Investasi Bukan Sekadar Nilai
Sebanyak 9,77 juta penganggur perlu pekerjaan. Investasi yang masuk ke Indonesia tidak cukup dilihat dari nilai, tapi juga serapan tenaga kerjanya.
Upaya memulihkan perekonomian yang rontok akibat pandemi Covid-19 di antaranya melalui investasi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang pembahasannya dikebut di masa pandemi, digadang-gadang menambah daya tarik Indonesia di mata investor.
Padahal, investasi bukan hanya dilihat dari angka triliunan yang ditanamkan investor. Investasi juga berkaitan dengan nilai tambah, kualitas, dan menciptakan lapangan kerja layak.
Pada 2020-2024, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menargetkan investasi Rp 4.983,2 triliun. Angka ini lebih tinggi 47,3 persen dibandingkan dengan investasi pada 2015-2019, yakni Rp 3.381,9 triliun.
Tahun ini, target realisasi investasi Rp 858,5 triliun dan diproyeksikan meningkat bertahap menjadi Rp 1.239,3 triliun pada 2024. Mengutip data BKPM, Minggu (21/2/2021), realisasi investasi pada 2020 sebesar Rp 826,3 triliun.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, agar berdampak signifikan, investasi mesti menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam rantai pasok global.
”Kecenderungan dalam beberapa tahun terakhir, nilai investasi terus meningkat, tetapi penciptaan lapangan kerjanya masih sedikit. Sebab, investasi yang masuk lebih banyak yang bersifat padat modal,” kata Heri yang dihubungi di Jakarta, pekan lalu.
Agar berdampak signifikan, investasi mesti menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam rantai pasok global.
Hal itu ditunjukkan melalui dominasi sektor jasa pada realisasi investasi, yakni 55,5 persen atau Rp 458,6 triliun. Investasi terbesar pada bidang transportasi, gudang, dan telekomunikasi (Rp 144,8 triliun), sebagai sektor jasa yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Menurut dia, pemerintah mesti menarik lebih banyak investasi sekunder (pengolahan atau manufaktur) yang bersifat padat karya untuk menyerap angkatan kerja.
Mengacu pada survei Badan Pusat Statistik (BPS) tentang dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha, sektor yang paling banyak mengurangi pegawai di masa pandemi Covid-19 adalah industri manufaktur (52,23 persen).
Sementara, perusahaan yang paling banyak memberhentikan pekerja dalam waktu singkat akibat pandemi adalah pabrik-pabrik manufaktur (18,69 persen). Maka, diperlukan investasi yang menyerap tenaga kerja secara masif.
”Fokus pemerintah saat ini harus diarahkan pada penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk sektor padat karya. Investasi padat modal tentu tidak ditolak, tetapi investasi padat karya harus lebih dominan,” kata Heri.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2020, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia mencapai 7,07 persen. Artinya, dari setiap 100 orang angkatan kerja, ada 7 orang yang menganggur. Selama pandemi, jumlah penganggur bertambah 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang, yang 44,85 persen di antaranya adalah pekerja muda berusia 15-24 tahun.
Pemerintah memetakan enam investasi prioritas yang akan disasar tahun ini, yaitu sektor kesehatan/farmasi, otomotif (mobil listrik), elektronik, pertambangan, energi baru dan terbarukan, serta infrastruktur. Sektor elektronik dan otomotif termasuk dalam industri manufaktur atau sekunder.
Namun, porsi investasi primer dan tersier (jasa) masih lebih besar daripada sekunder.
Baca juga : Iringi Bansos dengan Pembukaan Lapangan Kerja
Proyeksi BKPM tahun ini, porsi investasi di sektor sekunder 31,3 persen dari total investasi atau sekitar Rp 268,7 triliun. Pada 2024, pemerintah membidik investasi sekunder lebih besar, yakni 52,1 persen dari total investasi.
Investasi juga mesti menciptakan pekerjaan yang berkualitas, yakni memenuhi hak pekerja untuk hidup layak.
Heri mengatakan, pemerintah harus memperbanyak program peningkatan kompetensi untuk menambah kapasitas pekerja sehingga posisi tawar mereka meningkat di pasar kerja.
Seiring rencana itu, pengawasan ketenagakerjaan dan penegakan sanksi bagi perusahaan yang mengabaikan hak pekerja perlu diperkuat.
”Perlu upaya mendorong produktivitas pekerja, seperti menstimulasi kualitas tenaga kerja kita lewat program-program upskilling. Langkah itu bisa menambah posisi tawar pekerja sekaligus menjadi daya tarik bagi investor,” kata Heri.
Pemerintah harus memperbanyak program peningkatan kompetensi untuk menambah kapasitas pekerja sehingga posisi tawar mereka meningkat di pasar kerja.
Daya saing
Investasi yang masuk ke Indonesia bukan hanya bernilai besar, melainkan mesti memberi nilai tambah bagi produk Indonesia dan meningkatkan daya saing. Industri manufaktur yang berorientasi ekspor tetap menjadi kunci penyeimbang kinerja ekspor dan impor serta menyehatkan neraca perdagangan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, dari enam sektor prioritas pemerintah, beberapa sektor sudah sejalan dengan upaya meningkatkan nilai tambah dan menyehatkan neraca perdagangan. Misalnya, sektor kesehatan atau farmasi, yang pasar dan permintaannya besar, tapi ketergantungannya terhadap impor tinggi.
”Belum terlihat sektor manufaktur seperti apa yang mau didorong. Yang sudah terlihat adalah otomotif. Akan tetapi, belum menjelaskan, kenapa tidak menyasar industri lain yang bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak?” katanya.
