Proyek Lumbung Ikan Nasional di Maluku Dianggap Mengabaikan Nelayan Kecil
Pembangunan pelabuhan terpadu berbasis industri perikanan di Maluku dianggap pro pada kepentingan investasi korporasi besar. Posisi nelayan lokal dalam pengelolaan perikanan masih kabur.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Rencana pembangunan pelabuhan terpadu untuk logistik dan industri perikanan dalam mewujudkan Maluku sebagai lumbung ikan nasional dinilai berorintansi pada proyek semata. Posisi nelayan kecil yang seharusnya menjadi pemain utama masih kabur. Program itu berpotensi melenceng dari tujuan utama dan dianggap sekadar menghamburkan anggaran negara.
”Mengapa bukan nelayan yang disentuh pertama kali? Apa alasan yang dipikirkan itu adalah bangunan megah dengan nilai proyek triliunan rupiah?” ujar Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari mempertanyakan proyek tersebut, Senin (8/2/2021).
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia meninjau lokasi pembangunan pelabuhan terpadu untuk logistik dan perikanan di Pulau Ambon, Jumat (5/2/2021). Pelabuhan terbesar di kawasan timur Indonesia itu akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Yang bisa mengakses pelabuhan dan mengembangkan industri di sana itu pasti orang-orang berduit. Hanya pengusaha besar yang bisa masuk ke sana. (Ruslan Tawari)
Pelabuhan terpadu dimaksud akan dibangun antara Desa Waai dan Desa Liang di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Lokasi itu berjarak sekitar 35 kilometer dari pusat Kota Ambon. Menurut rencana, kawasan terpadu tersebut berdiri di atas lahan seluas lebih kurang 717 hektar dengan biaya pembangunan senilai Rp 2 triliun.
Seusai peninjauan lokasi, Bahlil Lahadalia mengatakan, kehadiran pelabuhan terpadu dan kawasan industri itu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di timur Indonesia. ”Maluku harus didorong sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi baru dalam aspek fokus di sektor perikanan,” ujarnya. Lokasi itu untuk menunjang Maluku sebagai lumbung ikan nasional (Kompas, 6/2/2021).
Menurut catatan Kompas selama mengikuti kunjungan ke lokasi itu, ketiga menteri tidak menjelaskan posisi nelayan lokal dalam program lumbung ikan nasional. Mereka juga tidak menyinggahi kampung-kampung nelayan di sekitar lokasi tersebut. Padahal, hal itu sangat diharapkan nelayan sempat. Banyak aspirasi nelayan yang ingin disampaikan kepada para menteri.
Sekadar obyek
Ruslan Tawari mengatakan, nelayan hanya dijadikan obyek oleh pemerintah dalam proyek lumbung ikan nasional. Dalam program tersebut seharusnya ada penataan terstruktur dari hulu sampai ke hilir. Di posisi hulu ada nelayan lokal. ”Yang bisa mengakses pelabuhan dan mengembangkan industri di sana itu pasti orang-orang berduit. Hanya pengusaha besar yang bisa masuk ke sana,” ujarnya.
Ia memperkirakan, akan masuk pengusaha besar yang membawa serta armada tangkap untuk mengeksploitasi perairan setempat. Hasil tangkapan mereka untuk bahan baku industri. Hal itu sama seperti yang terjadi di wilayah bagian tenggara Maluku, yakni Tual dan Kepulauan Aru. Ada pengusaha perikanan tertentu yang menguasai wilayah tangkap di sana.
Sementara itu, lanjut Ruslan, nasib nelayan lokal semakin tindak menentu. Mereka tidak menikmati kehadiran kawasan megah yang diklaim terbesar di bagian timur Indonesia itu. Di Maluku saat ini terdapat lebih kurang 115.000 rumah tangga nelayan. Sebagian besar dari mereka belum mendapatkan akses untuk memanfaatkan potensi perikanan yang diklaim sekitar 4 juta ton per tahun atau 30 persen dari potensi nasional.
Nelayan hanya butuh itu saja. Nelayan tidak butuh bangunan megah. (Zainudin)
Hampir 90 persen rumah tangga nelayan di Maluku masuk kategori nelayan skala kecil. Mereka mendiami 1.045 desa pesisir dari total keseluruhan 1.199 desa. Badan Pusat Statistik mencatat, pada Maret 2020, sebanyak 318.180 jiwa di Maluku hidup di bawah garis kemiskinan atau setara dengan 17,44 persen dari total jumlah penduduk 1,8 juta jiwa. Sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa.
Zainudin (50), nelayan di Desa Waai yang rumahnya tak jauh dari lokasi pembangunan pelabuhan itu, mengatakan, yang dibutuhkan nelayan saat melaut adalah umpan, bahan bakar, dan es. Sekembalinya dari laut, mereka menginginkan ada pihak lain membeli hasil tangkapan mereka. ”Nelayan hanya butuh itu saja. Nelayan tidak butuh bangunan megah,” ucapnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Maluku Kasrul Selang mengatakan, nelayan tetap diprioritaskan dalam skema pengelolaan lumbung ikan nasional. Di setiap kampung nelayan akan dibangun sistem yang menghubungkan nelayan dengan industri pengolahan. Tangkapan nelayan akan diserap pasar industri.
Secara perlahan, sektor hulu akan dibenahi. Kebutuhan melaut harus tersedia di setiap kampung nelayan. Nelayan juga akan dibina untuk mengefektifkan serta membuat lebih efisien biaya dan waktu melaut. Salah satunya teknologi informasi mengenai sebaran ikan di laut.