Pandemi menguji daya tahan perempuan untuk menjalankan berbagai peran secara penuh. Tak terkecuali petani dan buruh tani perempuan yang mesti mengurus ”dua dapur”. Mereka berjibaku di rumah, ladang, dan sawah.
Oleh
M Paschalia Judith J
·5 menit baca
Tak hanya rumah tangga pribadi, petani perempuan juga terlibat ”mengurus” dapur masyarakat Tanah Air agar tetap mendapatkan pasokan pangan. Pandemi Covid-19 setahun terakhir menguji daya tahan mereka dalam menjalankan berbagai peran secara penuh.
Kelabakan. Begitulah Zubaidah Tambunan, petani asal Desa Aek Nagaga, Asahan, Sumatera Utara, menggambarkan kesehariannya selama setahun ini. ”Sebagai ibu-ibu, ada rasa stres yang melanda karena mesti lebih sering mendengarkan celotehan anak-anak. Misalnya, urusan smartphone untuk sekolah daring. Anak-anak saya sulit bergantian. Kalau si kakak punya, adiknya juga ikut meminta,” tuturnya saat dihubungi, Senin (8/3/2021).
Zubaidah memiliki tiga putri, seorang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan dua adiknya di sekolah dasar. Sebagai seorang ibu, dia turut memberikan pelajaran tambahan agar proses pendidikan berjalan maksimal. Tak kalah penting, dia mesti memasak makanan yang bernutrisi tinggi agar keluarganya memiliki daya tahan tubuh optimal di tengah pandemi.
Sebelum Covid-19 melanda, setiap pagi setelah anak-anaknya pergi ke sekolah, dia melangkahkan kaki ke lahan. Dia suka berkumpul bersama petani lainnya untuk saling belajar dan bertukar informasi.
Perubahan aktivitas sehari-hari juga dialami Dewi Marlina, petani yang tinggal di Geulumpan Payong, Aceh. Sebelum pandemi, dia rutin mendampingi suami ke sawah. ”Saya juga memastikan sokongan ’logistik pagi’ dari tangan saya untuk kami berdua. Seadanya saja, tapi mewah bagi perut kami, seperti nasi dan telur ceplok atau ikan dan sambal, sedangkan sayur direbus di sawah. Setelah itu, saya jemput anak di sekolah,” tuturnya.
Di tengah pandemi, dia tetap mengupayakan beraktivitas di sawah untuk menyapa sinar matahari dan menghirup udara segar yang dipercaya baik bagi daya tahan tubuh. Dia juga membiasakan diri dengan pertemuan virtual lewat aplikasi Zoom.
Bagi Hendrastuti, petani asal Dusun Turus, Kulon Progo, DI Yogyakarta, perubahan paling mencolok akibat pandemi Covid-19 ialah menjamurnya tanaman hias di tempat tinggalnya. ”Ibu-ibu di sini banyak yang akhirnya mengurus tanaman hias sebagai aktivitas di rumah agar tidak keluar-keluar. Apalagi, melihat yang hijau-hijau rasanya bikin senang. Kami tetap ke sawah, tetapi menghindari kerumunan. Saat menuju sawah, kami mengenakan masker,” katanya.
Sementara itu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, berdasarkan penelitian yang dihimpun, apabila petani perempuan memperoleh akses yang sama dengan lak-laki terhadap sumber daya produktif, hasil produk pertanian dapat meningkat 2,5-4 persen. Oleh sebab itu, dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret, Direktur Jenderal FAO QU Dongyu menyatakan, perempuan berperan krusial dalam menghadapi pandemi Covid-19, khususnya mentransformasi sistem pangan dan pertanian.
Sayur-sayuran dan tanaman bumbu seperti cabai yang ditanam sendiri di rumah membantu Hendrastuti bertahan menghadapi pagebluk. ”Di tempat kami ada semboyan, ’Yen iso nandur, ngopo tuku? Sing ditandur, sing dipangan’. Artinya, kami makan dari hasil yang bisa ditanam. Kami berupaya tidak membelinya. Misalnya, saat ini harga cabai mahal, kami tidak terdampak karena tinggal petik dari rumah,” tuturnya.
Zubaidah juga memiliki kebun pangan sendiri di rumahnya. Ada tomat, cabai, dan beraneka sayur-mayur. Dia juga tak segan membagikan hasil panen segar dari kebun pangannya ke tetangga.
Menjaga hubungan dalam komunitas petani menjadi cara Dewi Marlina, petani yang tinggal di Geulumpan Payong, Ace, bertahan di tengah pandemi. Dia menceritakan, kini petani di sekitarnya tengah giat mengembangkan pola bercocok tanam dengan memanfaatkan pupuk organik dari bahan baku yang ada di sekitar. Produk organik yang dihasilkan pun beragam, ada durian, mangga, teh gaharu, lemon, dan jambu.
Peran perempuan
Profesor Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia sekaligus Koordinator The Science Field Shops, Yunita T Winarto, memaparkan, peran petani perempuan beragam karena perbedaan latar budaya dan letak geografis lahannya. Dia mencontohkan petani perempuan di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, yang turun langsung dan mendominasi di sawah.
Ada pula petani laki-laki di Indramayu atau Sumedang, Jawa Barat, yang tampak lebih aktif. Namun, perempuan yang menjadi istri petani turut mengambil keputusan dalam menggunakan pupuk dan pestisida serta mampu belajar menganalisis pertumbuhan dan perkembangan tanamannya.
Di mana pun mereka berada, petani perempuan memegang peran vital dalam mengelola keuangan.
Di mana pun mereka berada, petani perempuan memegang peran vital dalam mengelola keuangan. ”Petani perempuan menghadapi pengeluaran terbesar saat tanam dan waktu tunggu hingga panen. Selama masa tunggu, pengeluaran sehari-hari tetap ada sehingga mereka juga mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan. Pandemi ini menimbulkan beban bagi keuangan rumah tangga mereka,” ujarnya saat dihubungi, Selasa malam.
Saat ini, turunnya harga hasil panen di tingkat petani membayang-bayangi Zubaidah. Tak jarang, petani sejawatnya, terutama yang menanam sayur, membuang hasil panen karena sepi pembeli.
Di sisi lain, pengeluaran bulanan rumah tangganya melonjak 50-75 persen dibandingkan sebelum pandemi. Dia mesti mengeluarkan uang tambahan untuk listrik dan pulsa. ”Saya merasakan ada beban ganda, mulai dari urusan rumah, sekolah, hingga kesehatan. Di tengah situasi ini, saya sering bertanya, ’Apakah aku masih sanggup menyekolahkan anak-anakku’,” tuturnya.
Dewi menyebutkan, pengeluaran bulanan rumah tangganya saat ini naik 40-60 persen dibandingkan 2019. Harga-harga barang yang diperoleh dari luar desanya tengah meroket.
Sementara itu, Hendrastuti menyoroti kenaikan ongkos produksi dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya upah buruh yang mesti dibayarkan. Lama-kelamaan, perolehan dari hasil panennya tak menyisakan margin untuk simpanan dan cenderung mengarah ke situasi rugi.
Ketangguhan petani perempuan di tengah pandemi tak cukup hanya mendapatkan tepuk tangan atau ucapan selamat. Keberpihakan pada hasil panen dari jerih berjibaku mereka menjadi tanda apresiasi dan wujud terima kasih tertinggi yang bisa diberikan. Selamat Hari Perempuan Internasional, petani Indonesia!