Makin Sehat dengan Tidak Makan Berlebihan Saat Berbuka Puasa
Berpuasa saat Ramadhan, selain meningkatkan ketakwaan, juga menjadi momentum penting dalam menjaga kesehatan dan menaikkan imunitas kala pandemi. Agar kian bermanfaat, makanlah yang bergizi dan secukupnya saat berbuka.
Oleh
Krishna P Panolih (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Berpuasa di bulan Ramadhan, selain sebagai ibadah untuk meningkatkan ketakwaan, juga bisa menjadi momentum penting dalam menjaga kesehatan dan menaikkan imunitas di masa pandemi. Namun, berpuasa cenderung diartikan mengonsumsi makan dan minum berlebihan yang berdampak pada kesehatan.
Gambaran lumrah saat puasa adalah banyaknya pedagang makanan jelang buka puasa. Para pedagang tersebut akan menggelar dagangan menyebar ke beberapa titik, seperti di sekitar perkantoran, perumahan, ataupun pinggir jalan besar. Kudapan yang dijual umumya adalah bubur kacang hijau, kolak pisang, gorengan, es kelapa, arem-arem, dan banyak lagi. Setelah pandemi, gambaran keramaian tersebut sedikit surut dan penjualan makanan takjil tersebut berganti via daring.
Suasana di pasar, minimarket, dan supermarket juga bersaing dalam menjajakan aneka bahan buka puasa. Mulai dari aneka sirup, kurma, santan, susu kental manis, teh, dan berbagai minuman kemasan. Media elektronik, seperti televisi, juga banyak mengiklankan hal tersebut.
Delapan dari sepuluh orang Indonesia cenderung mengonsumsi lebih banyak makanan selama Ramadhan dan Idul Fitri dibanding hari lain. (Survey Herbalife Nutrition)
Semua hal tersebut mengundang rasa untuk membeli dan mengudapnya sebagai makanan berbuka puasa. Konsumsi makanan dan minuman pun cenderung berlebihan saaat bulan puasa. Survey Herbalife Nutrition (2019) menyebutkan, delapan dari sepuluh orang Indonesia cenderung mengonsumsi lebih banyak makanan selama Ramadhan dan Idul Fitri dibanding hari lain.
Hal ini tak lepas dari masih tingginya konsumsi penganan dan minuman manis, gorengan, nasi, dan lauk pauk saat buka puasa. Data konsumsi makanan dari Susenas BPS pun menunjukkan tren kenaikan saat Ramadhan. Data kenaikan tersebut terbaca dari publikasi Susenas yang dirilis setiap September.
Gorengan, misalnya, pada September 2019 adalah 3,492 potong per minggu yang naik 0,123 poin dibandingkan Maret 2019. Hal yang sama juga terjadi pada September 2018 dengan nilai konsumsi 3,615 potong, naik 0,167 poin dari Maret 2018.
Selanjutnya, kue basah juga menjadi kudapan manis yang diminati. Konsumsi pada September 2018 naik 0,282 menjadi 1,627 buah per minggu dan pada September 2019 menjadi 1,609 buah, naik 0,097 dari Maret 2019. Tak hanya itu, tren kenaikan nilai konsumsi juga terjadi pada nasi rames, nasi putih, sayur matang, ikan, ayam/daging matang, sosis, serta minuman jadi dan sari buah kemasan.
Makan bertahap
Tidak mengherankan kalau pola konsumsi makanan/minuman yang berlebih itu sering menyebabkan munculnya beberapa penyakit. Di antaranya, penyumbatan pembuluh darah, obesitas, kesulitan tidur, hipertensi, dan naiknya asam lambung. Survei Herbalife yang bertajuk ”Holiday Eating Survey” tersebut juga mencatat, berat badan responden di Asia Pasifik termasuk di Indonesia, rata-rata meningkat 6 kilogram setelah Lebaran.
Konsumsi juga diperburuk dengan kebiasaan mengonsumsi buah/sayur di Indonesia yang masih rendah. Riset Kesehatan Dasar (Kemenkes, 2018) menyebutkan, mayoritas (66,5 persen) masyarakat makan buah/sayur sebanyak 1-2 porsi per hari selama seminggu. Hanya 4,6 persen yang terbiasa mengkonsumsinya lebih dari 5 porsi per hari, sesuai dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO menyebutkan, penduduk dikategorikan cukup konsumsi buah/sayur jika makan minimal lima porsi per hari.
Kementerian Kesehatan pun selalu mengingatkan bahwa bulan puasa bukan menambah porsi makan. Untuk menjaga kondisi tubuh, ada rumus yang bisa digunakan, yakni ’G4, G1, dan L5’, atau 4 sendok makan gula, 1 sendok teh garam, dan 5 sendok makan lemak.
Mengacu pada ketentuan tersebut, banyak anjuran agar makan bertahap saat usai berpuasa. Mulai dari air putih dan sedikit kudapan manis, hindari makanan berminyak, dan makan malam tidak terlalu banyak. Selain itu, perlu juga memperhatikan konsumsi yang mengandung tiga unsur, probiotik, prebiotik, dan sinbiotik.
Probiotik terdiri atas yoghurt, kimci, asinan kol, dan susu fermentasi. Prebiotik bisa didapat dari gandum, buah-buahan jenis berri, asparagus, bawang merah, dan bawang putih. Adapun sinbiotik merupakan kombinasi probiotik dan prebiotik, seperti pisang dan yoghurt.
Menaikkan imunitas
Berpuasa juga memberi manfaat positif lain di masa pandemi ini, yakni menaikkan fungsi imun tubuh. Merujuk pada penelitian ”Ramadan Fasting during the Covid-19 Pandemic (Moghadam dkk, 2021)”, dampak berpuasa terlihat pada respons sistem imun bawaan yang juga sistem pertahanan utama saat tubuh melawan infeksi. Selain itu, ada juga sistem imun adaptif atau repons spesifik terhadap antigen tertentu dan lebih efektif melawan infeksi
Dalam laporan tersebut diuraikan pula sejumlah manfaat dari puasa. Pertama adalah turun dan terjaganya berat badan. Berikutnya, menjaga kadar glukosa darah dan menurunkan resistensi insulin.
Puasa juga membuat perbaikan fungsi jantung juga penurunan massa lemak dan kolestrol. Di sisi lain, puasa juga melindungi sel saraf dari proses penuaan dan memberi efek terhadap penanda risiko kanker.
Puasa, selain bertujuan spiritual bagi umat Islam, juga erat kaitannya dengan kesehatan fisik ataupun mental. Puasa akan meningkatkan imunitas di masa pandemi, sejauh yang banyak disarankan, makan bertahap dan tidak berlebih dalam gula, lemak, dan garam.