Presiden Jokowi menargetkan lahan untuk lumbung pangan di NTT mencapai 10.000 hektar. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan produksi pertanian di NTT.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus mengembangkan proyek lumbung pangan. Setelah Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan, kini juga menyentuh Nusa Tenggara Timur dengan target seluas 10.000 hektar.
Presiden Joko Widodo meninjau pembangunan lumbung pangan di Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (23/2/2021). Mendampingi Presiden, antara lain, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadi Moeljono, Gubernur NTT Viktor Laiskodat, dan Bupati Sumba Tengah Paulus SK Limu.
Dalam keterangan pers seusai peninjauan, Presiden menyatakan, target lahan untuk lumbung pangan di NTT adalah 10.000 hektar (ha). Sejauh ini lahan yang disiapkan baru sekitar 5.000 ha, terbagi atas 3.000 ha untuk padi dan 2.000 ha untuk jagung. Ke depan, areal ini akan diperluas hingga menjadi 10.000 ha, terdiri atas 5.600 ha untuk padi dan 4.400 ha untuk jagung.
”Kenapa dikerjakan di NTT, khususnya di Kabupaten Sumba Tengah, kita harus ngomong apa adanya, 34 persen kemiskinan (NTT) ada di sini (Sumba Tengah),” kata Presiden Jokowi.
Melalui proyek lumbung pangan terpadu, Presiden berharap produksi pertanian di NTT bisa meningkat. ”Kita ingin mengelola agar setahun bisa dua kali panen padi dan sekali panen jagung atau kedelai. Problemnya memang masih sama, di seluruh NTT, yakni air. Memang kuncinya ada di air,” kata Presiden.
Sebagian besar NTT merupakan daerah kering. Curah hujan dalam setahun sangat minim. Akibatnya, panen padi hanya bisa dilakukan sekali dalam setahun karena irigasinya semata-mata mengandalkan air hujan.
Menjawab persoalan itu, pemerintah pada tahun 2015 dan 2018 membangun sumur bor di areal persawahan serta beberapa embung besar di Kabupaten Sumba Tengah. Pekerjaan yang termasuk proyek pembangunan lumbung pangan ini sudah selesai dibangun.
Namun, Presiden mengakui jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan. Untuk itu, ia telah memerintahkan Kementerian PUPR untuk mengkaji pembangunan bendungan atau waduk serta tambahan embung dan sumur bor di Kabupaten Sumba Tengah sebagaimana aspirasi pimpinan daerah. Presiden juga menginstruksikan Kementerian Pertanian untuk membantu kekurangan peralatan sistem pertanian di NTT. Di antaranya adalah traktor.
”Saya rasa kalau ini kita kerjakan, saya meyakini, lumbung pangan yang ada di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan NTT bisa membangun ketahanan pangan yang baik untuk negara kita. Dan nanti akan kita ’fotokopi’ di provinsi-provinsi lain yang memiliki kesiapan,” kata Presiden.
Dihubungi di Bogor, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santoso, menyatakan, proyek lumbung pangan telah dilakukan beberapa kali. Di era Orde Baru, terdapat proyek lumbung pangan dengan target lahan seluas 1,4 juta ha di lahan gambut di Kalimantan Tengah.
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdapat proyek serupa. Kabupaten Bulungan (Kalimantan Utara), misalnya, dengan target lahan seluas 300.000 ha dan di Ketapang (Kalimantan Barat) dengan target lahan seluas 100.000 ha.
Bahkan, pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi juga sudah ada proyek serupa yang diberi nama rice estate. Lokasinya di Merauke, Provinsi Papua, dengan target lahan mencapai 1,2 juta ha.
”Semuanya gagal, tinggal cerita. Kenapa dalam seperempat abad terakhir proyek lumbung pangan selalu gagal? Karena semuanya mengingkari kaidah-kaidah ilmiah,” kata Andreas.
Kaidah ilmiah yang dimaksud menyangkut empat pilar. Pertama kecocokan tanah dan agroklimatologi. Kedua, kelayakan infrastruktur. Ketiga, kelayakan budidaya dan teknologi. Keempat, kelayakan sosial dan ekonomi.
”Satu pilar saja tidak masuk, maka proyek tidak layak, misalnya dari kelayakan ekonomi. Selama produksi padi di bawah 4 ton gabah kering panen per ha, maka saya pastikan jawabannya, gagal. Kalau wilayah yang dikembangkan sebagai lumbung pangan saat ini memenuhi empat pilar kaidah ilmiah, silakan. Tapi satu saja tidak terpenuhi, jawabannya pasti gagal,” kata Andreas.
Pemerintah, menurut Andreas, harus mengevaluasi proyek lumbung pangan yang sedang berjalan. Jika memang tidak layak, pemerintah harus berani mengoreksi kebijakan dan membuat strategi yang lebih tepat.
”Selama ini sudah ada model-model sentra pertanian yang berhasil yang dikembangkan BUMN atau swasta. Memang blok lahannya kecil-kecil. Tinggal direplikasi dengan gap analisis. Lebih baik blok-blok kecil, tetapi layak dan tersebar di banyak daerah ketimbang blok besar, tetapi tidak layak dan akhirnya gagal sekaligus buang-buang anggaran,” kata Andreas.
Lumbung pangan merupakan salah satu proyek strategis nasional yang mulai dikerjakan pada 2020. Selain NTT, pemerintah sebelumnya telah membangun dua lumbung pangan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.
Di Kalimantan Tengah, target lahannya mencapai 168.000 ha. Sejauh ini, realisasinya sekitar 30.000 ha yang berlokasi di Kabupaten Pulang Pisau seluas 10.000 ha dan Kabupaten Kapuas seluas 20.000 ha.
Rencana komoditas yang dikembangkan adalah padi yang dikombinasikan dengan jeruk, kelapa, dan bawang merah. Mengingat air melimpah di daerah itu, menurut rencana, dikembangkan pula budidaya ikan di keramba pada saluran irigasi dan peternakan itik.
Sementara di Sumatera Utara, target luas lumbung pangan sekitar 60.000 hektar. Seluas 30.000 hektar di antaranya akan digunakan untuk penanaman kentang, bawang merah, dan bawang putih. Proyek ini tersebar di empat kabupaten, yakni Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Pakpak Bharat.