Selain tantangan memenuhi kebutuhan hunian yang layak, nyaman, dan terjangkau, pelaku sektor properti menghadapi tren pasar yang berubah. Kini rumah tidak cukup sekadar bangunan untuk tinggal dan beristirahat.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 sejak 2020 telah membawa banyak perubahan. Tak hanya pada gaya hidup dan interaksi sosial, kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal juga berubah seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan serta kebutuhan untuk beraktivitas di rumah.
Rumah yang sebelumnya kerap dikesankan sebagai tempat untuk sekadar tidur dan istirahat kini bergeser menjadi tempat utama untuk melakukan segala aktivitas. Kampanye dan imbauan pemerintah agar masyarakat bekerja, belajar, dan beribadah di rumah seakan mengembalikan ”filosofi” dan fungsi rumah.
Kebiasaan sebagian orang yang menghabiskan sebagian waktu dan interaksi sosial di luar rumah kini terpusat di rumah. Rumah bukan saja sebagai tempat tinggal tempat aktivitas kehidupan dilakukan, tetapi juga menjadi simbol kesempurnaan hidup dan tempat berlindung.
Pemenuhan kebutuhan dasar papan hingga kini masih belum seimbang. Penyediaan atau suplai masih jauh di bawah tingkat kebutuhan. Akibatnya, terjadi kekurangan (backlog) rumah yang, menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mencapai 7,6 juta unit. Sementara itu, laju kebutuhannya bertambah 800.000 unit per tahun seiring bertambahnya jumlah keluarga baru.
Di tengah tantangan pemenuhan hunian, permintaan konsumen atas rumah yang layak, nyaman, dan harga terjangkau makin menguat. Rumah tak cukup sekadar bangunan untuk tinggal, tetapi diharapkan lengkap dengan fasilitas penunjang, termasuk koneksi internet yang stabil.
Hasil analisis Rumah.com atas permintaan hunian menemukan, tren permintaan mengarah pada kebutuhan dan gaya hidup masyarakat di tengah pandemi. Konsumen semakin mencari lingkungan yang lebih sehat, koneksi internet stabil, dan ruangan yang memadai untuk aktivitas kerja dan belajar.
Kebutuhan rumah untuk dihuni (end user) turut menggeser arah pasar. Selama tahun 2020, pasar perumahan didominasi segmen menengah dan menengah ke bawah. Data Real Estat Indonesia, penjualan rumah didominasi harga di bawah Rp 1 miliar per unit.
Pergeseran pasar telah ditangkap oleh pengembang besar dengan menurunkan target segmentasinya demi meraih konsumen baru. Proyek-proyek yang dibangun menyasar pasar konsumen yang semula di level atas menjadi level menengah.
Di lain pihak, muncul persoalan terkait dengan daya beli. Ketika penyerapan pasar didominasi harga rumah pada kisaran Rp 300 juta-Rp 800 juta per unit, muncul ketimpangan untuk pemenuhan harga rumah di bawah Rp 300 juta seiring terimpitnya daya beli di segmen bawah. Segmen bawah, khususnya pekerja di sektor informal, masih kesulitan mengakses rumah bersubsidi yang digulirkan pemerintah. Kapasitas rumah subsidi dan rumah juga masih sangat terbatas untuk mengatasi backlog rumah.
Kondisi pandemi mengingatkan bahwa rumah bukan semata komoditas bisnis. Ada misi sosial untuk menghadirkan rumah yang nyaman dan terjangkau. Namun, pemenuhan kebutuhan rumah yang nyaman masih terkendala harga, akses pembiayaan, dan ketersediaan rumah yang layak.
Di tengah penurunan daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19, sisi suplai dan pembiayaan memerlukan terobosan. Pemberian insentif dan kemudahan perizinan perumahan rakyat diperlukan untuk memastikan misi penyediaan rumah rakyat layak huni dan penanganan backlog rumah terpenuhi.
Dari aspek pembiayaan, perlu terobosan pembiayaan dan penurunan suku bunga kredit sebagai stimulus untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Pelemahan daya beli memerlukan kelonggaran pola pembayaran, antara lain, berupa perpanjangan cicilan uang muka. Meningkatnya penyerapan pasar pada akhirnya akan menggeliatkan pasar perumahan dan mempercepat pemulihan sektor properti.
Tahun 2021 menjadi momentum pembuktian terhadap upaya menyediakan rumah tinggal yang lebih masif, lebih nyaman, dan terjangkau oleh masyarakat, khususnya kelompok menengah bawah.