Teknologi digital bisa memperkuat fanatisme merek, bahkan hingga level menjadi ”agama”. Namun, fanatisme itu mulai memunculkan masalah. Di tangan orang yang salah, teknologi justru bisa menjadi fasilitas penghancur.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Orang pemasaran selalu berusaha membangun merek agar citranya sangat kuat di pasar. Mereka juga membangun komunitas agar merek terhubung lebih erat dengan pengguna dan pihak lainnya sehingga eksistensi merek terjaga. Teknologi digital bisa mempercepat dan memperkuat fanatisme merek, bahkan hingga level menjadi ”agama”. Namun, fanatisme itu mulai memunculkan masalah.
Sejumlah penjualan produk melonjak begitu menggunakan teknologi digital untuk komunikasi pemasaran. Penjualan produk aparel dari satu perusahaan meningkat 30 persen saat menggunakan media sosial. Pertumbuhan bisnis di kalangan usaha rintisan malah bisa melonjak secara eksponensial. Riset yang dilakukan Sprout Social terhadap 1.000 responden memberi gambaran, 89 persen konsumen menyatakan akan membeli produk dari merek yang diikutinya di media sosial.
Sebuah tulisan di majalah Harvard Business Review berjudul ”How to Build Brand Religion” menyebutkan, fanatisme yang muncul dari sebuah produk tidak beda jauh dengan penyebaran agama. Agama menyebar bukan karena pemimpin yang karismatis saja, tetapi karena semangat para pengikutnya. Merek juga demikian. Semakin para pengikut atau konsumen bertemu dan berbagi ide, semakin emosional ikatan di antara mereka dengan merek.
Konsumen yang fanatik akan makin sering membeli dan makin kuat memeluk merek itu. Kita bisa melihat semisal peluncuran produk yang dengan berbagai cara membuat konsumen menunggu untuk mendapatkannya. Antrean panjang dan juga harga yang mahal tidak menjadi halangan. Haru biru di antara mereka merebak karena semua diolah dengan menggunakan teknologi digital sehingga mereka memiliki fanatisme yang lebih.
Sejauh kecintaan terhadap produk sekadar untuk bersenang-senang saja dan tidak membuat masalah bagi orang sekitar, semua akan baik-baik saja. Orang lain mungkin hanya tersenyum. Namun, komunikasi model seperti di atas, apabila tanpa dikendalikan, akan menuai masalah.
Problem komunikasi seperti itu bisa kita lihat dari kejadian pekan lalu. Kita dikagetkan dengan peristiwa penyerbuan massa gedung kongres Capitol Hill hingga merusak dan menelan korban jiwa. Teknologi digital memungkinkan komunikasi antara patron dan massa berlangsung cepat dan dengan pengaturan konten di berbagai platform digital hingga membuat massa beringas. Meski patron mereka salah dan ngawur, mereka tidak lagi peduli.
Mereka akan membela sekuat tenaga. Ketika patron mengatakan mereka dicurangi, dengan mudah massa meyakini kecurangan itu. Bagi mereka, penguasaan Capitol Hill bukan kerusuhan, melainkan menjadi ajang pembuktian bahwa kecurangan itu memang terjadi karena banyak orang hadir di tempat itu dan memiliki keyakinan yang sama: suara kami dicuri. Gemblengan melalui platform digital dan kerumunan menjadi alat yang efektif.
Kerusuhan ini bukan hanya merupakan insiden semata. Kejadian ini merupakan proses radikalisasi massa yang sudah dilakukan bertahun-tahun dengan bantuan media sosial dan juga teknologi digital lainnya. Selama ini radikalisasi sering dikaitkan dengan komunitas keagamaan, padahal proses itu juga terjadi di dalam kelompok seni, olahraga, dan bahkan juga penggemar merek tertentu.
Beberapa merek terjerumus ke dalam problem seperti itu. Penggemar balap mobil Nascar dan juga pebisnis di seputar gulat profesional WWE di Amerika Serikat cenderung mendukung Donald Trump karena mereka merasa memiliki perjuangan yang sama hingga mereka tidak hanya fanatik terhadap hobi mereka, tetapi juga mendukung kepentingan politik Trump. Proses ini melalui yang disebut oleh analis konflik etnis Amy Chua sebagai politik ”kesukuan”.
Ada fenomena menarik di Tanah Air berkait dengan perkembangan komunitas yang juga berhubungan dengan merek. Komunitas motor besar sudah lama memiliki ikatan erat dengan sesama anggotanya sehingga, apabila ada gangguan, mereka akan bereaksi kompak. Komunitas pengemudi ojek daring yang semula terhimpun erat karena memiliki kesamaan perjuangan, yaitu melawan ojek konvensional, kini mereka menjadi komunitas yang solid, tetapi kadang malah merepotkan penyedia platform sendiri.
Pendukung kelompok artis-artis Korea dengan segala produk dan bisnisnya juga memiliki fanatisme dan kesolidan yang mendalam. Akan tetapi, mereka kerap saling ejek antarpendukung kelompok artis-artis yang ada. Kadang memunculkan masalah yang tidak kecil. Anda jangan sekali-kali mengusik mereka kalau tidak ingin mendapat masalah. Mereka sangat kuat berelasi dan saling mendukung berbasis kecintaan sesama pendukung salah satu artis.
Kita tentu mencemaskan fenomena fanatisme merek yang bisa dibawa ke berbagai kepentingan nonbisnis. Teknologi digital memungkinkan semangat mereka mengeras. Oleh orang yang cerdik, haluan mereka bisa dibelokkan untuk kepentingan kelompok atau dirinya dengan menggunakan konten-konten yang mengundang sentimen. Sepintas kecenderungan ini dibiarkan. Bahkan, beberapa merek tidak lagi memiliki jangkauan terhadap mereka. Merek cenderung tidak memahami perubahan di komunitas.
Teknologi digital memudahkan merek berkomunikasi dengan konsumen dan berbagai kalangan lainnya, tetapi menyisakan masalah yang tidak kecil. Teknologi yang digabungkan dengan kerumunan komunitas dengan segala aktivitasnya memunculkan fanatisme yang bisa berlebihan. Teknologi digital yang dipegang oleh orang yang benar bisa memudahkan. Namun, di tangan orang yang salah, bisa menjadi fasilitas penghancur.