Ada harapan pada semester II-2021 harga sapi bakalan Australia akan turun seiring tingkat pertumbuhan populasi ternak di Australia yang mulai pulih.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan daging sapi dan sapi antara Australia dan Indonesia menghadapi tantangan pada tahun lalu. Tantangan perdagangan bilateral komoditas ini diperkirakan masih akan berlanjut tahun ini. Perluasan pasokan dalam negeri dan perluasan pemasok internasional menjadi upaya Pemerintah Indonesia untuk menyediakan pasokan daging dalam negeri.
Kemitraan Indonesia-Australia untuk Ketahanan Pangan di Sektor Daging Merah dan Sapi (Red Meat Cattle Partnership/RMCP) dalam Laporan Gabungan Kondisi Industri 2020 menyebutkan, sektor tersebut menghadapi beragam tantangan. Kekeringan dan banjir pada tahun lalu menurunkan jumlah ternak secara nasional di Australia menjadi 24,6 juta ekor atau mengalami titik terendah dalam 20 tahun terakhir.
Pada saat bersamaan, posisi nilai tukar dollar Australia yang kuat mendorong harga sapi bakalan ekspor ke tingkat tertinggi secara historis. Pada Desember 2020 harga sapi bakalan Darwin rata-rata 4 dollar Australia per kilogram (kg) bobot hidup dengan penjualan tertinggi mencapai 4,18 dollar Australia per kg.
Australian Co-chair of the RMCP Chris Tinning dalam webinar, Rabu (28/4/2021), menyampaikan, kombinasi kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi industri daging sapi dan sapi bakalan, terlebih dalam situasi sulit di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Ada harapan pada semester II-2021, harga sapi bakalan Australia akan turun seiring tingkat pertumbuhan populasi ternak di Australia yang mulai pulih.
Tinning mengapresiasi kerja sama dan kemitraan antara Indonesia dan Australia yang selama ini terjalin dengan baik. Hubungan bilateral ini, termasuk melalui perdagangan daging merah dan sapi, diharapkan semakin kuat.
”Kami percaya, ke depan, Australia dan Indonesia dapat terus mendorong sektor daging sapi merah dan sapi bakalan serta meningkatkan jalinan hubungan di sektor-sektor lain,” ujarnya.
Hubungan dagang di sektor daging sapi merah dan sapi bakalan antara Australia dan Indonesia telah terjalin sekitar 30 tahun. Hubungan ini menyediakan lapangan kerja bagi 29.000 orang Indonesia dan menciptakan 708.000 pekerjaan tambahan di sektor terkait, semisal pakan ternak, produksi kompos, dan transportasi.
Indonesian Co-chair of the RMCP Riyatno menuturkan, tahun 2020 merupakan tahun yang cukup sulit bagi perekonomian Indonesia, termasuk bagi industri daging merah dan sapi. Secara umum ekonomi Indonesia terkontraksi 2,07 persen dibandingkan 2019.
”Secara khusus, industri daging merah dan sapi mengalami perlambatan karena harga sapi dan daging sapi meningkat tajam, sementara permintaan atau konsumsi menurun karena pandemi Covid-19,” kata Riyatno yang juga menjabat Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal (BKPM).
Secara khusus, industri daging merah dan sapi mengalami perlambatan karena harga sapi dan daging sapi meningkat tajam, sementara permintaan atau konsumsi menurun karena pandemi Covid-19.
Menurut Riyatno, hubungan dagang Indonesia-Australia yang telah berlangsung lama salah satunya berfokus pada suplai daging sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia. Sekitar 36 persen kebutuhan daging sapi Indonesia dipenuhi dari Australia, dalam bentuk daging sapi dan sapi hidup.
Rantai pasok yang signifikan ini sejak pertengahan tahun lalu mengalami sejumlah kendala, di antaranya lantaran berkurangnya ketersediaan sapi hidup di Australia.
”Situasi pasokan ini mengakibatkan penurunan impor sapi hidup dari Australia sekitar 30 persen pada 2020 yang menimbulkan kekhawatiran terkait kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di Indonesia,” ujarnya.
Riyatno menuturkan, para pengusaha feedlot atau penggemukan sapi dan rumah potong hewan di Indonesia dan Australia telah berupaya untuk mempertahankan bisnis sebagai akibat kelangkaan pasokan dan tingginya harga daging sapi secara global. Situasi ini berada di luar kendali kedua pemerintah.
Pemerintah Indonesia juga tetap berupaya memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. Upaya ditempuh dengan meningkatkan produksi sapi dalam negeri serta memperluas akses impor daging dari negara lain, semisal suplai daging sapi dari Brasil dan impor daging kerbau dari India sebagai substitusi.
”Walaupun demikian, Indonesia tetap mengharapkan suplai serta harga daging dan sapi hidup dari Australia dapat kembali stabil dalam waktu dekat, sehingga perdagangan bilateral kembali meningkat dalam waktu tidak terlalu lama,” kata Riyatno.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, pemenuhan daging sapi masih defisit. Berdasarkan perkiraan Kamar Dagang dan Industri Indonesia, kebutuhan daging sapi atau kerbau secara nasional pada 2021 sebanyak 696.956 ton.
Sementara ketersediaan pasokan daging sapi atau kerbau lokal hanya 473.814 ton sehingga terjadi kekurangan 223.142 ton. Kondisi defisit tersebut terjadi di saat tingkat konsumsi daging di Indonesia masih rendah, yakni kurang dari 3 kg per kapita per tahun.
Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan konsumsi daging untuk meningkatkan asupan protein bagi rakyat. Sebanyak 45 persen pasokan daging sapi, lanjut Musdhalifah, dipenuhi dengan mengimpor sapi bakalan, 38 persen dengan daging sapi, dan 17 persen jeroan. Negara asal impor adalah Australia, Selandia Baru, Brasil, Spanyol, dan AS.
”Kami berharap, beberapa negara potensial lainnya, seperti Argentina dan Meksiko, bisa menjadi pemasok daging sapi di Indonesia,” ujarnya.
Terkait pemenuhan sapi dari dalam negeri, Musdhalifah mengatakan, ada beberapa sentra ternak sapi seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan Lampung. Potensi peternakan di dalam negeri ini diharapkan juga dapat memenuhi kebutuhan, terutama di hari-hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Natal, serta Tahun Baru.
Caranya dengan memobilisasi ternak dari sentra-sentra produksi ke pusat konsumsi yang umumnya di Jabodetabek. ”Sentra-sentra peternakan sapi maupun sentra penggemukan ini kami harapkan dapat dimobilisasi semaksimal mungkin untuk mengisi kekurangan-kekurangan dari neraca penyediaan daging,” ujarnya.