Penghidupan Kembali Wisata Kampung Pecinan Kapasan Surabaya
Filosofi kelembutan kapas menginspirasi warga peranakan Tionghoa di Kapasan Dalam, Surabaya, Jawa Timur, menolak terpuruk karena situasi pandemi Covid-19 dan mencoba bangkit dengan program Wisata Kampung Pecinan Kapasan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 turut memukul kepariwisataan sehingga menjerumuskan masyarakat yang bergantung pada sektor tersebut ke jurang kemiskinan. Namun, dengan filosofi kelembutan kapas, warga peranakan di Kapasan Dalam, Surabaya, Jawa Timur, menolak terpuruk dan mencoba bangkit dengan program Wisata Kampung Pecinan.
Spanduk bertuliskan Selamat Datang Wisata Kampung Pecinan Kapasan Surabaya membentang pada dinding dekat gerbang Jalan Kapasan Dalam III, Kapasan, Simokerto, Surabaya, Jumat (19/2/2021) atau sepekan dari Tahun Baru Imlek 2572 Kongzili.
Jalan Kapasan Dalam III berhias untaian lampion merah dan lampu warna warni yang bergantung di atas berlatar langit. Rangkaian lentera tradisional dan pernak-pernik Imlek juga menghiasi hampir semua rumah warga peranakan di Kapasan Dalam.
Menyusuri Gang 1-6 Kapasan Dalam, kampung pecinan tua di Surabaya, yang sempit sehingga pengendara sepeda motor harus menuntun kendaraan, diri seolah dirayu untuk betah berlama-lama. Dinding rumah “dihidupkan” dengan berbagai lukisan. Ada lukisan naga, tembok besar China, sosok panglima perang atau dewa-dewi mitologi China, pemandangan, gerbang kuno, dan arsitektur China.
Beberapa rumah juga menjajakan kuliner khas dan otentik. Misalnya Nasi Campur Nyaa Bang Boklan, Restu Redjo, Dapur Cik De, Kopi Bubuk Cap Sedan, Bakpao/Mie Ming, dan Kedai Kungfu. Untuk beberapa menu misalnya nasi campur yang diproduksi terbatas akan ludes cepat sehingga datanglah kurun pukul 06.00-08.00 WIB. Semakin siang datang, kedai sudah tutup karena produk habis.
Pada akhir pekan khususnya Sabtu dan Minggu, Kapasan Dalam yang mencakup 250 rumah di Gang 1-6 Rukun Warga (RW) 8 Kapasan ramai dikunjungi oleh wisatawan yang notabene komunitas. Yang sering datang khususnya komunitas pesepeda. Untuk dapat menikmati suasana, pengunjung sementara dipungut biaya Rp 5.000. Dengan begitu, silakan berpuas diri mengabadikan momen dengan swafoto di depan mural atau bangunan tua bersejarah di Kapasan Dalam.
Wisata Kampung Pecinan diluncurkan untuk inisiatif menyelamatkan kehidupan ekonomi masyarakat (Michael Wijaya)
Wisata Kampung Pecinan (WKP) Kapasan merupakan inisiatif warga setempat sejak bertahun-tahun lalu. Keinginan itu disambut oleh Dinas Pariwisata Kota Surabaya, dengan menambahkan destinasi di kota ini sejak November 2020. Pemkot Surabaya pun turut melakukan penataan kawasan Kapasan Dalam, untuk menwujudkan keinginan warga yang tidak ingin identitas sebagai peranakan atau keturunan Tionghoa luntur seiring waktu merayap.
Ketika pandemi Covid-19 menyergap Surabaya, pertengahan Maret 2020, turut mengguncang dan mengganggu napas kehidupan ekonomi warga yang kebanyakan bergantung pada perdagangan barang dan jasa. Meski sekarang mulai menggeliat dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat baik bagi penduduk, maupun pengunjung.
Karakter masyarakat keturunan Tionghoa ulet dan cerdik. Warga Kapasan Dalam pada masa Hindia-Belanda atau sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikenal sebagai kampung jawara kungfu yang amat disegani bahkan oleh pemerintah kolonial. Warga Surabaya sendiri dikenal pemberani dan cenderung nekat. Karakter inilah yang dibangkitkan untuk tidak menyerah pada situasi pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2).
“Pahlawan Kehidupan”
Bersamaan dengan 75 Tahun Pertempuran Surabaya yang diperingati sebagai Hari Pahlawan pada 10 November 2020, warga Kapasan Dalam meluncurkan program WKP Kapasan. Mereka seolah ingin menjadi “pahlawan” kehidupan setidaknya bagi diri sendiri agar tidak bertekuk lutut di hadapan serangan wabah atau pagebluk yang belum juga mereda.
