Kampung Lontong Surabaya Menopang Kuliner Khas Jawa Timur
Keberlanjutan kuliner khas Jawa Timur berbahan lontong turut disandarkan pada ikhtiar sekitar 100 keluarga warga RW 006 Kupang Krajan, Sawahan, Surabaya, yang memproduksi lontong sejak 1980.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Eksistensi kuliner rujak cingur, lontong balap, lontong kupang, tahu tek, tahu campur, lontong cap gomeh, lontong mi, lontong kikil, gado-gado, dan menu lain berbahan lontong di Jawa Timur, salah satunya bersandar pada ikhtiar warga kampung lontong RW 006 Kupang Krajan, Sawahan, Kota Surabaya.
Bagaimana tidak, hampir 100 keluarga di Jalan Banyuurip Lor Gang 2, 5, 6, 8, 9, 10, dan 11 setiap harinya memproduksi masing-masing 250-1.000 lontong. Dari kampung yang dibelah jaringan saluran sekunder itu, setiap harinya diproduksi dan dipasarkan 25.000-100.000 lontong untuk konsumen di Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, dan Pasuran. Bahkan, sampai Bangkalan dan Sampang di Madura.
”Selama rujak cingur, lontong balap, dan semua kuliner berbahan lontong masih dijual dan digemari warga Jawa Timur, kampung ini akan terus bertahan membuat lontong,” kata Sugianto (58), warga Banyuurip Lor Gang 10, Selasa (11/5/2021).
Modal terbesar adalah tenaga dan mau menderita.
Saat Lebaran, Kamis-Jumat (13-14 Mei 2021) misalnya, pesanan melonjak 2-3 kali lipat. Artinya, dari kampung ini saja meluncur 75.000-300.000 lontong dalam sehari. Jumlah itu belum termasuk pesanan khusus kupat atau ketupat yang tak semasif lontong.
Warga Jatim masih menghidupi tradisi Lebaran Kupat yang jatuh sepekan setelah Idul Fitri 1 Syawal. Artinya, Lebaran Kupat tahun ini akan dirayakan pada Kamis (20/5/2021), bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. ”Karena ada Lebaran, ada juga yang pesan kupat. Kalau saya hanya ketambahan diminta bikin 100 kupat,” kata Yulianti, perajin lontong di Banyuurip Gang 6.
Sebelum tahun 1980, kampung lontong Banyuurip belum ada. Warga di sana dikenal sebagai perajin tempe. Namun, persaingan dalam pembuatan dan pemasaran tempe kian ketat. Jumlah perajin bertambah dan produk bersaing dengan produk serupa dari Malang dan Jawa Tengah (Pekalongan). Sentra tempe Banyuurip lambat laun meredup.
Penuturan warga, awalnya ada perempuan bernama Ramiah atau Mbok Ramiah atau Bulik Ramiah yang memulai membuat lontong. Ia menjual lontong dan tempe buatannya di pasar terdekat. Namun, lontong lebih laris. Lama-kelamaan, Ramiah (almarhum) lebih fokus membuat lontong.
Warga lain bernama Muntirah mengikuti jejak Ramiah dan sukses. Setidaknya, sejak 1990 semakin banyak warga Banyuurip Lor membuat lontong. Di sisi lain, kuliner berbahan lontong seperti rujak cingur, lontong mi, lontong kikil, lontong kupang, lontong balap, tahu tek, tahu campur, dan gado-gado tetap mendapat tempat dan digemari.
Artinya, pembuat lontong akan tetap dibutuhkan selama makanan berbahan lontong digemari alias lestari. Situasi inilah yang mendorong warga Banyuurip Lor mengoordinasi, menguatkan, dan melestarikan gotong royong pembuatan lontong. Mereka telah mendirikan dan merawat keberadaan Paguyuban Pengusaha Lontong Mandiri.
Pasar atau permintaan tak pernah kenal kompromi. Produsen lontong mau tak mau harus memenuhi. Semakin besar memenuhi permintaan, potensi mengeruk rezeki juga membesar.
Winarti, produsen lontong, mengatakan, dalam sehari dapat membuat 1.500 lontong siap konsumsi. Untuk produksi itu, diperlukan setidaknya 75 kilogram beras, 3 bal setara 200 lembar daun pisang klutuk, dan 4 tabung gas melon ukuran 3 kilogram.
”Modal terbesar adalah tenaga dan mau menderita,” kata Winarti. Untuk membuat slontongan atau kantong yang diisi beras sebelum direbus atau dikukus menjadi lontong hingga seluruh proses selesai, setidaknya makan waktu 10-12 jam. Si pembuat terkadang hanya tidur maksimal 5 jam untuk dapat memenuhi semua pesanan.
Warga lain mengatakan, lontong yang baik ditentukan dari beras berkualitas dan daun pisang klutuk atau daun pisang batu. Jenis daun pisang ini membuat tekstur dan warna lontong merekah. Mereka membuat lontong dengan menjadikan sisi gelap daun pisang untuk bersentuhan dengan beras. Hasilnya, lontong akan kehijauan, yang banyak disukai konsumen.
”Bukan lontong yang putih bersih yang disukai, karena justru akan menimbulkan kecurigaan kalau lontong itu dibuat dengan bungkus plastik, bukan daun pisang klutuk,” kata Sugianto.
Tantangan
Pada tahun 2005, kampung lontong dibantu agar tetap bertahan dan berkembang dengan memberi kesempatan membeli beras Bulog untuk produksi lontong. Selain itu, pembuat lontong juga mendapat sosialisasi pemanfaatan briket batubara agar tak lagi menggunakan kompor minyak.
Kebakaran hebat di Banyuurip tahun 2016 mengubah sejumlah hal. Para perajin lontong yang didera bencana mulai bangkit dengan memakai kompor gas. Mereka sempat menggunakan jaringan gas PGN sebelum akhirnya beralih karena tak nyaman jika harus menanggung biaya jaminan pemasangan pipa senilai Rp 1,8 juta. Pilihan jatuh pada kompor gas dari elpiji subsidi ukuran 3 kilogram.
Mubyarto, ekonom Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, semasa hidup pernah mengatakan, untuk dapat terus berkembang, aktivitas ekonomi masyarakat ada keswadayaan berupa semangat melepaskan kebergantungan berdasarkan sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks ini, keberadaan kampung lontong setidaknya memenuhi pernyataan Mubyarto tentang keswadayaan.
Kampung lontong di Surabaya dibangun dari kecerdikan dan semangat memanfaatkan sumber daya beras dan daun pisang meski dipasok dari daerah lain. Seiring perjalanan yang naik-turun, kampung lontong bertumbuh bersama puluhan kampung lain, seperti kampung kue, kampung bordir, kampung batik, dan kampung tempe yang bertahan meski skala rumahan.
Puluhan tahun meniti waktu, kampung lontong berhasil menghidupi generasi kelahiran 1990 sampai sekarang. Kecukupan hidup, kepemilikan rumah, dan pendidikan anak-anak terpenuhi dari usaha membuat dan memasarkan lontong. Bagi warga kampung lontong, usaha itu akan terus digeluti tanpa henti, sampai akhir hidup atau penganan ini tak lagi dibutuhkan seiring punahnya berbagai kuliner tradisional berbahan lontong.