Kurang Efektif, Skema Impor Sapi Bakalan Dikaji Ulang
Oleh
M Fajar Marta/YOESEP BUDIANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Kementerian Pertanian mengkaji ulang kebijakan skema impor sapi bakalan. Selama dua tahun terakhir, kebijakan tersebut belum berjalan optimal.
Skema impor sapi bakalan diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke dalam Wilayah Republik Indonesia. Dalam aturan itu disebutkan, pelaku usaha penggemukan sapi (feedloter) wajib menyertakan satu sapi indukan untuk setiap lima sapi bakalan yang diimpor atau skema 5:1.
“Setelah kami lihat laporannya, ternyata banyak sekali importir yang belum memenuhi skema tersebut. Ini kenapa? Itu yang menjadi pertimbangan kami mengkaji skema impor sapi bakalan ini,” kata Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Fajar Sumping Tjatur Rasa, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Kementerian Pertanian mencatatat, dalam rentang 2017-2018, jumlah sapi bakalan yang masuk ke Indonesia 788.887 ekor. Jika mengacu pada skema 5:1, harusnya sapi indukan yang masuk adalah 157.777 ekor. Namun, realisasi sapi indukan yang masuk baru berjumlah 18.023 ekor.
Fajar menyatakan, banyak pelaku usaha yang mengeluhkan bahwa kandang mereka tidak muat jika terus mengimpor sapi indukan. Oleh sebab itu, Kementerian Pertanian sudah menampung masukan dari berbagai pihak, termasuk dari Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo).
Gapuspindo menyarankan agar skema impor sapi bakalan tidak lagi menggunakan skema 5:1. Mereka menawarkan jumlah sapi indukan yang diimpor dipatok sebanyak lima persen dari kapasitas kandang. “Kami akan jadikan ini sebagai salah satu pertimbangan dalam mengkaji skema 5:1 ini,” kata Fajar.
Dikonfirmasi terkait hal ini, Wakil Ketua Dewan Gapuspindo Didiek Purwanto mengatakan pihaknya akan menunggu kajian itu rampung. “Kami belum bisa komentar, biar dikaji dulu sama pemerintah,” kata Didiek.
Dihubungi secara terpisah, Pengamat peternakan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Rochadi Tawaf menyatakan bahwa Permentan Nomor 2/2017 tersebut bagus secara substansi. Aturan itu membuat pelaku usaha turut berkontribusi dalam penambahan populasi sapi nasional.
Terlebih, pada tahun 2026, pemerintah menargetkan bisa ekspor daging dengan proyeksi populasi sapi dan kerbau di Indonesia sebanyak 30 juta ekor. Hingga tahun 2017, populasi sapi dan kerbau baru berjumlah 18,291 juta ekor. (Kompas.id, Selasa 8 Januari 2019).
Namun, kata Rochadi, dalam tatanan operasional, peraturan menteri tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Rasio impor sapi indukan yang didasarkan pada volume impor menurutnya tidak tepat.
Feedlot merupakan usaha penggemukan yang hanya butuh waktu tiga bulan sebelum dijual. Sementara pembiakan sapi indukan membutuhkan waktu selama tiga tahun untuk menghasilkan bakalan siap potong.
“Belum sampai dua tahun, kandang sudah dipenuhi oleh pembiakan, tidak ada lagi space buat penggemukan. Bisnis utamanya (penggemukan), kan jadi mati,” kata dia.
Rochadi menilai, kedua bisnis ini baru bisa berjalan dengan syarat kapasitas kandang untuk pembiakan di bawah lima persen. Pemerintah pun harus memberikan insentif. Adapun insentif yang dimaksud, antara lain dengan memberikan bunga bank khusus (non-komersial) dan grace periode (kelonggaran pinjaman).