“Wisata Kampung Pecinan diluncurkan untuk inisiatif menyelamatkan kehidupan ekonomi masyarakat,” kata Wakil Ketua WKP Kapasan Michael Wijaya saat ditemui di Kapasan Dalam.
Dalam dunia kepariwisataan, wisata kampung termasuk ke kawasan pecinan bukan program baru. Di daratan China, wisata kampung menjadi salah satu magnet untuk mendatangkan turis mancanegara sehingga turut menggemukkan devisa negara. Begitu pula beberapa negara lainnya di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika menjadikan wisata kampung nan unik sebagai komoditas ciamik yang digemari.
Ketua RW 8 Kapasan Djaja Soetjianto mengatakan, Kapasan Dalam rutin didatangi komunitas pemerhati dan peneliti kesejarahan dan kebudayaan. Di sini masih terdapat tinggalan sejumlah arsitektur lawas. Yang paling fenomenal tentunya Kelenteng Boen Bio yang disebut benteng terakhir bagi umat Konghucu Surabaya. Kelenteng didirikan di dalam kampung pada 1883 tetapi 1907 dipindahkan ke tepi Jalan Kapasan.
Juga ada gedung tua bekas Balai Pengobatan Satya Maitreya dari susunan kayu yang di masa lalu merupakan salah satu tempat para jawara berlatih kungfu. Di masa kolonial, bangunan itu juga menjadi salah satu “markas” perjuangan dan penyimpanan senjata serta amunisi. Dari sinilah muncul julukan Buaya Kapasan untuk para jagoan bela diri.
Donny Jung, warga Kapasan Dalam dan praktisi kungfu mengatakan, rumahnya sebelum kebakaran menyimpan ratusan pusaka dan koleksi memorabilia kuno. Pusaka, foto lama, peralatan bela diri, dan catatan narasi juru-jurus kungfu yang sempat terselamatkan akan dipamerkan di Kedai Kungfu sekaligus Museum Kungfu.
Identitas
Pengajar di Universitas Ciputra sekaligus Ketua Surabaya Heritage Society, Freddy Istanto mengatakan, kawasan pecinan di Surabaya kebanyakan berada di sisi timur Kalimas yang merupakan terusan Kali Surabaya atau Sungai Brantas. Jauh sebelum terbentuk kampung-kampung, kawasan pecinan Surabaya adalah hutan randu (kapas). Pada abad ke-16 atau ke-17, hutan dibabat untuk kepentingan perniagaan dimana dalam sejarah etnis Tionghoa dan keturunannya cukup sukses.
Keberadaan pecinan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan segregasi era kolonial. Sejak Pakubuwono II menyerahkan penguasaan Surabaya kepada kolonial, Surabaya dibagi menjadi 3 kawasan berdasarkan etnis (Eropa, Tionghoa, Arab-Melayu).
Chinesche-kamp atau pecinan dikonsentrasikan di bagian kota agak selatan dan timur. Salah satu pecinan di tepi Kalimas yakni Chineseche Voorstraat atau Pecinan kulon (Jalan Karet) merupakan pemukiman elite dari perniagaan. Mereka mempekerjakan “saudara” dari Kapasan yang berada di kelas ekonomi menengah bawah tetapi jago kungfu sebagai penagih utang.
Segregasi pemukiman memudahkan pemerintah kolonial mengontrol. Namun, ikatan sosial warga kian kuat. Warga pecinan seolah menggeber identitas kebudayaan dalam arsitektur, seni tradisi, kuliner, busana, peralatan, dan perlengkapan. Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh dirayakan besar-besaran. Pesta perkawinan bahkan ritual kematian juga dilaksanakan dalam kepekatan tradisi yang wah.
“Berangsur-angsur jejak-jejak peranakan kian samar,” kata Freddy.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Surabaya Antiek Sugiharti mengatakan, WKP Kapasan dapat menjadi bagian dalam program pembenahan kawasan kota lama sektor pecinan yang sudah berlangsung sejak 2019. WKP Kapasan diharapkan memotivasi pecinan lainnya di Surabaya untuk tetap membuat terobosan sebagai upaya melawan pandemi Covid-19.
Nantinya, WKP bukan hanya Kapasan melainkan Tambak Bayan, Kembang Jepun, dan Karet di kawasan kota lama. Wisatawan ke Surabaya bisa menikmati suasana di kampung-kampung pecinan dengan berbagai keunikannya dalam suatu paket. “Masyarakat pecinan merupakan bagian tak terpisahkan dalam perjalanan dan perjuangan Surabaya,” kata Antiek.