama ini, seperti keterbatasan sarana teknologi maupun jaringan internet, pemanfaatan data desa yang akurat menjadi sangat penting. Pengelolaan perekonomian desa diperkirakan nyaris berubah seiring pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.
Founder Gerakan Inovator 4.0 Budiman Sujadmiko dalam diskusi ”Kuasa Data dan Gotong Royong di Era Digital” secara virtual di Jakarta, Kamis (20/5/2021), mengatakan, data desa yang kini sedang diakumulasi bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) berbasis Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) hanyalah satu aset desa.
Pengelolaan perekonomian desa diperkirakan nyaris berubah seiring pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.
Di balik data yang terkumpul, ada tujuh aset yang merupakan asasi desa yang tak boleh diabaikan. Ketujuh aset tersebut adalah ruang wilayah desa, infrastruktur sarana dan prasarana desa, sumber daya alam, kapital atau kas desa, pengetahuan literasi informasi, komunitas organisasi masyarakat, dan kekuasaan yang dicerminkan dalam keterwakilan atau musyawarah desa.
Menurut Budiman, pandemi semestinya membuka mata masyarakat untuk melihat adanya kebutuhan akan teknologi. Anak-anak harus belajar secara daring membutuhkan komputer atau telepon seluler. Tidak cukup hanya itu, butuh juga jaringan internet.
”Saling berbicaranya data ini bisa dimasukkan dalam RPJM-Des, RKP-Des, RPD-Des, maupun perencanaan bisnis BUMDes. Apalagi, di era pandemi sekarang ini, pergerakan data yang berkaitan dengan antisipaasi penyebaran virus akan menentukan direkomendasikan secara otomatis terhadap perlu atau tidaknya penutupan wilayah,” jelas Budiman.
Karena itu, imbuh Budiman, jangan sampai akumulasi data hanya tertinggal menjadi data mati. Bukan hanya terkait kesehatan, data desa juga bisa digunakan untuk menentukan perencanaan pembangunan desa. Bahkan, termasuk memprediksi hasil panenan, riset penelitian dan teknologi pertanian, hingga mengetahui kapasitas kemampuan desa untuk bisa menjalin kerja sama dengan desa lain atau perusahaan swasta dalam maupun luar negeri.
”Dunia sedang bergerak, berlari, bahkan melompat ke arah (teknologi digital) sana. Desa harus berani melompat, punya dana desa dan BUMDes. Pakailah semua itu sebagai sumber daya manusia desa,” kata Budiman.
Bahkan, termasuk memprediksi hasil panenan, riset penelitian dan teknologi pertanian, hingga mengetahui kapasitas kemampuan desa untuk bisa menjalin kerja sama dengan desa lain atau perusahaan swasta dalam maupun luar negeri.
Ivanovich Agusta, Kepala Pusat Data dan Informasi Kemendesa PDTT, mengatakan, tren 12 bulan terakhir menunjukkan pendataan desa terus meningkat. Bahkan, pendataan berbasis SDGs jauh lebih tinggi dibandingkan isu Kemendesa PDTT, Pendampingan Desa, dan BUMDes.
Berdasarkan data Kemendesa PDTT, pemutakhiran data desa berbasis SDGs Maret-Mei 2021 telah menyurvei 16.389 desa (19,64 persen) yang di dalamnya terdapat warga sekitar 35 juta orang dan 13 juta keluarga.
”Selama ini, kita mempunyai data untuk mengetahui hal-hal yang dominan dimiliki desa. Namun, data tersebut tidak teroptimalkan untuk mendorong percepatan pembangunan dan kesejahteraan desa. Padahal, data ini memiliki kuasa untuk mengidentifikasi warga dan kebutuhannya secara transparan,” kata Ivanovich.
Menurut Ivanovich, klaim data ini perlu obyektif dan rasional sehingga yang diperlukan adalah pengolahannya. Dari sanalah muncul tindakan-tindakan komunikatif. Karena, sesuai basis SDGs Desa, data tersebut menyingkap kriteria, yakni spesifikasi desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa sehat dan sejahtera, pendidikan desa berkualitas, keterlibatan perempuan desa, desa yang layak air bersih dan sanitasi.
Ada pula kriteria desa berenergi bersih dan terbarukan, pertumbuhan ekonomi desa merata, infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan, desa tanpa kesenjangan, kawasan permukiman desa aman dan nyaman, konsumsi dan produksi desa sadar lingkungan. Juga, desa tanggap perubahan iklim, desa peduli lingkungan laut dan darat, desa damai berkeadilan, kemitraan untuk pembangunan desa, serta kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.
Hingga akhir Mei 2021, tahapan pertama pendataan ini ditargetkan mencapai 22.000 desa, 50 juta warga, dan 20 juta keluarga. Kemendesa PDTT menyatakan, kuasa data ini bukan untuk mengekang, melainkan untuk membantu pengembangan desa.
Sekretaris Jendeal BUMDes Indonesia Rudy Suryanto mengatakan, ”Saatnya desa menjadi pemain, bukan penonton perubahan desa. Desa menjadi tuan di masa depan.”