Ia juga menyoroti upaya hilirisasi industri sehingga nilai tambah yang diperoleh lebih besar.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah menyiapkan syarat dan strategi investasi untuk menjadikan Indonesia negara pengekspor komoditas bernilai tambah tinggi. Investor diharuskan bekerja sama denguan BUMN, pengusaha, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah.
Industri juga harus menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar dan menggunakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang besar dalam proses produksi. ”Selain mendorong investasi di sektor hilirisasi, investasi juga harus berdampak besar,” katanya.
Kendali pandemi
Harapan menangkap peluang investasi untuk pemulihan ekonomi digantungkan pada implementasi Undang-Undang Cipta Kerja yang mulai diterapkan Maret 2021. Namun, harapan itu akan sia-sia jika pengendalian pandemi Covid-19 masih berjalan lambat.
Pada 2021, pemerintah menargetkan perekonomian nasional tumbuh 4,5-5,5 persen. Target pertumbuhan ekonomi akan tercapai jika investasi tumbuh 6,4 persen atau setara dengan kebutuhan investasi Rp 5.800 triliun-Rp 5.900 triliun.
Dari target investasi itu, kontribusi pemerintah yang bersumber dari APBN atau APBD sekitar 6 persen atau Rp 350 triliun, dari BUMN 7 persen atau Rp 400 triliun, dan sisanya 85-90 persen dari swasta.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menuturkan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan salah satu faktor pendobrak dalam pemulihan ekonomi nasional. Implementasi UU beserta 54 aturan turunannya akan membantu pencapaian target investasi.
Sementara, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), setiap kenaikan investasi 1 persen, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,3 persen dengan penciptaan lapangan kerja rata-rata 0,16 persen dan penyerapan sekitar 75.000 tenaga kerja.
Baca juga : Antisipasi Lonjakan Pengangguran
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit mengatakan, strategi menarik investasi lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus berorientasi pada penciptaan lapangan kerja yang banyak, tidak sekadar menarik nilai investasi yang besar.
”Patokan kesuksesan seharusnya berapa banyak lapangan pekerjaan yang bisa diciptakan, bukan berapa besar investasi dalam dollar AS yang didapat. Percuma investasi naik berlipat ganda, tetapi penciptaan lapangan kerja turun,” katanya.
Ia berpendapat, Undang-Undang Cipta Kerja tidak bisa menciptakan lapangan kerja jika tidak diimbangi dengan kejelasan peta jalan reformasi dan transformasi ekonomi.
Selain kemudahan berusaha dan memangkas birokrasi, UU Cipta Kerja juga memayungi aturan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi yang belakangan banyak disorot. Lembaga milik Pemerintah RI ini bertugas mengelola dana investasi asing untuk membantu kebutuhan pembiayaan infrastruktur.
”Pemerintah mengejar momentum sebelum triwulan I-2021 berakhir agar pertumbuhan ekonomi tidak kembali terkontraksi,” ujar Susiwijono.
Undang-Undang Cipta Kerja tidak bisa menciptakan lapangan kerja jika tidak diimbangi dengan kejelasan peta jalan reformasi dan transformasi ekonomi.
Saat ini, pemerintah juga tengah menyusun daftar prioritas investasi untuk setiap sektor usaha yang akan diterbitkan pada semester II-2021. Investasi akan diprioritaskan untuk pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar dapat bangkit dan naik kelas sehingga pemulihan ekonomi lebih cepat.
Baca juga : BKPM: Investasi Mulai Bergeser ke Luar Jawa
Namun, apakah investasi akan tumbuh pada 2021?
Sejumlah ekonom menjawab, pemulihan ekonomi tak akan terjadi jika kasus positif Covid-19 terus bertambah. Artinya, investor tidak akan tertarik masuk ke Indonesia atau menahan ekspansi karena risiko Covid-19 masih tinggi.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro menyampaikan, peningkatan daya saing investasi memang diperlukan, tetapi bukan prioritas jangka pendek. Pemerintah sebaiknya fokus memulihkan sisi permintaan untuk menghindari risiko perbankan enggan menyalurkan kredit karena permintaan rendah.
Di sisi lain, pemulihan sisi permintaan juga terkait dengan penanganan Covid-19. Jangan sampai, Indonesia tertinggal dalam pemulihan ekonomi karena Covid-19 tak kunjung tertangani. ”Semakin lama berkutat dengan Covid-19, semakin lama dan kecil peluang investor akan masuk ke Indonesia,” tambah Andry.
Pemerintah sebaiknya fokus memulihkan sisi permintaan untuk menghindari risiko perbankan enggan menyalurkan kredit karena permintaan rendah.
Ekonom yang juga Menteri Keuangan periode 2013-2014, M Chatib Basri, menekankan, perbaikan ekonomi memang terjadi setelah pelonggaran pembatasan sosial berskala besar, tetapi hanya sementara. Mayoritas penduduk kelas menengah atas masih menahan belanja. Program vaksinasi diharapkan mengubah situasi.
Selama vaksinasi belum diketahui efektivitasnya, penerapan protokol kesehatan ketat tetap diperlukan. Implikasinya, operasional bisnis hanya bisa maksimal 50 persen sehingga risiko kebangkrutan masih membayangi. Pengusaha masih menahan ekspansi sehingga investasi tidak tumbuh.
”Pemerintah tidak bisa mengharapkan pertumbuhan investasi pada 2021. Konsumsi harus didorong dulu, kemudian investasi,” kata Chatib.