Butuh Terobosan Mengatasi Kematian Mendadak Ribuan Babi di Nusa Tenggara Timur
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur perlu membuat terobosan untuk mengatasi serangan demam babi afrika agar fenomena babi mati mendadak di hampir seluruh kabupaten dan kota bisa dikendalikan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
RUTENG, KOMPAS — Pemerintah kabupaten di daratan Pulau Flores, Lembata, Pulau Alor, Timor, dan Sumba, Nusa Tenggara Timur, perlu melakukan berbagai terobosan untuk menyelamatkan ternak babi yang sudah hampir satu tahun terserang african swine fever atau demam babi afrika. Kini, rata-rata 30.000 ekor ternak babi mati per kabupaten/kota. Jika belum ada vaksin, perlu petunjuk bagi peternak untuk menyelamatkan ternak kambing dan sapi yang juga mulai mati mendadak.
Anggota DPRD Manggarai, Joakim Jehati, dihubungi di Ruteng, Manggarai, Kamis (25/3/2021), mengatakan, serangan demam babi afrika atau ASF di Manggarai berlangsung sejak Maret 2020 sampai hari ini atau sekitar satu tahun. Dalam kurun waktu itu, sekitar 40.000 ekor ternak di Manggarai mati dari total populasi sekitar 70.000 ekor.
Wakil Ketua Komisi III DPRD NTT Viktor Mado Watun yang sedang reses di daerah pemilihan Lembata, Flores Timur, dan Alor mengungkapkan, kasus ini telah merenggut ratusan ribu babi milik warga dari 23 kabupaten/kota di NTT. ASF berawal dari daratan Timor, setelah masuk dari Timor Leste, dan bertahan sampai hari ini, sementara Timor Leste sudah selesai menangani kasus ini.
”Butuh terobosan Pemprov NTT dan 23 pemkab/pemkot guna menghentikan virus ini, sekaligus menyelamatkan ternak babi yang masih tersisa. Kerugian secara ekonomi mencapai miliaran rupiah, belum termasuk kerugian dari sisi sosial, budaya, dan kebutuhan protein hewani,” kata Mado.
Rata-rata di setiap kabupaten/kota terdapat 30.000 ekor ternak babi mati. Dengan jumlah 23 kabupaten/kota di NTT, totalnya menjadi 690.000 ekor. Jika satu ekor babi dengan bobot 30-50 kilogram dihargai Rp 2 juta saja, kerugian mencapai Rp 1,3 triliun. Ini sangat memprihatinkan. Kerugian peternak di tengah pandemi Covid-19 sangat disayangkan.
Selama ini pemda beralasan tidak ada obat untuk ASF lalu diam atau membiarkan kasus berlangsung. (Viktor Mado Watun)
Mestinya pemda dan ahli kesehatan hewan setempat melakukan kajian bagaimana cara menyelamatkan ternak yang masih ada, termasuk cara-cara tradisional. Hasil kajian itu disosialisasikan kepada masyarakat untuk dipraktikkan langsung. ”Selama ini pemda beralasan tidak ada obat untuk ASF lalu diam atau membiarkan kasus berlangsung,” kata Mado.
Jika tidak mampu, mestinya Pemprov NTT melapor ke pemerintah pusat, bagaimana cara mengatasi. Timor Leste bisa mengatasi ASF, mengapa Indonesia tidak bisa. Jika kasus ini terus membunuh ternak babi di NTT, kebijakan pemerintah pusat dan daerah patut dipertanyakan.
Kota Kupang serta daratan Pulau Timor dan Pulau Sumba pun sedang terserang virus itu. ”Setiap sudut jalan di Kota Kupang, misalnya, orang menjual daging babi dengan harga Rp 10.000 per kilogram, sebelumnya Rp 80.000 per kilogram. Meski murah, banyak yang tidak berminat karena takut ikut terserang ASF,” katanya.
Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Lembata Kanisius Tuaq mengatakan, sekitar 30.000 ternak babi di pulau itu mati dalam empat bulan terakhir dari total populasi 60.000 ekor. Sisa 30.000 ekor itu berusia di bawah 1 tahun. Babi usia di bawah 1 tahun imunitas tubuhnya cukup bertahan terhadap ASF.
Peternak kurang paham
Kematian babi-babi ini, antara lain, disebabkan para peternak kurang paham cara menyelamatkan hewan ternak itu dari ASF. Babi yang sudah lemas, demam, dan batuk akibat ASF, dipotong, diolah, dan dikonsumsi beramai-ramai atau dijual di pasar. Sampah dari babi itu dijadikan sebagai pakan untuk ternak babi yang masih sehat. Proses pemotongan pun dilakukan di dekat kandang babi yang masih sehat sehingga berpeluang terjadi penyebaran ASF.
Babi mati akibat ASF juga dibuang sembarang di jalan, hutan, laut, dan pesisir. Anjing peliharaan warga pun berkeliaran di areal itu, mengonsumsi babi, kemudian kembali ke rumah.
Dinas Peternakan Lembata terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat setelah tiga pekan kasus berlangsung. Kini, peternak secara bertahap mulai paham bagaimana menjaga ternak babi dari ancaman ASF.
”Mereka tidak lagi buang sampah rumahan yang mengandung babi ke ternak, tidak juga memberi pakan ternak dari toko dan kios. Pakan ternak itu kebanyakan diolah sendiri di rumah, tetapi bebas dari virus ASF,” ujarnya.
Kandang ternak disemprot disinfektan dan selalu dibersihkan. Orang yang membersihkan atau berurusan dengan babi pun tidak boleh mengonsumsi atau melakukan kontak erat dengan babi lain sebelumnya.
Tuaq mengakui, tidak hanya babi, ternak sapi pun sedang diserang penyakit ”ngorok” setelah dilakukan uji klinis di Balai Besar Veteriner Denpasar, Bali. Sebanyak 10 ekor sapi mati dari total 4.000 ekor populasi sapi di Lembata. Sapi ini sedang ditangani Dinas Peternakan Lembata.
”Kambing juga ada 26.000 ekor mati dari total 50.000 ekor populasi kambing. Tetapi, ini disebabkan oleh cuaca ekstrem, bukan penyakit tertentu,” kata Tuaq.
Merugi
Darius Keni (57), peternak di Desa Mewet, Flores Timur, mengatakan, ia memiliki 50 ekor babi dan semua sudah mati. Satu ekor pun tidak dikonsumsi, tetapi dikuburkan dalam tanah. Padahal, jika sehat, babi dijual dengan kisaran harga Rp 2 juta-Rp 5 juta per ekor.
Ada yang mengaku petugas dari Dinas Peternakan Flores Timur melakukan penyuntikan, tetapi selang beberapa jam, babi yang divaksin itu mati. Sementara babi yang tidak divaksin bisa bertahan hidup sampai dua bulan, kemudian mati.
Selain itu, beberapa orang datang mempromosikan obat-obatan. Menurut penjual, obat tersebut sangat mujarab mengatasi ASF. Setelah diberi obat itu, babi malah mati lebih cepat. ”Kami petani semakin rugi karena obat itu sampai Rp 500.000 untuk 20 biji,” kata Darius.