Kematian TKI di Luar Negeri Menyisakan Penderitaan Panjang Keluarga di NTT
Pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur yang bekerja secara ilegal di luar negeri menyisakan penderitaan panjang, terutama ketika mereka meninggal di luar negeri. Otomatis segala haknya pun ikut hilang.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
WAINGAPU, KOMPAS — Para tenaga kerja Indonesia ilegal asal Nusa Tenggara Timur yang meninggal di luar negeri menyisakan penderitaan panjang bagi anggota keluarga di NTT. Selain tidak menerima upah dari majikan, jenazah mereka pun sering sulit dipulangkan. Beberapa di antara mereka hamil saat dalam penampungan. Kematian Adelina Sau, tiga tahun berlalu, masih menyisakan kesedihan dan penyesalan orangtuanya.
Lemba Nau (45), kakak kandung dari korban Yossi Tiara Napu (37), dihubungi di Desa Lewa, Sumba Timur, 25 km dari Waingapu, Rabu (28/4/2021), mengatakan, adiknya menjadi korban perdagangan manusia, negara tujuan Malaysia, akhir Desember 2019. Sebelum ditempatkan sebagai asisten rumah tangga di Johor Bahru, Malaysia barat, Yossi Tiara, dan sekitar 25 calon TKW saat itu, ditampung di Bali.
”Akhir Desember 2019, mereka diberangkatkan ke Kuala Lumpur, selanjutnya dibawa ke Johor Bahru. Adik saya bekerja dengan majikan perempuan di sana, awal Januari 2020. Tetapi, tiga bulan kemudian, yakni April 2020, kami mendengar kabar dia meninggal dunia,” kata Lemba.
Kematian Yossi, sesuai informasi dari pihak rumah sakit di Johor Bahru, akibat terinfeksi Covid-19. Karena Covid-19, pihak keluarga beranggapan jenazah Yossi dimakamkan di Malaysia. Namun, beberapa hari kemudian pihak rumah sakit menginformasikan agar jenazah tersebut bisa dibawa pulang ke NTT. ”Ini aneh bagi kami keluarga,” kata Lemba.
Pihak rumah sakit meminta keluarga mengirim uang Rp 100 juta untuk proses pemulangan itu, tetapi orangtua tidak punya uang. Mereka pun menyerahkan sepenuhnya kepada rumah sakit tersebut. Rumah sakit kemudian menghubungi majikan Yossi Tiara di Johor Bahru. Majikan bersedia membiayai kepulangan jenazah Yossi ke NTT.
Ternyata korban meninggal dalam keadaan hamil tua, sembilan bulan. Ibu dan anaknya tetap dimasukan di dalam satu peti, kemudian dikirim ke Lewa, Sumba Timur.
Ini aneh bagi kami keluarga (Lemba Nau).
Tiba di Lewa, sang suami, Jefri Bole Baja (46), tidak menerima jenazah istrinya itu. Penolakan itu dengan alasan korban telah dihamili pria lain selama di penampungan di Bali. Selama di penampungan itu sampai hamil pun, korban tidak pernah menceritakan keadaan dirinya kepada suaminya di Sumba.
Jenazah Yossi Tiara dan anaknya yang berjenis kelamin laki-laki itu akhirnya dimakamkan kakaknya, Lemba Nau. Lemba Nau pula pula yang merawat tiga anak Yossi dan Jefri Bole sejak Yossi ke Malaysia sampai hari ini.
”Anak saya ada lima orang, ditambah tiga anak dari adik saya menjadi delapan orang, ditambah saya dan suami menjadi 10 orang. Saya sebagai ibu rumah tangga dan suami petani lahan kering. Kami harus berjuang memberi makan dan merawat delapan anak ini. Anak-anak adik saya masih kecil, usia masing-masing 2-7 tahun,” kata Lemba.
Kisah serupa dialami Nela Nasu (38), warga Desa Mewet, Kecamatan Wotanulumado, Flores Timur. Suaminya, Sarus Narek (43), meninggal di Kelantan, Malaysia barat, pada Februari 2021 karena tenggelam di dalam kolam ikan majikan. Saat itu ia memberi makan ikan milik majikan dalam keadaan sakit demam, menggigil, dan pusing.
Korban terjatuh di dalam kolam. Ia tidak mampu menyelematkan dirinya. Ia ditemukan tewas di dalam kolam oleh rekan kerjanya sore hari setelah rekan kerjanya menyelesaikan pekerjaannya menyiram sayur majikan yang letaknya sekitar 3 km dari lokasi kolam ikan.
Sarus Narek sebagai TKI illegal, selama enam tahun di Kelantan, sering mengirim uang untuk membiayai hidup istri dan empat anaknya di Desa Mewet. Mereka berhasil membangun rumah permanen dan membeli televisi parabola.
”Saya harus bertanggung jawab terhadap kehidupan dan masa depan keempat anak ini. Anak pertama, kedua, dan ketiga masih di bangku SD, anak keempat di taman kanak-kanak. Sejak ayah mereka meninggal, sampai hari ini mereka sering menangis manakala mengingat ayah,” kata Nela.
Ia berencana membuka lahan untuk mengusahakan tanaman hortikultura dengan memanfaatkan sisa air yang ada. Ia tidak mau anak-anaknya kesulitan makanan dan pakaian.
Disiksa
Ambrosius Kun, juru bicara keluarga Adelina Sau (20)—warga Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yang meninggal disiksa majikan di Malaysia, Januari 2018—mengatakan, ibu kandung Adelina Sau bernama Yohana Banunaek masih sedih dan sering menangis sampai hari ini.
Ia menyesal tidak menjaga ketat anaknya saat ada calo datang malam hari pada Oktober 2018 di kediamannya. Calo itu menyerahkan uang Rp 150.000 untuk membawa Adelina ke Kupang saat itu. ”Keesokan hari, calo itu datang lagi dan membawa paksa Adelina saat kedua orangtua ada di ladang,” kata Ambrosius.
Orang kaya mampu melakukan apa saja, termasuk membayar pengadilan.
Ambrosius menuturkan, saat mendengar berita bahwa majikan penyiksa Adelina dibebaskan, Februari 2019, Yohana langsung pingsan. Ia menuju pusara anaknya, menangis sambil memeluk tiang salib di kuburan itu.
Yohana menangis sambil berteriak, ”Orang kaya mampu melakukan apa saja, termasuk membayar pengadilan, tetapi satu saat semua menuju tempat yang sama. Tuhan itu maha adil,” kata Ambrosius menirukan Yohana.
Setiap pagi sebelum ke ladang dan malam hari setelah pulang dari ladang, sejak Adelina dimakamkan, sampai hari ini Yohana selalu menyempatkan diri berdoa di kuburan Adelina. Di tempat itu, ia sering meneteskan air mata.
Bekerja mencari makan, membantu orangtua, lalu disamakan dengan anjing peliharaan majikan, akhirnya meninggal secara tragis. ”Ini sebenarnya kisah sedih untuk negara, tetapi sengaja diabaikan,” kata Ambros.