Pesona Surabaya, Penakluk Mata hingga Kaki
Suasana Kota Surabaya yang memiliki 500 taman dan seluruh fasilitas publik benar-benar tertata dan sesuai fungsinya. Berkunjung ke kota pahlawan ini meski sekejap tetapi selalu dikenang.
Begitu menginjakkan kaki di Surabaya, Jawa Timur, ritual Pandji Galih A (36), karyawan swasta yang tinggal di Jakarta ini, adalah ”menyambangi” kuliner kegemarannya, bakso chukul, di Jalan Kombes Pol M Duryat. Hampir dua tahun, ayah dari dua putra ini bertugas di ”Kota Pahlawan” dan, setiap dua pekan, ia kembali ke Jakarta.
Salah satu bunga tabebuya yang sejak 10 tahun lalu ditanam di Kota Surabaya, setiap Oktober saatnya bermekaran seperti tabebuya warna kuning ini di salah satu perumahan di Gunung Anyar, Surabaya, Selasa (27/10/2020).
Bagi Pandu, bertugas di Surabaya serasa piknik sepanjang hari. Tiap hari mengunjungi satu taman saja belum tentu tuntas selama setahun. Belum lagi di Surabaya juga ada 26 museum dan tempat hiburan lain, seperti Kebun Binatang Surabaya, Kenpark, di Kenjeran.
Kenpark berlokasi di Jalan Pantai Ria Kenjeran, Sukolilo Baru, Kecamatan Bulak, dengan tiket masuk Rp 15.000 bagi pengendara sepeda motor. Di kawasan itu juga ada Water Park dan Atlantis Land dengan tiket masuk berbeda-beda.
”Situasi kotanya benar-benar bisa menyenangkan mata, hati, dan kaki. Taman yang rimbun dan terawat, termasuk seluruh ruang publik, seperti trotoar dan jalur sepeda, semua dimanfaatkan oleh warga sesuai fungsinya,” begitu kata Pandu.
Jalur pedestrian, misalnya, nyaris tidak ada pengendara sepeda motor, bahkan sepeda angin, yang melintas. Trotoar sepenuhnya menjadi milik pejalan kaki dan disabel.
Justru, kata Pandu, sejak virus korona menyeruak, pertengahan Maret 2020, keleluasaan berkunjung ke ruang publik terhambat. Semua taman masih tutup dan diproteksi dengan tali atau pembatas jalan. Padahal, ia juga ingin sekadar duduk santai di taman.
Yang bisa dijalani selama mewabahnya Covid-19, antara lain, joging dan bersepeda. Aktivitas ini dilakukan tentu dengan protokol kesehatan yang ketat, yakni tidak berkerumun dan selalu memakai masker.
Baca juga: Masyarakat Jadi Kunci Cerdas Surabaya
Bunga tabebuya mekar di Jalan Wonokromo, Surabaya, Senin (18/11/2019). Bunga tabebuya yang ditanam Pemkot Surabaya di sejumlah jalan protokol mulai bermekaran dan menambah semarak suasana kota. Musim berbunga tersebut akan berakhir saat memasuki musim hujan.
Kota Surabaya memang tak memiliki pesona alam, seperti Banyuwangi, Pacitan, atau Pulau Dewata, Bali. Kendati demikian, ada lebih dari 500 taman serta jalur pedestrian dan jalur sepeda yang semuanya terawat. Dengan pesona itu, Surabaya justru bisa termasuk sebagai kota yang menjadi tujuan para pelancong. Surabaya pun sudah tiga kali mendapatkan apresiasi sebagai kota cerdas sejak 2015 hingga 2019.
Seperti diungkapkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Surabaya tak punya pesona alami, tetapi kenyamanan yang berakhir pada peningkatan kesejahteraan warga justru memancarkan eksotisme kota ini.
”Kota ini dibuat untuk meningkatkan harkat dan martabat warganya. Dalam setiap jengkal pembangunan, pembenahan sepenuhnya menguatkan posisi warga sebagai tuan dan nyonya di kotanya, bukan sekadar tamu,” katanya.
