Aplikasi sistem pemantauan konstruksi atau SiPetruk diharapkan meningkatkan pengawasan pembangunan rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Selama ini, keluhan soal mutu bangunan masih jamak terdengar.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO / MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Tata kelola pembangunan rumah massal yang baik dibutuhkan untuk menjamin kualitas hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan memanfaatkan teknologi, aplikasi sistem pemantauan konstruksi atau SiPetruk diharapkan dapat mengefektifkan dan mengefisienkan pengawasan pembangunan rumah rakyat tersebut.
Rumah merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang atau warga negara. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, negara bertanggung jawab untuk memastikan setiap orang menghuni rumah yang layak dan terjangkau. Terkait dengan hal itu, pemerintah bertugas mengalokasikan anggaran pembangunan dan memfasilitasi penyediaan perumahan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Amanat undang-undang diwujudkan pemerintah, antara lain, melalui program rumah bersubsidi. Sayangnya, pemenuhan kebutuhan dasar akan papan hingga kini belum seimbang antara suplai dan kebutuhan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat, angka kekurangan rumah (backlog) mencapai 7,6 juta unit. Namun, angka itu berpotensi naik karena kebutuhan rumah diperkirakan bertambah sekitar 800.000 unit per tahun seiring dengan bertambahnya keluarga baru.
Selain kuantitas penyediaan, hal lain yang menjadi tantangan ialah soal kualitas bangunan, terutama rumah subsidi yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah. Keluhan konsumen rumah subsidi masih jamak terdengar.
Hasil survei pemantauan dan evaluasi oleh Direktorat Evaluasi Bantuan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Januari-Agustus 2017, misalnya, menemukan, 36,42 persen dari 14.393 unit sampel rumah yang disurvei memiliki masalah terkait dengan kualitas rumah beserta prasarana, sarana, dan utilitas pendukung.
Problem itu, antara lain, berupa kondisi fisik bangunan yang belum layak huni, butuh renovasi, dan prasarana umum yang belum siap. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah yang mengaksesnya tidak dapat menghuni rumah tersebut. Pemanfaatan rumah subsidi pun jadi tidak optimal. Oleh karena itu, pengawasan yang lebih efektif diperlukan untuk memastikan rumah yang dibangun memenuhi segenap standar kelayakan.
Terkait dengan kebutuhan itu, Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat meluncurkan aplikasi SiPetruk pada Desember 2020. Sepanjang Januari-Mei 2021 dilakukan sosialiasi, pelatihan, dan uji coba aplikasi SiPetruk. Uji coba akan dievaluasi pada Juni 2021 sebelum aplikasi SiPetruk diterapkan pada Juli 2021.
”Kami harus melindungi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). MBR menjadi subyek, bukan lagi obyek,” kata Direktur Utama PPDPP Arief Sabaruddin pada diskusi daring Forum Wartawan Perumahan Rakyat bertema ”Memastikan Efektivitas SiPetruk dalam Penyediaan Rumah Rakyat Berkualitas”, Rabu (17/3/2021).
Sebagai gambaran, PPDPP pada 19 Desember 2019 meluncurkan aplikasi SiKasep (Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan). Aplikasi SiKasep ini sebagai induk dari rangkaian sistem informasi yang mengusung konsep mahadata perumahan yang menyajikan data pasokan dan permintaan perumahan di Indonesia secara real time (waktu nyata).
Aplikasi SiKasep ditujukan untuk memudahkan masyarakat mencari rumah subsidi yang disediakan pemerintah. Data kebutuhan rumah subsidi dapat diketahui berdasarkan jumlah pengguna aplikasi SiKasep.
Pemerintah selanjutnya mengembangkan aplikasi SiKumbang (sistem informasi kumpulan pengembang) untuk membantu pengembang memasarkan rumah subsidi yang terhubung aplikasi SiKasep. Data rumah subsidi yang dimasukkan pengembang dapat dijadikan acuan sebagai data ketersediaan rumah di Indonesia.
Demi menjamin kualitas rumah subsidi yang akan diterima masyarakat sesuai standar, rumah yang telah dimasukkan oleh pengembang melalui aplikasi SiKumbang akan dihubungkan dengan aplikasi SiPetruk untuk diperiksa kelayakan fungsi bangunannya.
”Jadi, sistemnya hanya satu. Aplikasi kami adalah SiKasep. Namun, ada beberapa pintu. Masyarakat—dan termasuk pengembang—bisa masuk lewat SiKasep. Pengembang lewat SiKumbang. SiPetruk adalah pintu MK (manajemen konstruksi) mengawasi produk-produk yang dibangun oleh kontraktor dari pengembang,” tutur Arief.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemasar Rumah Nasional (Asprumnas) Muhammad Syawali menyatakan, kualitas konstruksi sebuah bangunan mesti menjadi prioritas semua pihak. ”Tanpa ada dukungan dari semua pihak, program yang diluncurkan oleh PPDPP rasanya seperti angin lalu atau isapan jempol saja,” ujarnya.
Syawali menambahkan, pihaknya mendukung aplikasi SiPetruk yang dikembangkan PPDPP karena akan menjadi sistem pemantau, pemberi informasi, dan modal untuk menjadikan kualitas konstruksi semakin baik.
Tenaga bersertifikat
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Dewi Chomistriana menyampaikan arti penting penyediaan tenaga ahli berkualitas dalam mendukung pembangunan rumah bermutu. Salah satu tantangannya adalah kekurangan jumlah tenaga kerja konstruksi bersertifikat di Indonesia.
Menurut Dewi, dengan rata-rata anggaran Kementerian PUPR 2015-2020 sebesar Rp 110 triliun per tahun, kebutuhan tenaga kerja konstruksi diperkirakan mencapai 1,5 juta tenaga kerja per tahun. Hal ini dengan asumsi setiap Rp 1 triliun pekerjaan konstruksi membutuhkan 14.000 tenaga kerja konstruksi.
”(Kebutuhan) ini belum termasuk untuk alokasi pembangunan infrastruktur dan perumahan yang dibangun oleh swasta, APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), dan sumber pendanaan lainnya,” kata Dewi.
Kementerian PUPR mencatat, dari total 8.066.497 tenaga kerja konstruksi di Indonesia pada tahun 2020, tenaga kerja konstruksi yang telah memiliki sertifikat baru 778.472 orang atau 9,6 persen. Perinciannya, sebanyak 212.188 tenaga ahli dan 566.284 tenaga kerja konstruksi terampil.
Dengan demikian, terjadi kesenjangan kebutuhan tenaga kerja konstruksi bersertifikat untuk memenuhi pekerjaan konstruksi PUPR sebanyak 721.528 orang. ”Komposisinya pun belum ideal karena sebanyak 72 persen tenaga kerja konstruksi lulusan SMA ke bawah,” ujar Dewi.