Komitmen pemerintah untuk menyediakan bank tanah bagi sektor perumahan, perkebunan, dan pertanian dalam RUU Cipta Kerja membutuhkan pembuktian. Selama ini, konsep bank tanah sulit terealisasi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja melahirkan pembentukan badan bank tanah untuk pengadaan, pengelolaan, dan distribusi tanah bagi kepentingan masyarakat. Keberpihakan negara terhadap masyarakat marjinal masih perlu dibuktikan melalui terobosan ketentuan baru tersebut.
Ketentuan terkait bank tanah diatur dalam Bab VIII Pengadaan Tanah, bagian keempat tentang Pertanahan.
Badan bank tanah diamanatkan menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria. Terkait reforma agraria, paling sedikit 30 persen tanah negara untuk bank tanah.
Berdasarkan Pasal 137, sebagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat dilimpahkan kepada instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan bank tanah, dan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah. Selain itu, dapat juga oleh badan hukum milik negara/daerah dan badan hukum yang ditunjuk pemerintah pusat.
Hak pengelolaan tanah dapat digunakan sendiri atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Pembentukan badan bank tanah akan diatur dalam peraturan pemerintah. Adapun ketentuan mengenai komite bank tanah, dewan pengawas, dan badan pelaksana diatur dalam peraturan presiden. Selain badan bank tanah, RUU Cipta Kerja juga mengatur pembentukan badan percepatan penyelenggaraan perumahan yang antara lain mengelola dana konversi pembangunan rumah susun.
Pakar hukum properti, Erwin Kallo, menilai, selama ini pembentukan bank tanah merupakan wacana yang sulit terealisasi. Di sektor perumahan, pembentukan bank tanah sangat sulit, khususnya di perkotaan, karena status tanah negara tidak bebas, antara lain, sudah dihuni masyarakat. Akibatnya, negara tetap harus mengeluarkan anggaran pembebasan lahan untuk bank tanah.
Selama ini pembentukan bank tanah merupakan wacana yang sulit terealisasi.
Penyediaan bank tanah untuk perumahan masyarakat miskin juga akan menimbulkan polemik terkait kelompok penerima yang berhak. Jika pemerintah tidak mampu mengawasi peruntukannya, potensi penyalahgunaan dan salah sasaran sulit dihindari.
Erwin mengingatkan, komponen tertinggi biaya rumah adalah pajak dan lahan. Komponen pajak dan retribusi berkisar 30-40 persen dari biaya produksi yang meliputi biaya perizinan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, sera Pajak Pertambahan Nilai.
”Jika tujuan pemerintah adalah penyediaan perumahan rakyat yang terjangkau, maka pengurangan biaya perizinan dan perpajakan sudah bisa menggerus harga rumah,” katanya, Kamis (8/10/2020).
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil dalam konferensi pers RUU Cipta Kerja, Rabu (7/10/2020), menjelaskan, bank tanah, antara lain, untuk kepentingan perkebunan, pertanian, dan properti. Di sektor pertanian, tanah hak guna usaha yang telantar diambil negara untuk dimasukkan ke bank tanah dan seluruhnya akan diredistribusikan kepada masyarakat.
Bank tanah juga untuk perumahan rakyat. Saat ini masyarakat miskin tinggal semakin jauh dari pusat kota karena harga rumah di perkotaan semakin tak terjangkau.
Komite Bank Tanah terdiri atas tiga menteri, sedangkan dewan pengawas ditunjuk, antara lain, dari kelompok profesional sehingga bank tanah diawasi baik dan memberi manfaat yang diharapkan.
Ia mencontohkan, Singapura menerapkan konsep bank tanah yang dikelola otoritas tanah Singapura. Dengan konsep itu, jumlah tanah yang dikendalikan negara bertambah setiap tahun.
Secara terpisah, pengamat Properti dari Panangian School of Property, Panangian Simanungkalit, berpendapat, lahan perumahan sudah menjadi komoditas spekulasi akibat kemampuan pemerintah yang lemah dalam mengelola tanah dan ketidakmampuan pemerintah mengendalikan tata kota.
Di era 1970-an, BUMN Perumahan Perum Perumnas menguasai 90 persen lahan perumahan, sedangkan penguasaan swasta hanya 10 persen. Saat ini kondisi berbalik. Hampir 90 persen lahan perkotaan dikuasai swasta. Setiap tahun pengembang swasta rata-rata memasok rumah 190.000 unit, sedangkan Perum Perumnas hanya sekitar 10.000 unit.
Lahan perumahan sudah menjadi komoditas spekulasi akibat kemampuan pemerintah yang lemah dalam mengelola tanah dan ketidakmampuan pemerintah mengendalikan tata kota.
”Tanah perkotaan di Indonesia sudah menjadi komoditas, bahkan dikuasai mafia tanah. Penguasaan tanah di perkotaan oleh segelintir orang membuat tanah telah menjadi barang langka. Negara akan kesulitan dalam anggaran,” katanya.
Panangian menyoroti ketentuan pasal 137, yakni sebagian kewenangan hak menguasai tanah oleh negara dapat dilimpahkan ke badan hukum yang ditunjuk pemerintah pusat. Hak pengelolaan tanah juga dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Ketentuan itu dinilai membuka celah modal swasta masuk ke dalam pengelolaan hak tanah negara. (LKT)