Kehadiran bunga tabebuya sejak 10 tahun lalu, mirip bunga sakura di Jepang, selalu dinanti warga, juga mereka yang dari luar daerah. Bunga tabebuya biasanya bermekaran awal Oktober hingga November sebelum musim hujan tiba.
Kota ini dibuat untuk meningkatkan harkat dan martabat warganya. Dalam setiap jengkal pembangunan, pembenahan sepenuhnya menguatkan posisi warga sebagai tuan dan nyonya di kotanya, bukan sekadar tamu. (Tri Rismaharini)
Begitu hujan menerjang, bunga warna-warni kuning, merah jambu, dan putih itu langsung berguguran. Musim tabebuya merona sudah dijadikan agenda untuk piknik ke kota berpenduduk 3,3 juta jiwa ini.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Antiek Sugiarti mengatakan, pada 2019 target kunjungan wisatawan 21 juta orang dan terealisasi 25 juta orang. Banyaknya pelancong ke kota dengan luas wilayah 350,5 kilometer persegi ini tidak terlepas dari antusiasme pemerintah daerah, perusahaan, serta lembaga, baik dari dalam maupun luar negeri, yang datang mencari ”ilmu” tentang pengelolaan kota.
Sepanjang 2019, hampir setiap hari, kota yang memiliki 276 hotel ini selalu kedatangan tamu dari luar Surabaya. Mereka ingin melihat sekaligus mencari tahu cara membangun kota untuk kesejahteraan warganya. Kunjungan menjadi banyak karena ada beberapa pertemuan bertaraf internasional dengan peserta mencapai 5.000 orang.
Kedatangan banyak tamu, terutama dari luar negeri, memberi dampak langsung terhadap pelaku UMKM. Ini dialami Wiwit Manfaati yang pada 2016 mendapat order sebanyak 5.000 tas dengan bahan baku eceng gondok sebagai suvenir peserta PrepCom 3 for Habitat III.
Baca juga: Utara Surabaya Selalu Bikin Rindu
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, dalam 5 tahun terakhir, yakni periode 2015-2019, pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya mengalami percepatan dari 5,97 persen pada 2015 hingga mencapai puncaknya pada 2018 sebesar 6,20 persen. Ada perlambatan menjadi 6,10 persen pada 2019.
Sektor usaha yang mengalami pertumbuhan tertinggi dicapai sektor penyediaan akomodasi dan makan minum, disusul jasa kesehatan dan kegiatan sosial, transportasi dan pergudangan, serta jasa perusahaan. Sektor makanan memang terus tumbuh, apalagi Surabaya tersohor dengan kuliner yang otentik dan terus bermunculan, mulai dari rawon, bebek, soto, hingga camilan.
Sebut saja Rawon Pak Pangat, Rawon Kalkulator, Cak Mis di Jalan Bintoro, Soto Gubeng Pojok, Rujak Cingur Jalan Haji Jais, Nasi Cumi Jalan Waspada, Bebek Cak Yudi, Zangrandi, dan Depot Bu Rudy. Masih banyak lagi makanan khas Surabaya yang sudah cocok dengan lidah banyak orang.
Sentra kuliner pun muncul di mana-mana, termasuk di sepanjang Jalan Ir Soekarno (MERR). Di jalan sepanjang 10 kilometer itu banyak dijumpai kafe dan restoran. Secara kasatmata di kiri-kanan sepanjang MERR paling tidak sudah ada 100 usaha kuliner, termasuk kafe atau kedai kopi berjaringan.
Baca juga: Menjelajah Atmosfer Asia, Timur Tengah, hingga Eropa di Kota Tua Surabaya
Kini, sentra kuliner tak lagi bertumpuk di Jalan Kedungdoro, Jalan Kertajaya, atau Jalan Gubeng, tetapi hampir di semua wilayah terdapat sentra kuliner. Mulai dari Jalan Mayjen Sungkono hingga perumahan Citra Land di Surabaya Barat yang terkenal dengan Gwalk.
