Peraturan pemerintah terkait bank tanah diharapkan menjembatani penyediaan lahan rumah yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah. Harga lahan yang mahal menjadi salah satu pemicu kekurangan (”backlog”) rumah.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
KOMPAS/MADINA NUSRAT
Rumah sederhana dan bersubsidi menjadi unit utama yang dipasarkan perumahan The Leaf, di Desa Cibunar, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, seperti tampak pada Selasa (10/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya peraturan pemerintah tentang Badan Bank Tanah memberi harapan untuk mengurai permasalahan ketersediaan lahan bagi kepentingan publik. Namun, regulasi itu dinilai belum sepenuhnya mendorong peruntukan lahan bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah.
Ketentuan bank tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah tanggal 29 April 2021. Badan Bank Tanah merupakan badan khusus yang dibentuk pemerintah pusat dan diberi kewenangan khusus untuk pengadaan dan pengelolaan tanah.
Badan Bank Tanah memiliki kewenangan menjamin ketersediaan tanah, antara lain untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria. Pemanfaatan tanah dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
Sekretaris Umum The HUD Institute Muhammad Joni menilai, terbitnya PP tentang Bank Tanah merupakan langkah signifikan untuk mengurai permasalahan ketersediaan lahan bagi kepentingan publik. Namun, substansi PP tersebut dinilai belum signifikan mendorong peruntukan lahan bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah.
Selama ini, angka kekurangan (backlog) kepemilikan rumah Indonesia masih sangat besar, yaitu 11 juta rumah. Mayoritas warga yang belum memiliki rumah merupakan masyarakat berpenghasilan rendah, terutama karena kesulitan menjangkau harga lahan yang mahal dan pasokan yang terbatas. PP Bank Tanah seharusnya mengatur prioritas kebijakan pengelolaan bank tanah untuk peruntukan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Joni menyoroti ketentuan pengembangan tanah ataupun pengadaan tanah bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah dimasukkan dalam lingkup kepentingan umum lain yang juga bersisiran dengan kepentingan investasi nonkebutuhan dasar. Ketimpangan hukum itu dikhawatirkan menyebabkan regulasi bank tanah kurang efektif mengatasi kekurangan rumah, permukiman kumuh, dan efisiensi harga tanah.
”Muncul kekhawatiran apakah bank tanah ini akan efektif mengatasi kemahalan harga produksi rumah serta mengurangi spekulasi tanah untuk perumahan rakyat,” kata Joni, Selasa (11/5/2021).
Menurut Joni, aturan penggunaan bank tanah perlu ditindaklanjuti dengan rencana induk bank tanah yang mendorong peruntukan tanah bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, penyusunan rencana jangka pendek, menengah, dan panjang terkait pengelolaan bank tanah.
Kompas/Hendra A Setyawan
Buruh bangunan merampungkan pembangunan sebuah kluster perumahan murah baru di kawasan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/6/2020). Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat menargetkan 13 juta pekerja bisa menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat. Program ini ini diharapkan mengurangi angka kekurangan atau ”backlog” rumah di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Jumali mengemukakan, biaya perolehan tanah yang mahal telah menyebabkan harga rumah sulit terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta memicu backlog perumahan. Harga lahan yang semakin mahal juga membuat kualitas bangunan menurun demi mengejar harga jual agar terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Pihaknya berharap keberpihakan bank tanah bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah menjadi prioritas dalam aturan turunan PP Badan Bank Tanah. Prioritas peruntukan bank tanah bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah diperlukan agar masalah kekurangan rumah bisa teratasi.
Badan Bank Tanah juga dinilai perlu berperan dalam pengendalian harga tanah dengan mematok harga lahan untuk rumah masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, pengembang rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah bisa fokus membangun rumah dan menata kawasan permukiman tanpa terbebani biaya tinggi lahan.
Kompas
Hari Tani Nasional di Kota Jambi diperingati dengan unjuk rasa petani dan mahasiswa mulai dari Simpang Bank Indonesia menuju Gedung DPRD Provinsi Jambi, Selasa (27/9/2016). Petani menuntut realisasi Reforma Agraria yang dimulai dari peningkatan kesejahteraan kaum tani melalui redistribusi tanah, pemenuhan hak atas sarana produksi dan sarana pertanian, pembentukan institusi produksi, hingga jaminan pasar dan harga bagi petani.
”Diperlukan keberpihakan kuat pemerintah dalam aturan turunan yang lebih berpihak memudahkan masyarakat berpenghasilan rendah memperoleh rumah dengan harga terjangkau di lokasi yang dekat dengan akses transportasi dan bisnis,” kata Daniel.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Himawan Arief Sugoto mengemukakan, pengaturan dan pengelolaan Bank Tanah bertujuan agar tanah tidak lagi dijadikan komoditas. Sebab, selama ini banyak orang menyimpan tanah, tetapi tidak dimanfaatkan.
Pengadaan tanah, yang selama ini menitikberatkan aspek permintaan, akan ditopang dari sisi suplai dengan penyediaan tanah-tanah tersebut. Perolehan tanah untuk bank tanah didasarkan pada penetapan pemerintah, seperti tanah bekas hak, kawasan dan tanah telantar, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, serta pelepasan kawasan hutan. Selain itu, lahan yang dibeli pemerintah. Badan Bank Tanah akan menjadi pengelola tanah negara. ”Bank tanah mungkin saja merugi, tetapi masyarakat akan diuntungkan,” katanya.