Peningkatan permintaan konsumen saat Ramadhan-Lebaran semestinya jadi momentum bagi petani dan peternak untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik atas hasil panennya. Namun, situasi justru sering kali sebaliknya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Selama Ramadhan-Lebaran 2021, pemerintah berjibaku mengendalikan harga bahan pangan pokok. Namun, langkah yang diambil tak jarang justru dirasa merugikan petani dan peternak sebagai produsen pangan.
Petani dan peternak sepatutnya menikmati kenaikan permintaan masyarakat selama periode itu. Apalagi, petani tengah panen raya. ”Semestinya petani dapat menikmati ’surga’ seperti di hari raya ini. Bagi mereka, situasi pasar yang menguntungkan selama Ramadhan-Lebaran bisa menjadi ’tunjangan hari raya (THR)’ yang cukup,” ujar Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah, Selasa (11/5/2021).
Sayangnya, kebijakan pangan pemerintah lebih berorientasi pada konsumen. Fenomena ini berulang menekan harga di tingkat produsen. Idealnya, pemerintah mengakomodasi kepentingan konsumen sekaligus produsen pangan. Realitasnya, kata Said, pemerintah lebih takut terjadi gejolak di tingkat konsumen karena harga pangan yang berisiko pada stabilitas politik.
Nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan dan peternakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), cenderung di bawah titik impas 100. Artinya, indeks nilai yang diterima lebih kecil dibandingkan dengan indeks harga yang dibayarkan petani. Pada April 2021, NTP tanaman pangan berada di posisi 96,24, sedangkan NTP peternakan 98,99.
Berdasarkan data BPS, sebanyak 29,59 persen penduduk bekerja di sektor pertanian pada Februari 2021. Namun, upah buruh di sektor ini hanya Rp 1,93 juta per bulan, jauh di bawah rata-rata upah buruh nasional yang Rp 2,86 juta per bulan.
Bulan lalu, sebagian petani padi mesti menanggung rugi karena harga jual gabahnya anjlok di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 4.200 per kilogram (kg) kering panen. Sementara peternak ayam tekor karena harus menanggung kenaikan ongkos produksi seiring naiknya harga pakan dan jagung, sementara harga jualnya stagnan.
Menurut Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah Pardjuni, para peternak ayam pedaging merugi karena harga jual ayamnya tetap Rp 19.000-Rp 20.000 per kg, sementara biaya produksinya terdongkrak kenaikan harga pakan dan bibit ayam.
Peternak sapi juga kehilangan kesempatan mendapatkan ”THR” lebih besar pada Lebaran tahun ini. Pemerintah tengah mengintervensi harga di tingkat rumah potong hewan (RPH), utamanya di Jabodetabek, dengan meminta pengelola RPH untuk tidak menerima sapi dengan harga di atas Rp 52.000 per kg bobot hidup.
Langkah ini bertujuan mengendalikan harga daging sapi di tingkat konsumen, tetapi sayangnya justru menekan insentif setahun sekali yang diandalkan peternak sapi.
Menurut Ketua Komite Pendayagunaan Pertanian Teguh Boediyana, pembatasan harga daging sapi di tingkat RPH juga menekan pelaku usaha penggemukan sapi (feedlot). Langkah pemerintah dalam membatasi harga juga menjadi sinyal ketidakpastian kebijakan harga bagi investor di sektor yang sama.
Di antara aliran THR ke dompet konsumen, adakah di antaranya yang bermuara ke kantong petani dan peternak yang setia menanam dan berproduksi meskipun hasil panennya berulang anjlok harganya?