Seperti diungkap Ina Silas yang tinggal di Surabaya barat, pesona Surabaya adalah di suasana hijau alami yang dapat dirasakan cukup merata di seluruh penjuru kota. Sebagai kota metropolitan, Surabaya tetap terasa nyaman.
Hijau dan tertata, serta tertib, membuat banyak orang luar Surabaya selalu kangen kembali ke kota ini. Apalagi Surabaya juga punya Hutan Raya Mangrove Gunung Anyar dan Wonorejo.
Di Hutan Raya Mangrove Gunung Anyar, ada kursi untuk duduk santai, yang seluruh propertinya memanfaatkan barang bekas, seperti pompa air dan pipa. Di sana juga disediakan beberapa gazebo yang dapat dimanfaatkan pengunjung untuk bercengkerama sambil menikmati makan bersama secara lesehan yang dibawa sendiri. Namun, jumlah gazebo tak banyak.
Adapun di Hutan Raya Wonorejo, selain ada jalur joging, juga disediakan gazebo yang bisa dimanfaatkan pengunjung untuk bersantai. Namun, pengunjung tak boleh makan di area hutan raya karena di kawasan itu disediakan pujasera.
Menurut Ina, tidak ada salahnya Pemerintah Kota Surabaya mulai memikirkan untuk pembangunan area piknik keluarga. Dengan demikian, warga bisa mengajak anggota keluarga datang menikmati makan bersama, dengan tetap menjaga kebersihan area di sekitar itu.
Seperti diungkap Fabiola Ponto, ibu rumah tangga yang tinggal di Mulyosari. ”Surabaya sekarang beda banget. Bisa dibilang dulu termasuk gersang. Sekarang enak, taman kota tersebar di semua wilayah,” kata perempuan yang lahir dan besar di Surabaya ini.
Ibu dari seorang putra ini pun mengaku dalam kesehariannya sangat jarang mengajak buah hatinya cuci mata ke mal. Ketika mengajak anak jalan sekadar membuang kebosanan, nyaris tidak ke mal. Perbandingannya 1:10 atau sembilan kali mengunjungi taman dan sekali saja ke pusat perbelanjaan.
”Itu pun belum tentu 3 bulan sekali kami nge-mal. Kami lebih suka jalan ke Taman Flora, Kebun Bibit Wonorejo, dan tentu saja Taman Suroboyo. Taman ini favorit si bocah, Kevananda (5), karena bisa main air di pantai sambil mengumpulkan kerang,” ujarnya.
Tidak ada salahnya Pemerintah Kota Surabaya mulai memikirkan pembangunan area piknik keluarga. Dengan demikian, warga bisa mengajak anggota keluarga untuk datang menikmati makan bersama dengan tetap menjaga kebersihan area di sekitar itu. (Ina Silas)
Sementara, kalau mau bertemu dengan teman-teman, tinggal tanya makanan kesukaannya. Apalagi banyak makanan di Surabaya rata-rata bikin mata melotot dan pedasnya nendang, seperti sambal bebek, rujak cingur, nasi cumi, dan rawon.
”Penampilan makanan saat disajikan memang banyak yang merasa kurang sip. Padahal, ketika disantap, rasanya dahsyat,” katanya.
Mau steak rasa lokal dengan tempat nyaman, di Surabaya ada. Atau sekadar makan lontong kupang sambil menyeruput es degan dan menikmati semilir di Pantai Kenjeran, kini bisa dilakukan dari Jembatan Suroboyo atau Sentra Ikan Bulak. Warung serta kedai kopi dan es krim juga kian bertebaran. Surabaya serasa benar-benar surga kuliner.
”Kami senang menjelajahi kawasan kota tua, museum, dan mampir ke Surabaya North Quay di Pelabuhan Tanjung Perak,” kata Ina.
Berwisata di Surabaya, semua hasrat terpuaskan. Mulai dari mata hingga kaki.
Baca juga: Hijau Surabaya Inspirasi Dunia