Seberapa Konsumtif Kita Saat Ramadhan dan Lebaran?
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Muslim untuk menggenjot konsumsi selama Ramadhan dan Lebaran. Padahal, Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk melakukan sesuatu secara berlebihan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Muslim untuk menggenjot konsumsi selama Ramadhan dan Lebaran. Pengeluaran mereka bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan hari biasa.
Pangastryan Wisesa (26) menuturkan, dia dan suami lebih konsumtif selama Ramadhan. Selain jajan, dia juga membeli bingkisan untuk orang terdekat. Bingkisan itu antara lain untuk orangtua, mertua, nenek, hingga pengasuh anak. Menjelang Lebaran, baju baru untuk si anak tak ketinggalan.
”Memang jatuhnya lebih boros karena lebih sering jajan. Selama Ramadhan dan untuk persiapan Lebaran, pengeluaran bisa dua kali lipat dibandingkan hari normal,” tutur penulis artikel salah satu produk kecantikan yang tinggal di Bandung, Jawa Barat, ini, Selasa (20/4/2021).
Di Jakarta Selatan, Wulan Andayani Putri (32) punya sejumlah pos anggaran khusus jelang Lebaran. Pos anggaran itu antara lain biaya hampers, menyiapkan tunjangan hari raya (THR), membuat kue, membeli baju Lebaran, hingga merental mobil untuk bersilaturahmi ke rumah mertua.
”Enggak mesti ada. Namun, kalau dana kami memadai, pasti dialokasikan,” ujar ibu satu anak ini.
Penjaga kos di Rawa Belong, Jakarta Barat, Tuminah (45), pun merasa pengeluaran keluarga membengkak selama bulan puasa dan hari raya. Dari sisi konsumsi harian, menu mereka bertambah. Selalu ada es buah di meja makan.
”Belum lagi nanti beli baju dan sandal untuk anak-anak. Suami saya sudah ngasih Rp 1,5 juta untuk beli baju anak-anak. Nanti kalau ada sisa anggarannya, baru saya sama suami ikutan beli baju,” katanya.
Sebagai perempuan lajang, Yulvia (30), di Bekasi, Jawa Barat, juga merogoh kocek lebih dalam selama Ramadhan. Setiap berbuka puasa, paling sedikit dia berbelanja Rp 20.000 untuk beli lontong dan gorengan. Di Ramadhan sebelumnya, ketika almarhum ayahnya masih hidup, dia juga membeli bubur sumsum dan kolak.
”Kalau bagi gue, seharian enggak makan dan minum, pas buka pengin yang enak dan kenyang tetapi engggak mau makan nasi dulu karena takut engap,” ujarnya.
Di tingkat pengusaha mikro, kecil, dan menengah, meningkatnya konsumsi masyarakat di bulan puasa disambut positif. Pedagang kuliner khas Sumatera Barat, Desrini atau Miming (32), misalnya, mengalami kenaikan omzet 100 persen selama Ramadhan.
Dia menjual es cendol, lepat bugis, onde-onde, dan gado-gado. Setiap hari, omzet pedagang yang tinggal di Jakarta Barat ini mencapai Rp 1 juta. ”Kadang bisa lebih (dari Rp 1 juta). Kalau hari biasa, omzetnya Rp 500.000-Rp 600.000,” katanya.
Peningkatan konsumsi makanan selama bulan puasa terekam pula dalam data Survey Herbalife Nutrition (2019). Hasil survei itu menyebutkan, delapan dari sepuluh orang Indonesia cenderung mengonsumsi lebih banyak makanan selama Ramadhan dan Idul Fitri dibandingkan hari lain.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Ismatu Ropi, memang ada hadis yang yang menganjurkan Muslim untuk menyiapkan yang terbaik, misalnya keharusan mengenakan baju terbaik dalam menyambut Lebaran. Tujuannya untuk menyambut Idul Fitri sebagai hari kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh.
Ini sekaligus wujud syukur atas nikmat Tuhan selama setahun terakhir. Ketika itu, malaikat diyakini akan turun ke bumi dan berada di sekililing umat. Inilah imaji religius yang mengharuskan Muslim mengenakan yang terbaik.
Kemudian, kebudayaan Islam menerjemahkan ini dalam bentuk pakaian baru yang harus dibeli menjelang hari raya. ”Ada anjuran agama kemudian ditafsirkan sedemikian rupa terus dianggap sebagai bagian dari ritus keagamaan, padahal bukan,” ujarnya.
Di negara dengan mayoritas penduduk Muslim, dia melanjutkan, imaji untuk menghadirkan sesuatu yang terbaik ini menjadi lazim dan terus berkembang.
Jika tidak kritis dalam menyakapi fenomena ini, publik akan jatuh ke dalam konsumerisme. Masyarakat kehilangan rasionalitas dan menjadi berlebihan demi memenuhi imaji religius yang berkelindan dengan kepentingan pasar itu. Padahal, Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk melakukan sesuatu secara berlebihan.