Pemanfaatan digital kini mengubah wajah asuransi yang dipandang sebagai barang mewah. Dengan teknologi kecerdasan buatan dan internet untuk segala, premi asuransi dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produk asuransi sering kali dianggap sebagai barang mewah yang tidak terjangkau dan sulit untuk diakses. Namun, dengan inovasi teknologi digital, industri asuransi dinilai mampu menawarkan layanan yang sederhana dan terjangkau.
Transformasi industri asuransi melalui inovasi teknologi digital dikenal dengan istilah insurance technology (insurtech) atau teknologi asuransi. Industri keuangan digital ini pun sudah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.
Terkait dengan literasi keuangan untuk sektor perasuransian di Indonesia, menurut data OJK, telah meningkat dari 15,8 persen (2016) menjadi 19,4 persen (2019). Dalam periode yang sama, inklusi keuangan di sektor ini juga meningkat, dari 12,1 persen menjadi 13,15 persen.
Peningkatan literasi dan inklusi keuangan di sektor asuransi, salah satunya karena ada kewajiban kepemilikan asuransi kesehatan dasar, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Per akhir 2019, peserta BPJS Kesehatan mencapai 224,1 juta jiwa atau 83 persen dari total penduduk.
Namun, pengguna produk asuransi selain BPJS hanya sebanyak 2 persen. Artinya, baru sekitar 4,5 juta jiwa dari seluruh penduduk Indonesia yang memiliki polis asuransi tambahan selain BPJS Kesehatan.
Pemimpin Perusahaan PasarPolis, Cleosent Randing, menyampaikan tiga masalah utama yang menghambat industri asuransi, yaitu akses yang rumit, proses klaim yang ribet, dan premi yang tidak terjangkau. Namun, melalui teknologi kecerdasan buatan, produk yang lebih mudah diakses dan dijangkau, serta proses klaim yang lebih instan dapat diwujudkan.
”Saat ini, transformasi digital asuransi telah terjadi dan fondasinya semakin kuat selama 2020 karena pandemi. Industri insurtech kini terus bergerak positif dan kemampuan teknologi mampu menciptakan produk asuransi mikro yang lebih spesifik, terjangkau, dan tepat sasaran sehingga bisa memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat,” kata Cleosent dalam siaran pers yang diterima Kompas.
Insurtech, kata Cleosent, memungkinkan industri menembus segmentasi masyarakat yang sebelumnya sulit tersentuh layanan asuransi. PasarPolis mencatat, 90 persen konsumennya adalah mereka yang sebelumnya tidak pernah membeli polis asuransi (first-time buyer) dan 40 persen pemegang polis PasarPolis merupakan pekerja sektor informal, yaitu pengemudi ojek daring, kurir, serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) daring.
”Dengan adopsi digital yang semakin tinggi, masyarakat semakin terbiasa menggunakan platform digital. Kami yakin prestasi insurtech di 2021 akan terus berkembang. Dalam memaksimalkan potensi insurtech, kami pun siap berkolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, asosiasi, hingga pelaku industri baik di Indonesia maupun Asia Tenggara,” tutur Cleosent.
Sebelumnya, President Director Prudential Indonesia Jens Reisch menyampaikan, Prudential juga telah meluncurkan produk digital pertama di 2020, yaitu PRUTect Care, asuransi jiwa kumpulan syariah dengan konstribusi mulai dari Rp 5.000 per bulan. Semua perlindungan tersebut bisa didapatkan secara tatap muka ataupun virtual dari para tenaga pemasaran.
Layanan secara virtual dapat diakses melalui Pulse by Prudential, aplikasi berbasis kecerdasan buatan yang menawarkan manajemen kesehatan holistik untuk membantu masyarakat Indonesia menjaga kesehatan dan kesejahteraan. Hingga saat ini, Pulse telah diakses oleh lebih dari 3 juta orang di Indonesia.
”Dengan lebih dari 2 juta nasabah, kami harap seluruh inovasi yang dihadirkan tahun ini bisa berperan lebih lanjut dalam meringankan beban masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan saat ini dan di masa depan. Kami juga sadar, kami perlu berperan aktif dalam membangkitkan kebiasaan hidup sehat masyarakat di tengah pandemi,” ujar Jens.
Sebagai solusi
Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, menilai, insurtech dapat dikatakan menjadi jawaban atas kondisi saat ini. Mulai dari adanya pandemi Covid-19 yang membatasi kontak fisik, besarnya jumlah kaum milenial, hingga masih rendahnya penetrasi asuransi.
Data OJK menunjukkan, meski ada peningkatan literasi dan inklusi perasuransian tetapi masih lebih rendah dari perbankan. Tingkat literasi perasuransian sebesar 19,4 persen, di bawah perbankan (36,12 persen), sementara tingkat inklusi perasuransian sebesar 13,5 persen, di bawah perbankan (73,88 persen) dan lembaga pembiayaan (14,56 persen).
”Penduduk kita sebagian besar adalah milenial, menandakan kebutuhan asuransi bisa diatasi dengan insurtech. Mereka terbiasa dengan daring jadi insurtech akan lebih mudah menjangkau mereka dan sekaligus meningkatkan penertrasi asuransi,” kata Irvan.
Melalui penggunaan teknologi, misalnya kecerdasan buatan (AI) dan internet segala (IoT), Irvan mengatakan, insurtech dapat menawarkan premi dengan perhitungan akurat. Produk asuransi bukan didasarkan pada pekerjaan, melainkan kebiasaan hidup sehingga harga akan lebih terjangkau dan efisien.
”Bagi industri asuransi konvensional, pemanfaatan digital saat ini juga bukan lagi wacana. Tapi sudah mendesak dilakukan untuk memberikan layanan yang lebih mudah bagi nasabah,” kata Irvan.