Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan membuka peluang stimulus tambahan di sektor pariwisata, terutama industri perhotelan, untuk memulihkan penyaluran kredit.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri perhotelan berpotensi menyumbang kenaikan rasio kredit macet industri perbankan nasional jika intervensi tidak segera dilakukan pemerintah dan otoritas. Intensif seperti syarat kredit yang lebih longgar dibutuhkan sektor pariwisata untuk bisa pulih setelah pada 2020 terpukul pandemi Covid-19.
Saat dikonfirmasi, Minggu (28/3/2021), Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani berharap pemerintah dan otoritas di sektor keuangan dapat mengintervensi untuk mempermudah pengusaha di sektor pariwisata untuk menarik pembiayaan atau kredit baru dari bank.
Selain sulit mendapatkan kredit baru, banyak pengusaha di sektor pariwisata juga masih kesulitan dalam mengangsur kredit dari perbankan. Mayoritas pengusaha hotel dan restoran, lanjut Hariyadi, memulai bisnis mereka dengan modal pembiayaan dari bank.
”Tanpa intervensi, kemungkinan akan terjadi gagal bayar yang sangat tinggi dan rentan kebangkrutan dari sektor pariwisata,” katanya.
Tanpa intervensi, kemungkinan akan terjadi gagal bayar yang sangat tinggi dan rentan kebangkrutan dari sektor pariwisata.
Ia menambahkan, pengusaha hotel dan restoran masih menanggung beban berat akibat kunjungan wisata yang merosot di masa pandemi Covid-19 pada 2020. Situasi ini membuat prospek bisnis, arus tunai, serta risiko dari bisnis di sektor pariwisata tidak memenuhi kriteria perbankan untuk memberikan tambahan kredit.
”Kalau dalam memberikan kredit bank tetap menggunakan tiga pilar saat ini (prospek bisnis, arus tunai, dan risiko bisnis) sebagai parameter, sudah pasti kami sulit mendapatkan kredit baru,” ujar Hariyadi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) perbankan per Februari 2021 secara gross ada di level 3,21 persen. Meski data ini tidak merinci NPL di setiap sektor, posisi NPL pada Februari mengalami peningkatan dari posisi NPL gross di akhir 2020, yakni 3,06 persen.
Di tengah meningkatnya risiko kredit, penyaluran kredit juga semakin terkontraksi menjadi negatif 2,15 persen per akhir Februari 2021. Posisi ini anjlok dari Januari 2021, yang terkontraksi 1,92 persen.
Dalam kesempatan temu pemangku kepentingan untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional, pekan lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, kontraksi pertumbuhan kredit yang semakin dalam terjadi seiring dengan pelunasan kredit yang meningkat dan permintaan sektor usaha yang belum pulih.
Sejak 1 Maret 2021, OJK menerapkan stimulus untuk sektor properti dan perumahan. Kini, OJK membuka peluang stimulus tambahan di sektor lain untuk mendorong pertumbuhan kredit, salah satunya sektor pariwisata, terutama industri perhotelan.
”Stimulus kredit yang memungkinkan untuk sektor pariwisata saat ini adalah berupa pemberian grace periode (masa tenggang) pembayaran kredit yang jangka waktunya dibuat agak panjang, ini sedang kami bicarakan,” ujarnya.
Menurut Wimboh, saat ini sektor perhotelan sudah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan seiring dengan perjalanan dinas pemerintah yang beranjak naik. Jika sektor perhotelan pulih, permintaan kredit untuk modal kerja akan terdorong.
Dalam Rakernas PHRI 2021, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, pemerintah sedang membahas dukungan pembiayaan bagi sektor perhotelan dan pariwisata. Pemerintah akan memasukkan jaminan pembiayaan kepada perbankan untuk mendukung sektor perhotelan dan pariwisata bangkit dari keterpurukan.
”Dukungan kredit modal kerja untuk sektor pariwisata dan perhotelan yang aliran kasnya tidak ada, tetapi prospek usahanya masih bagus ini sedang kami bahas dengan OJK dan Bank Indonesia,” katanya.
Airlangga menambahkan, pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, akan menempatkan dana di perbankan. Lalu, perbankan meneruskan dana tersebut kepada pelaku perhotelan. ”Hal ini sedang kami finalisasikan,” katanya.