Proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter atau DME belum menjamin bebas dari subsidi. Operasi gasifikasi harus efisien agar harga DME lebih murah dari harga elpiji.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Kompas/Priyombodo
Tongkang-tongkang bermuatan batubara melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (8/3/2021). Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batubara Indonesia per 8 Maret 2021 sebesar 93,42 juta ton atau setara 16,99 persen dari target produksi sebesar 550 juta ton pada tahun 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Gasifikasi batubara untuk menghasilkan produk dimetil eter atau DME yang digagas PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina (Persero) masih membutuhkan subsidi. DME dirancang untuk menggantikan elpiji yang sekitar 75 persen dari total konsumsi nasional masih diimpor. Besaran subsidi DME bergantung pada pergerakan harga elpiji di pasar internasional.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan, faktor keekonomian proyek tersebut sangat penting bagi keberhasilan program gasifikasi batubara menjadi DME. Pemerintah sedang menyiapkan insentif untuk mendukung keekonomian proyek, seperti insentif royalti nol persen, harga khusus batubara untuk gasifikasi, serta jaminan izin operasi tambang batubara sampai dengan umur cadangan tambang.
Dari perhitungan pemerintah, lanjut Sujatmiko, harga pokok produksi DME dalam proyek ini ada di kisaran 390 dollar AS per ton hingga 420 dollar AS per ton. Mekanise subsidi DME sangat bergantung pada pergerakan harga elpiji di pasar internasional. Apabila harga elpiji di atas 600 dollar AS per ton, ada potensi penghematan subsidi senilai Rp 629 miliar per tahun.
”Namun, apabila harga elpiji kurang dari 500 dollar AS per ton, diperlukan tambahan subsidi hingga Rp 2,45 triliun per tahun. Oleh karena itu, tantangan proyek ini adalah bagaimana operasi berjalan seefisien mungkin sehingga subsidi yang diberikan tidak banyak,” ujar Sujatmiko dalam webinar bertajuk ”Mengukur Nilai Keekonomian Hilirisasi Batubara”, Selasa (9/3/2021).
Pemerintah sedang menyiapkan insentif untuk mendukung keekonomian proyek, seperti insentif royalti nol persen, harga khusus batubara untuk gasifikasi, serta jaminan izin operasi tambang batubara sampai dengan umur cadangan tambang.
Proyek hilirisasi batubara yang sudah berjalan di Indonesia.
Saat ini ada dua proyek gasifikasi batubara di Indonesia. Proyek pertama adalah gasifikasi batubara menjadi DME yang digagas oleh PT Bukit Asam Tbk, PT Pertamina (Persero), dan Air Products dari Amerika Serikat. Proyek yang dijadwalkan komersial pada 2024 nanti akan memproduksi DME sebanyak 1,4 juta ton per tahun dengan nilai investasi 2 miliar dollar AS.
Proyek lain adalah gasifikasi batubara menjadi metanol di Kalimantan Timur oleh PT Kaltim Prima Coal, PT Ithaca Resources, dan Air Products. Proyek ini juga diharapkan komersial pada tahun 2024 dengan kapasitas produksi metanol sebanyak 1,8 juta ton per tahun dengan nilai investasi 2 miliar dollar AS.
Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Hasti Wibowo mengatakan, konsumsi elpiji di Indonesia sekitar 8 juta ton per tahun. Dari total konsumsi tersebut, kemampuan produksi domestik hanya 1,8 juta ton per tahun. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pengimpor elpiji peringkat kelima terbesar di kawasan Asia.
”Kunci agar proyek gasifikasi ini berhasil, harga DME tidak boleh lebih tinggi dari harga elpiji. Apabila harganya lebih tinggi, subsidi yang harus disediakan negara lebih besar. Sangat kecil kemungkinannya proyek gasifikasi menjadi DME ini bebas dari subsidi. Catatannya, apabila harga elpiji jatuh, keekonomian proyek gasifikasi bisa terganggu,” kata Hasto.
Ia menambahkan, ada dua opsi penggunaan DME untuk menggantikan elpiji, yaitu penggunaan 100 persen DME dan pencampuran DME bersama elpiji dengan komposisi 20 persen berbanding 80 persen. Untuk pemakaian 100 persen DME, konsumen harus mengganti kompor dan regulator. Adapun untuk pencampuran DME dengan elpiji, konsumen hanya perlu mengganti regulator.
Kunci agar proyek gasifikasi ini berhasil, harga DME tidak boleh lebih tinggi dari harga elpiji. Apabila harganya lebih tinggi, subsidi yang harus disediakan negara lebih besar.
Pemuatan batubara ke tongkang di pelabuhan PT Tunas Inti Abadi di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Rabu (26/9/2018). Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, batubara tersebut juga diekspor ke India, China, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Usaha PT Bukit Asam Tbk Fuad Iskandar Zulkarnain Fachroeddin menambahkan, agar proyek gasifikasi batubara untuk menghasilkan DME menguntungkan, dibutuhkan insentif dari pemerintah. Insentif tersebut berupa kebijakan royalti batubara nol persen dan tax holiday selama 20 tahun. Ia menjamin, kendati teknologi gasifikasi dimiliki Air Products, akan ada alih teknologi bagi pekerja Indonesia.
”Alih teknologinya dimulai saat pembangunan, bukan setelah proyek ini komersial. Hal ini sudah ada dalam kesepakatan antara Bukit Asam, Pertamina, dan Air Products. Ada sejumlah tenaga kerja Bukit Asam dan Pertamina yang terlibat aktif di masa implementasi proyek,” kata Fuad.
Sebelumnya, analis keuangan energi pada Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Ghee Peh, mengatakan, dibutuhkan biaya besar untuk menghilangkan kadar air yang terdapat dalam batubara berkalori rendah. Batubara rendah kalori adalah bahan baku utama dalam proyek gasifikasi batubara di Indonesia. Biaya produksi DME lebih tinggi dibandingkan biaya impor elpiji saat ini.
”Dari kajian IEEFA, biaya produksi DME per ton bisa mencapai 470 dollar AS atau lebih tinggi dari impor elpiji saat ini yang harganya 365 dollar AS per ton. Apabila Indonesia memproduksi 1,5 juta ton DME per tahun, akan ada potensi kerugian sebanyak 377 juta dollar AS per tahun,” ucap Ghee dalam webinar mengenai riset IEEFA tentang proyek hilirisasi batubara, Selasa (2/3/2021).