Cita-cita menjadi negara nol emisi karbon pada 2050 sangat penting bagi pelaku pertambangan batubara. Hal ini dilatarbelakangi oleh sepertiga emisi gas karbon dioksida berasal dari pembangkit listrik berbasis batubara.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor industri dari pembangkit listrik tenaga uap yang membakar batubara tengah menekan emisi gas karbon dioksida lewat pemanfaatan teknologi serta pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Langkah ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap cita-cita Indonesia dalam menjadi negara nol emisi karbon pada 2050.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) menyebutkan tujuan Persetujuan Paris ialah membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius dari tingkat pra-industrialisasi serta melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5 derajat celsius. Indonesia menetapkan pengurangan emisi karbon sebagai bentuk kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P Sjahrir, cita-cita menjadi negara nol emisi karbon pada 2050 sangat penting bagi pelaku industri pertambangan batubara. ”Saat ini, emisi gas karbon dioksida mencapai 1,26 giga ton. Sebanyak sepertiga di antaranya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara,” katanya dalam webinar bertajuk ”Initiating Responses to Industries Transition #CreatingABetterEnvironment”, Rabu (5/5/2021).
Indonesia menetapkan pengurangan emisi karbon sebagai bentuk kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Sebagai wujud komitmen dukungan terhadap cita-cita tersebut, imbuh Pandu, industri tambang batubara telah memanfaatkan teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon (carbon capture, utilization, and storage) demi mengurangi emisi karbon dioksida. Pasokan listrik untuk operasional juga beralih dari genset berbahan bakar solar menjadi sel tenaga surya (photovoltaic).
Asosiasi juga tengah mengadakan kajian dengan pihak ketiga tentang sistem kredit dan perdagangan karbon. Pandu menilai, langkah ini akan menjadi transformasi besar pertambangan batubara dalam 2-3 tahun ke depan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pemerintah mendorong hilirisasi batubara sebagai salah satu upaya pembangunan ekonomi rendah karbon. Bentuk hilirisasinya dapat berupa gasifikasi batubara, pencairan batubara, hingga pembuatan briket.
Dia menambahkan, saat ini terdapat skema perlakuan tertentu terhadap penerimaan negara untuk mendongkrak nilai tambah batubara. Pemanfaatan skema ini diharapkan menciptakan bahan baku produksi yang kompetitif sehingga dapat menarik investasi yang berujung pada penyerapan tenaga kerja.
Pertambangan batubara dapat berkontribusi dengan memanfaatkan teknologi bersih (clean coal technology), salah satunya dengan mesin pembangkit berteknologi ultra supercritical.
Selain itu, pemerintah juga mendorong pemanfaatan teknologi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, termasuk memanfaatakan skema perdagangan karbon. ”Hal ini mengingat Indonesia menyimpan sekitar 70-80 persen cadangan karbon dunia yang berasal dari hutan mangrove, lahan gambut, dan hutan hujan tropis,” kata Luhut.
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar menyebutkan, target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia di sektor energi sebesar 314 juta ton. Pertambangan batubara dapat berkontribusi dengan memanfaatkan teknologi bersih (clean coal technology), salah satunya lewat pengoperasian mesin pembangkit berteknologi ultra supercritical.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk Suryo Eko Hadianto menyebutkan, perusahaan telah menyusun peta jalan dalam proses pertambangan batu bara. Salah satunya berupa pengurangan emisi dari penggantian alat tambang yang kini berbasis listrik.
Di acara yang sama, Presiden Direktur PT Mitrabara Adiperdana Tbk Khoirudin mengatakan, perusahaan sedang mengurangi penggunaan solar. Pada 2019, solar yang digunakan mencapai 51,8 juta liter dan menurun menjadi 49,8 juta liter di tahun berikutnya. Dia menargetkan, penggunaan solar pada 2021 menjadi 47,5 juta liter.
Sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan rendah karbon di Indonesia, Presiden Direktur dan Country Chair Shell Indonesia Dian Andyasuri menyatakan, korporasi mengembangkan solusi komprehensif bagi mitra. Solusi-solusi tersebut terdapat pada strategi bisnis dan sosial perusahaan.