Industri sepak bola Tanah Air kedatangan investor-investor baru yang mengakuisisi dan mengelola klub serta membangun sarana. Semarak investasi perlu ditopang pengelolaan kompetisi dan iklim industri yang kondusif.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Indonesia nyaris melewati tahun 2020 tanpa gegap gempita persepakbolaan nasional. Pandemi Covid-19 memaksa semua kompetisi berhenti. Hasil penghitungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menunjukkan, Indonesia berpotensi kehilangan Rp 2,7 triliun hingga Rp 3 triliun karena putaran uang dari industri yang membuka kesempatan kerja bagi 24.000 sumber daya manusia ini terhenti sepanjang tahun 2020.
Angin segar berembus awal tahun ini. Kementerian Pemuda dan Olahraga menggandeng PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk menggelar Piala Menpora 2021 yang diikuti oleh tim-tim yang berkompetisi di Liga 1 Indonesia. Turnamen yang digelar 21 Maret-25 April 2021 ini disebut akan menjadi ajang gladi resik bagi pelaksanaan kompetisi sepak bola nasional di tengah pandemi Covid-19.
Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan menyampaikan, jika pergelaran Piala Menpora terbukti tidak menimbulkan kluster baru penularan Covid-19, pemerintah akan merestui penyelenggaraan musim baru Liga 1 ataupun Liga 2 Indonesia. Dia bahkan berani memberikan kisi-kisi kalau Liga 1 musim 2021 akan digelar seusai hari raya Idul Fitri.
Munculnya kabar soal kapan kompetisi akan bergulir diringi kehadiran investor-investor baru di sejumlah klub lokal. Pesohor dunia hiburan, Raffi Ahmad, bersama pengusaha otomotif, Rudy Salim, secara resmi mengakuisisi saham Cilegon United FC. Nilai investasinya mencapai Rp 300 miliar, antara lain untuk pembelian pemain, pembangunan lapangan dan infrastruktur penunjang, serta akademi dan sekolah sepak bola. Klub yang berkompetisi di Liga 2 Indonesia ini juga mengenalkan nama baru, yaitu RANS Cilegon FC.
Manuver serupa dilakukan duet pengusaha muda, Kaesang Pangarep-Kevin Nugroho, yang saat ini masing-masing memiliki saham 40 persen dan 30 persen di Persis Solo. Keduanya berkongsi dengan Menteri BUMN Erick Thohir yang sudah makan asam garam bisnis sepak bola. Selain pernah jadi pemilik klub Inter Milan dan DC United, Erick masih jadi bagian dari konsorsium Indonesia yang memiliki saham di klub Inggris, Oxford United FC.
Kabar cukup fenomenal datang dari Dewa United. Klub yang telah terlebih dahulu memiliki tim bola basket dan tim e-sport ini mengakuisisi tim sepak bola Martapura FC. Sosok-sosok yang berada di balik Dewa United adalah trio konglomerat Mahendra Agakhan Thohir, Garibaldi Thohir, dan Kevin Hardiman.
Serupa, tetapi tak sama, tren akuisisi klub sepak bola oleh pengusaha pernah ramai terjadi di medio 1970-1990. Pengusaha swasta dan BUMN saat itu berlomba memiliki klub sepak bola. Tren inilah yang mengawali kemunculan Liga Sepak Bola Utama alias Galatama.
Sejumlah pengusaha kala itu getol menggelontorkan modal untuk membiayai klub Galatama, salah satunya anak Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto, yang mendirikan Arseto FC. Klub tersukses di era Galatama, yakni NIAC Mitra Surabaya, merupakan klub yang dimiliki perusahaan rumah judi terbesar di Surabaya di medio 1970-an. Sementara dari kalangan BUMN, PT Pupuk Kalimantan Timur dan PT Semen Padang melahirkan dua klub populer, yakni PKT Bontang dan Semen Padang.
Meski Galatama dibentuk atas kesadaran sepak bola harus dikelola secara profesional, ambisi kalangan pengusaha ternyata tak didukung fanatisme suporter yang sudah telanjur tercurah untuk tim-tim semiprofesional di kompetisi Perserikatan. Kebangkrutan klub-klub Galatama pun tak terelakkan karena ”besar pasak dari pada tiang” serta maraknya praktik pengaturan skor.
PSSI pun meleburkan kompetisi Galatama dengan Perserikatan menjadi Liga Indonesia pada 1994. Sejumlah klub Galatama ikut melebur dengan tim Perserikatan sehingga bisa tetap hidup karena saat itu klub-klub Perserikatan dibiayai pemerintah daerah. Butuh waktu selama hampir 15 tahun sejak Galatama gulung tikar untuk mengembalikan euforia dari kalangan pelaku usaha untuk kembali menyemarakkan industri sepak bola.
Pada 2009 terbentuk PT Persib Bandung Bermartabat dengan pengusaha lokal Umuh Muchtar sebagai direktur utama. Perusahaan inilah yang mengelola Persib Bandung secara bisnis sehingga menjadikan klub ini mampu mandiri tanpa APBD.
Lalu, tiga tahun kemudian, pada 2011, konsorsium yang dipimpin co-Founder The Northstar Group Glenn Sugita mengakuisisi 70 persen saham kepemilikan PT Persib. Glenn pun menduduki posisi direktur utama PT Persib, menggeser posisi Umuh Muchtar yang lantas menjadi komisaris perusahaan.
Pada tahun-tahun berikutnya, langkah Persib diikuti oleh klub-klub lain. Di Kalimantan, ada konglomerat muda Nabil Husein yang mengendalikan klub Borneo FC dan pengusaha tambang Hasnuryadi Sulaiman yang mengendalikan Barito Putera. Di Sulawesi ada pendiri konglomerasi Bosowa Corp, Aksa Mahmud, di balik pengelolaan bisnis PSM Makassar. Paling anyar ada nama Pieter Tanuri, CEO PT Bali Bintang Sejahtera Tbk, yang membawa Bali United menjadi tim sepak bola pertama yang melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham BOLA.
Kehadiran para pengusaha dan konglomerat tidak cukup untuk memastikan industri sepak bola nasional akan madani. Kalau dulu Galatama bubar karena sepinya animo masyarakat, saat ini rintangan datang dari pelaksanaan kompetisi yang dinilai belum profesional. Salah satu indikasinya adalah jadwal penyelenggaraan kompetisi yang selalu molor dari tahun ke tahun.
Berkaca dari kompetisi sepak bola negara raksasa Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, China, atau negara tetangga Thailand dan Malaysia, kompetisi yang profesional akan menarik minat investor global untuk turut membangun sarana prasarana penunjang pengembangan sepak bola. Hal ini tentu akan berimbas juga pada putaran uang di industri sepak bola yang akan semakin kencang.