Semakin Banyak Orang Berutang Selama Pandemi, ”Paylater” Pun Makin Diminati
Satu dari 10 orang Indonesia memutuskan berutang untuk menutupi pengeluaran selama pandemi Covid-19. Kehadiran beragam produk teknologi finansial mempermudah masyarakat untuk berutang.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu dari 10 orang Indonesia memutuskan berutang untuk menutupi pengeluaran selama pandemi Covid-19. Kehadiran beragam produk teknologi finansial mempermudah masyarakat berutang untuk keperluan sekecil apa pun.
Perusahaan analisis pasar global YouGov melakukan survei mengenai dampak finansial Covid-19 terhadap masyarakat Indonesia, serta bagaimana perilaku dan prioritas mereka sampai tahun 2021. Survei tersebut salah satu bagian dari laporan berjudul On the Money: YouGov’s Global Banking and Finance report 2021 yang meneliti dampak pengurangan pendapatan akibat pelemahan aktivitas bisnis dan ketenagakerjaan di 17 negara.
Laporan di Indonesia menunjukkan, tujuh dari 10 (72 persen) responden secara aktif mengurangi biaya yang tidak penting. Hal ini terutama terjadi pada mereka yang berusia 45 tahun ke atas, dengan lebih dari delapan dari 10 (84 persen) telah melakukannya.
Sementara itu, 62 persen anak muda Indonesia usia 18-24 tahun juga mengurangi pengeluaran tidak perlu. Sementara 38 persen anak muda merasa tidak perlu mengurangi pengeluaran karena memiliki kemampuan menabung dalam enam bulan terakhir.
”Sementara itu, satu dari 10 atau 10 persen responden harus mengambil lebih banyak utang untuk menutupi pengeluaran mereka. Hal ini terutama terjadi pada mereka yang berusia 35 hingga 44 tahun. Sebanyak 14 persen di antaranya telah berutang dari sebelum pandemi,” kata General Manager YouGov Indonesia Edward Hutasoit beberapa waktu lalu.
Tahun 2020 memukul kemampuan finansial banyak masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Situasi ini, menurut Edward, mendorong orang-orang secara signifikan untuk terus berutang untuk menutup pengeluaran atau utang lama mereka.
”Namun, data juga menunjukkan bahwa orang Indonesia bijaksana secara finansial karena mayoritas berniat untuk mengurangi pengeluaran yang tidak penting dan memprioritaskan menabung. Jadi, masih harus dilihat berapa lama lagi pandemi akan berdampak pada situasi keuangan masyarakat,” pungkasnya.
Kemudahan tekfin
Akses berutang diakui sejumlah masyarakat bisa mereka dapatkan dari teknologi finansial (tekfin). Saat ini, beragam tekfin, dari dompet digital hingga e-dagang, menawarkan layanan pinjaman bayar kemudian atau paylater.
Maria Farida (30) menjadi salah satu contoh masyarakat terdampak pandemi secara finansial yang mulai sering mengandalkan paylater di tekfin. Pekerja jasa perjalanan di Jakarta itu mengaku penghasilannya tak lagi cukup untuk memenuhi biaya hidup dan keperluan lainnya sehingga ia memakai layanan paylater yang kemudian akan dilunasi ketika dirinya menerima gaji.
”Dua bulan ini saya pakai layanan paylater di aplikasi Gojek untuk pesan ojek daring atau beli makan ketika ke kantor. Limit (batas pinjaman) Rp 500.000 cukup buat saya yang pendapatannya masih terbatas,” kata Maria.
Setiap habis gajian di akhir bulan, ia memastikan membayar utang dengan dikenai tambahan biaya layanan Rp 12.500 per bulan.
Ibu rumah tangga seperti Zainab (28) juga mengaku mulai sering berutang melalui aplikasi e-dagang, seperti Shopee atau layanan tekfin pembiayaan seperti Kredivo. Layanan tekfin diakuinya membantunya mengontrol pengeluaran belanja selain membantu menutup kebutuhan pengeluaran.
”Adanya aplikasi ini membuat saya bisa mengecek seberapa besar kredit yang sudah dipakai. Misal, di Shopee, dengan paylater saya tahu satu bulan ini sudah menghabiskan berapa dan sisa limitnya berapa. Sama dengan di Kredivo, saya jadi tahu cicilan ini tinggal berapa lama lagi. Jadi semua terpantau,” kata Zainab.
Fasilitas paylater di tekfin juga bisa menjadi pinjaman yang produktif. Beberapa waktu terakhir, ia ikut membantu menambah pemasukan keluarga dengan berjualan aksesori di rumah. Aksesori itu ia beli secara daring melalui aplikasi e-dagang.
Melihat tren tersebut, perusahaan pembiayaan PT Akulaku Finance Indonesia, bagian dari Akulaku Group, optimistis penggunaan fitur paylater, yang juga disediakan Akulaku, semakin diminati. Hal ini tidak hanya karena menjamin kemudahan transaksi, tetapi juga memberikan keleluasaan bagi pengguna layanan dalam mengelola arus kas ketika menghadapi tekanan ekonomi.
”Pandemi menjadi salah satu game changer yang mengubah berbagai kebiasaan masyarakat menjadi serba digital, tanpa kontak, dan tanpa uang tunai. Termasuk dalam hal mengakses layanan keuangan,” kata Presiden Direktur Akulaku Finance Indonesia Efrinal Sinaga, dalam keterangan tertulis awal bulan ini.
Sepanjang 2020, Akulaku Finance mencatatkan pertumbuhan penyaluran pembiayaan lebih dari 40 persen. Sementara rasio non-performing financing (NPF) nett Akulaku terjaga di level 0,05 persen.
Pemain paylater Kredivo juga berhasil meningkatkan basis pengguna hingga 3 kali lipat di tahun 2020. Setali tiga uang, layanan paylater Gopay juga mencatatkan kenaikan nilai transaksi sampai dengan 3,3 kali lipat di 2020.
Berdasarkan studi dari Coherent Market Insights, pasar paylater global diperkirakan akan tumbuh dari 5 juta dollar Amerika Serikat (AS) pada 2019, menjadi 33,6 juta dollar AS pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) lebih dari 21,2 persen.
Potensinya di Indonesia pun dinilai besar menurut laporan lembaga kajian advokasi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) berjudul ”Meningkatkan Perlindungan Konsumen Fintech P2P Lending Berpenghasilan Rendah”.
Associate Researcher CIPS Ajisatria Suleiman memaparkan, tekfin peminjaman atau biasa dikenal peer-to-peer (P2P) lending bisa membantu masyarakat yang tidak dapat menjangkau fasilitas kredit perbankan atau lembaga pembiayaan.
Survei Global Index di 2018 menunjukkan, hanya 18 persen masyarakat yang bisa meminjam uang secara resmi melalui bank atau kartu kredit.
”Ini menjadi peluang bagi tekfin, terlebih dengan meningkatnya akses ponsel pintar. Dua pertiga masyarakat yang tidak memiliki rekening bank punya ponsel pintar, artinya mereka berpotensi mengakses layanan keuangan digital termasuk P2P lending,” kata Ajisatria.
Tidak hanya itu, inovasi teknologi yang menghadirkan sistem skor kredit secara cepat dan kemampuan manajemen risiko, akan semakin memudahkan masyarakat mengakses pembiayaan.