JAKARTA, KOMPAS — Upaya mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan dihadapkan pada tiga tantangan besar yang datang bersamaan, yakni pandemi Covid-19, perubahan iklim, dan perkembangan teknologi. Ketiga tantangan itu berisiko memperlebar jurang ketimpangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, tantangan pembangunan inklusif dan berkelanjutan dialami seluruh negara di kawasan Asia, tak terkecuali Indonesia. Setahun terakhir, negara sibuk mengatasi pandemi Covid-19. Padahal, ancaman juga datang dari perubahan iklim dan perkembangan teknologi.
”Indikasi yang kini mulai terlihat, jurang ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang semakin melebar,” kata Sri Mulyani dalam webinar ”Infrastruktur, Teknologi, dan Pembiayaan untuk Pembangunan Inklusif dan Berkelanjutan di Asia”, Kamis (17/2/2021).
Pelebaran ketimpangan tecermin dari kenaikan jumlah penduduk miskin, utang pemerintah, dan indeks modal manusia di mayoritas negara berkembang. Ironisnya, ketimpangan yang melebar bukan hanya terjadi antarnegara, melainkan antarwilayah di negara itu sendiri.
Baca juga : Persoalan yang Mengancam Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Bertambah
Sri Mulyani mengatakan, teknologi digital seharusnya menjadi solusi pada masa pandemi Covid-19. Namun, di Indonesia, adopsi dan pemanfaatannya masih terpusat di Jawa karena ketersediaan infrastruktur dan pengetahuan masyarakat relatif mumpuni. Sementara di wilayah timur Indonesia masih tertinggal.
Jurang ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang semakin melebar.
Upaya mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan memperkecil jurang ketimpangan bukan perkara mudah. Di satu sisi, negara butuh pembiayaan dalam jumlah besar untuk pemerataan pembangunan infrastruktur. Namun, di sisi lain, pembiayaan yang bersumber dari APBN akan meningkatkan utang pemerintah.
”Infrastruktur menjadi hal penting untuk mengatasi tantangan pandemi Covid-19, perubahan iklim, dan perkembangan teknologi,” kata Sri Mulyani.
Laporan terbaru lembaga riset makro-ekonomi Asean+3 berjudul AMRO Annual Consultation Report Indonesia menekankan arti penting keberlanjutan reformasi di bidang diversifikasi ekonomi, iklim investasi, pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia, serta ekonomi digital.
Reformasi berkelanjutan penting untuk meningkatkan ketahanan Indonesia terhadap guncangan di masa depan. Kebijakan jangka panjang jangan sampai terabaikan karena pemerintah terlalu fokus menangani Covid-19 yang sifatnya jangka pendek dan menengah. Tantangan masa depan bisa jadi lebih besar.
Investasi infrastruktur
Dihubungi terpisah, Kamis, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Teuku Riefky, berpendapat, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia didirikan pada waktu yang tepat. Kehadiran sovereign wealth fund milik Pemerintah RI ini akan mengurangi beban APBN dalam pembiayaan infrastruktur di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19.
LPI diharapkan mampu mendorong investasi asing yang substansial masuk ke Indonesia dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Tujuannya, mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, utang pemerintah dapat terjaga karena kebutuhan pembiayaan tidak hanya mengandalkan APBN.
”Waktunya sekarang tampak tepat bagi sovereign wealth fund yang baru didirikan,” ujar Riefky.
Baca juga : BKPM: Investasi Mulai Bergeser ke Luar Jawa
Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Bahlil Lahadalia dalam keterangan tertulis, menambahkan, orientasi pemerintah tidak hanya menarik investasi sebanyak-banyaknya, tetapi juga pemerataan investasi ke luar Jawa, terutama wilayah timur. Pemerataan investasi diharapkan dapat memperkecil ketimpangan antarwilayah.
Salah satu fokus investasi di wilayah timur Indonesia adalah hilirisasi sumber daya alam. Misalnya, pembangunan pabrik pengolahan nikel di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Pembangunan pabrik pengolahan nikel diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru di kawasan tersebut.
Salah satu fokus investasi di wilayah timur Indonesia adalah hilirisasi sumber daya alam.
Menurut catatan BKPM, porsi investasi di luar Jawa secara konsisten meningkat dari 43,7 persen tahun 2017 menjadi 43,8 persen (2018), 46,3 persen (2019), dan 50,5 persen (2020). Sebaliknya, porsi investasi di Jawa turun dari 56,3 persen tahun 2017 menjadi 56,2 persen (2018), 53,7 persen (2019), dan 49,5 persen (2020).
Investor mulai menyasar berbagai wilayah di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua, kemudian Bali dan Nusa Tenggara.