Para perempuan berkarya di desa mereka. Melalui badan usaha milik desa, mereka turut serta menggerakkan ekonomi desa dan menjaga daya tahan desa pada masa pandemi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·5 menit baca
”… dan nasib saudari-saudariku sangat meminta perhatianku; aku rela membantu mereka kuat-kuat, dan siap menyerahkan apa pun korban yang dipintanya agar dapat memperbaiki nasib mereka. … Stella, katakanlah aku pengecut, goyah, tapi aku tak dapat berbuat lain; kalau Ayah melarang aku berusaha buat itu, betapapun meraung dan merintih hatiku, aku akan terima larangan itu dengan tawakal!”
(Surat RA Kartini pada Estella Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900 yang dikutip Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja)
Perempuan pegiat badan usaha milik desa atau BUMDes turut menghadapi pergolakan batin Kartini yang ingin saudari-saudarinya berdaya. Sikap derana atau tahan banting atau ketabahan mereka kini membuahkan kreativitas yang justru membuat desa mereka bertahan di tengah gelombang pandemi Covid-19.
Kreativitas itu terlihat dari langkah Putri Munira, bendahara BUMDes Sahabat.
”Begitu ada pandemi dan masyarakat membutuhkan masker, saya langsung umumkan di masjid meminta warga desa yang memiliki mesin jahit untuk melapor ke saya. Alhamdulillah, ada delapan mesin yang bisa dipakai dan pemiliknya merupakan ibu-ibu yang biasa menjahit. Saya cukup memberi arahan dan mereka memproduksi dari rumah,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (25/4/2021).
Selama enam bulan sejak pandemi melanda, BUMDes Sahabat mampu memproduksi 30.000 masker, termasuk pakaian alat pelindung diri dan wajah. Dia juga bergerilya mencari pasar dengan meminta alokasi pengadaan masker di tingkat pemerintah daerah. Komisi Pemilihan Umum yang tengah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah setempat dan memerlukan masker juga dia bidik agar membeli dari BUMDes yang dikelolanya.
BUMDes Sahabat yang berada di Desa Semamung, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, berdiri sejak 2016. Ada sejumlah unit usaha yang dikelola, salah satunya binatu serta penyerapan dan penjualan hasil panen madu hutan dari warga desa.
Sementara menghadapi tekanan pandemi yang membuat sejumlah masyarakat desa kehilangan pekerjaan, Direktur BUMDes Bina Laksana Siti Julaeha mengkreasikan perkebunan kopi menjadi tempat istirahat di wilayah Kamojang, Garut, Jawa Barat. Tak hanya menyesap dan meneguk kopi, pengunjung juga diajak untuk menikmati perkebunan serta melihat proses pengolahan hingga penyajian kopi.
BUMDes Bina Laksana di Desa Sukalaksana, Garut, juga memiliki usaha pengelolaan air bersih yang, terutama, melayani kebutuhan warga setempat. BUMDes juga mengelola wisata desa yang mengangkat kearifan lokal setempat, seperti kerajinan besi, budidaya domba, dan bertani. Ada pondok menginap di area tersebut.
Akibat pandemi Covid-19, dia memperkirakan jumlah pengunjung anjlok 50 persen. Namun, karena mengusung konsep luar ruang, penginapan yang dikelola BUMDes tetap berdaya tarik. BUMDes tetap menerima tamu dengan protokol kesehatan ketat dan jumlah pengunjung sesuai dengan kapasitas yang diatur.
Di Desa Rompegading, Soppeng, Sulawesi Selatan, pendapatan warga dari BUMDes tergolong stabil. Kepala Desa Rompegading Sakmawati Rahman menceritakan, BUMDes yang dikelola bersama tiga perempuan lainnya memproduksi masakan khas Soppeng. Masakan itu merupakan racikan tangan 116 ibu rumah tangga di desa tersebut.
”Selama pandemi, omzet kami terjaga di puluhan juta rupiah. Kami bersyukur bisa tetap memperoleh penghasilan di tengah situasi seperti ini,” katanya saat dihubungi.
Kami bersyukur bisa tetap memperoleh penghasilan di tengah situasi seperti ini.
Pandemi Covid-19 membuat penjualan dalam jaringan produk kuliner tersebut memiliki kekuatan yang sama dengan toko oleh-oleh. Penjualan di toko tetap kuat karena produk BUMDes telah memiliki citra sendiri dan menjadi tujuan kunjungan pejabat yang hendak membeli oleh-oleh.
Upaya mereka dalam menjaga geliat ekonomi desa di tengah pandemi tak lepas dari langkah awal terjun ke masyarakat. Siti menceritakan, dirinya mulai terlibat dalam kegiatan di desa pada 2003. Namun, saat itu tidak semua orang dapat menerima kehadirannya. Mereka menilai, perempuan tidak perlu ikut campur dalam aktivitas di desa.
Meski demikian, dia bersikeras membuktikan cintanya pada desanya lewat manfaat dan partisipasi yang bisa diberikan. ”Tak hanya laki-laki yang bisa berkiprah, perempuan juga bisa mewujudkan ide dan pemikirannya. Dalam hal ini (berkegiatan di desa), perempuan dan laki-laki sama saja. Karena dukungan keluarga, saya tetap bisa berkegiatan (di desa) sekaligus menjadi ibu dan istri. Artinya, perempuan tetap bisa menjadi motor penggerak desa,” katanya.
Pada saat mencalonkan diri sebagai kepala desa, Sakmawati kerap mendapatkan pertanyaan, seberapa berdaya perempuan dalam membangun desa. Bahkan, ada kelompok warga yang menggap perempuan lemah. Sejak saat itu, dia selalu berpikir agar perempuan di desa dapat berdaya guna, bermanfaat, dan berkualitas.
Dia ingin ibu rumah tangga di desa dapat memanfaatkan waktu luang di rumah mereka secara produktif. ”Kini mereka dapat membantu ekonomi keluarga dengan berpartisipasi di BUMDes. Bahkan, ada yang bisa membeli sepeda motor baru untuk membawa dagangan ke toko. Artinya, perempuan juga bisa menjadi sumber kekuatan desa,” ujarnya.
Setelah lulus dari perguruan tinggi, Putri tergerak untuk terlibat di desa. ”Ada perbedaan berpendapat antara selama saya kuliah dan di desa. Saat kuliah, saya menyampaikan pendapat, ada debat, lalu muncul solusi. Namun, saat saya menyampaikan pendapat saya di desa, saya malah dianggap sok tahu,” katanya.
Dia tak berhenti menyuarakan pendapat yang, menurut dia, dapat memutar roda ekonomi desa. Dengan memanggil pihak perguruan tinggi di Sumbawa, warga desa pun mulai terbuka dan mengemukakan kebutuhan desanya. Kini, warga desa mendengarkan gagasan yang disampaikannya.
Dalam menjadi penggiat BUMDes, dukungan keluarga sangat penting. ”Sebagai perempuan, saya harus bisa meyakinkan suami, keluarga, dan sekitar. Berkegiatan di BUMDes itu tak hanya soal uang. Ada yang lebih dari itu, yakni rasa nyaman bermasyarakat. Saya juga mencintai peran saya, baik di dalam keluarga maupun di desa,” katanya.
Berkegiatan di BUMDes itu tak hanya soal uang.
Perempuan-perempuan desa yang tahan banting menunjukkan bakti mereka. Para perempuan itu turut serta menyelamatkan perekonomian masyarakat sekitar mereka.