Paket Terpadu Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha Diterbitkan
KSSK menerbitkan Paket Kebijakan Terpadu untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha. Sementara OJK memberikan keleluasaan kepada LPI jika membutuhkan transaksi di sektor keuangan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite Stabilitas Sistem Keuangan merumuskan paket kebijakan terpadu untuk meningkatkan pembiayaan dunia usaha. Peningkatan pembiayaan itu guna membantu sektor-sektor usaha paling terdampak pandemi Covid-19 agar tetap bisa bertahan dan berekspansi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) telah memetakan dan mengidentifikasi persoalan riil yang dihadapi dunia usaha. Hal ini dilakukan melalui serangkaian diskusi bersama 25 asosiasi pengusaha yang mewakili 25 sektor usaha. Diskusi menyepakati pembiayaan bagi dunia usaha perlu ditingkatkan.
”Paket kebijakan terpadu disusun untuk meningkatkan pembiayaan dunia usaha dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (1/2/2021).
Paket kebijakan terpadu disusun untuk meningkatkan pembiayaan dunia usaha dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Paket kebijakan terpadu untuk peningkatan pembiayaan dunia usaha mencakup kebijakan insentif fiskal dan dukungan belanja pemerintah; kebijakan moneter, makroprudensial, dan pembiayaan; kebijakan prudensial sektor keuangan; kebijakan penjaminan simpanan; serta kebijakan penguatan struktural.
Menurut Sri Mulyani, paket kebijakan terpadu secara umum untuk seluruh sektor usaha terdampak Covid-19. Namun, ada juga kebijakan yang sifatnya lebih spesifik ke sektor tertentu. Kebijakan ini dirumuskan untuk meringankan biaya produksi dan menjaga arus kas pelaku usaha.
Kebijakan insentif fiskal antara lain berupa PPh 21 ditanggung pemerintah, pembebasan dari pemungutan PPh 22 impor, keringanan angsuran pajak PPh 25, penangguhan bea masuk dan atau tidak dipungut pajak dalam rangka impor di kawasan berikat, serta pembebasan atau pengembalian bea masuk untuk kemudahan impor tujuan ekspor (KITE).
Di sisi pembiayaan, pemerintah juga memberikan dukungan bagi dunia usaha dalam bentuk penjaminan kredit. Penjaminan kredit diberikan agar bank bisa lebih yakin menyalurkan kredit ke dunia usaha. Dengan demikian, dunia usaha dapat bertahan menghadapi pandemi Covid-19.
”Vitamin baru diberikan dalam bentuk penjaminan kredit yang akan dilihat lebih detai sektor per sektor,” kata Sri Mulyani.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, penyusunan paket kebijakan terpadu mencerminkan penguatan sinergi antara pemerintah, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dukungan bagi dunia usaha diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam paket kebijakan terpadu, BI antara lain akan memfasilitasi perdagangan dan investasi dengan mendukung stabilitas nilai tukar. Pelaku usaha akan didorong memanfaatkan kerja sama local currenty settlement (LCS) yang telah ada dengan Jepang, Thailand, dan Malaysia, dan yang dalam proses dengan China.
”Inisiatif ini untuk mendorong perluasan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan investasi langsung dengan negara mitra dagang utama,” ujar Perry.
Kewenangan LPI
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menuturkan, OJK telah menyusun kebijakan prioritas dengan mendorong fungsi intermediasi dalam rangka pemulihan ekonomi makro. Salah satu kebijakan prioritas itu adalah penetapan status sovereign bagi Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
”OJK memberikan keleluasaan kepada LPI jika membutuhkan transaksi di sektor keuangan,” kata Wimboh.
OJK memberikan keleluasaan kepada LPI jika membutuhkan transaksi di sektor keuangan.
Menurut Wimboh, penetapan status ini menjadi salah satu fokus OJK mendukung pemulihan. Status sovereign akan memberikan kepercayaan bagi investor. Terlebih, LPI diberikan kewenangan untuk mengelola dana investasi setidaknya Rp 225 triliun atau tiga kali lipat dari modal awal.
Untuk meningkatkan pembiayaan dunia usaha, OJK juga akan memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit, menurunkan bobot risiko kredit untuk kredit properti dan kendaraan bermotor, serta penyesuaian batas maksimum pemberian kredit dan penurunan bobot risiko kredit untuk sektor kesehatan.
Sementara anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, berpendapat, LPI diberikan fasilitas luar biasa. Padahal, karpet merah untuk dunia usaha sudah penuh, mulai dari perizinan, perpajakan, dan fasilitas lainnya. Hal ini perlu diperhatikan agar fasilitas insentif yang diberikan tidak tumpah tindih.
”Jangan insentif yang diberikan LPI justru menjadi disinsentif karena terjadi distorsi dengan insentif di kebijakan lain,” ujarnya.
LPI, kata Misbakhun, juga perlu menyesuaikan antara arah kebijakan investasi dan kebijakan insentif yang sudah ada. Terlebih, sektor-sektor prioritas LPI untuk membangun fasilitas infrastruktur, bandara, pelabuhan, dan digital. Di sektor digital, misalnya, Indonesia belum mempunyai aturan yang jelas tentang transaksi digital.
Sebelumnya, anggota Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Arya Sinulingga, menuturkan, LPI didirikan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan. Salah satu fokusnya adalah membantu kebutuhan pembiayaan infrastruktur, terutama di luar Jawa.
Ada dua skema investasi melalui LPI. Pertama, investor menyuntikkan modal langsung ke perusahaan atau proyek. Kedua, investor ikut mengelola aset milik BUMN. Dana kelolaan akan digunakan untuk membiayai pembangunan sektor strategis khususnya infrastruktur, seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan.
”Pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya sangat besar tidak bisa hanya bergantung ke APBN,” katanya.