Pemanfaatan batubara pada PLTU diupayakan dikurangi melalui pencampuran biomassa atau dikenal dengan metode ”co-firing”. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah mengembangkan energi baru dan terbarukan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejauh ini sudah ada sembilan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang mencampurkan biomassa dengan batubara sebagai bahan bakar pembangkit. Campuran yang dikenal dengan metode co-firing ini bertujuan mengurangi penggunaan batubara pada PLTU.
Hingga kini, bauran energi primer pembangkit listrik Indonesia masih didominasi batubara, yakni dengan porsi lebih dari 60 persen. Metode co-firing diharapkan menyokong pencapaian target porsi energi baru terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional tahun 2025.
Kesembilan PLTU itu adalah PLTU Suralaya di Banten, PLTU Jeranjang di Lombok Barat, NTB; PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur; PLTU Rembang di Jawa Tengah; PLTU Indramayu di Jawa Barat; PLTU Tenayan di Pekanbaru, Riau; PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau di Kalimantan Barat; serta PLTU Belitung di Kepulauan Bangka Belitung. Kapasitas setiap PLTU bervariasi, dari puluhan sampai ratusan megawatt (MW).
”Metode co-firing ini salah satu metode perusahaan untuk mendorong pemakaian energi baru dan terbarukan. Tentu saja dengan tetap membangun infrastruktur pembangkit listrik energi terbarukan yang baru,” ujar Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam siaran pers, Jumat (1/1/2021).
Menurut Darmawan, saat ini ada 114 PLTU yang dioperasikan PLN yang berpotensi diterapkan dengan metode co-firing. Bahan biomassa yang menjadi campuran batubara antara lain pelet sampah, pelet kayu, dan cangkang kelapa sawit. Tak menutup kemungkinan di masa mendatang ada PLTU yang nantinya menggunakan bahan bakar biomassa 100 persen.
Saat ini ada 114 PLTU yang dioperasikan PLN yang berpotensi diterapkan dengan metode co-firing.
”Untuk PLTU Suralaya, metode co-firing akan dilakukan secara bertahap dan saat ini masih 5 persen kadar biomassa yang digunakan. Harapannya, dalam jangka panjang nanti PLTU Suralaya bisa menggunakan biomassa 100 persen,” ucap Darmawan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, metode co-firing berkontribusi terhadap pencapaian target bauran energi nasional. Pada 2025 nanti, porsi energi baru dan terbarukan pada bauran energi nasional ditargetkan sebesar 23 persen. Adapun kondisi saat ini masih ada di kisaran 11 persen.
”Metode ini (co-firing) sebenarnya bukanlah hal yang baru. Di negara-negara lain sudah banyak yang berhasil menggunakan 100 persen biomassa pada PLTU yang sebelumnya membakar batubara,” kata Dadan.
Dadan menambahkan, metode co-firing sekaligus bermanfaat dalam hal ekonomi sirkural (circular economy). Masyarakat bisa berpartisipasi dalam pemanfaatan sampah sebagai sumber bahan baku co-firing. Selain bermanfaat mengurangi sampah, co-firing juga dapat mengurangi dampak gas rumah kaca yang ditimbulkan dari asap pembuangan PLTU.
Metode ini memerlukan kepastian ketersediaan palet kayu yang menjadi bahan campuran. Harus ada syarat ketat agar produksi palet kayu tidak merambah hutan dan tidak memicu deforestasi.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyebutkan, metode co-firing berpotensi mengurangi pemakaian batubara pada PLTU. Namun, metode ini memerlukan kepastian ketersediaan palet kayu yang menjadi bahan campuran. Harus ada syarat ketat agar produksi palet kayu tidak merambah hutan dan tidak memicu deforestasi.
”Selain soal ketersediaan bahan baku palet kayu, jarak antara lokasi stok palet dan PLTU juga harus menjadi pertimbangan. Sebab, apabila jaraknya di atas 100 kilometer, akan menyebabkan pembengkakan biaya operasionalisasi. Metode co-firing juga bisa menjadi metode transisi untuk meninggalkan batubara,” kata Fabby.
PLN juga berencana mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit listrik bersumber dari energi terbarukan. Tercatat ada sekitar 5.000 PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh Indonesia dengan kapasitas terpasang mencapai 2.000 MW. Pertumbuhan pembangkit listrik dari energi terbarukan diupayakan dua kali lipat lebih tinggi.
Metode co-firing juga bisa menjadi metode transisi untuk meninggalkan batubara.
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Rabu (25/11/2020), Direktur Mega Proyek PLN Muhammad Ikhsan Asaad menyampaikan, untuk mencapai target bauran energi nasional di 2025, PLN akan mempercepat penggunaan sumber energi terbarukan dalam pembangkit listrik. Dari 2.130 lokasi yang terdapat PLTD, akan ada 200 lokasi yang bakal diganti dengan pembangkit listrik dari energi terbarukan. Jenis sumber energi terbarukan bergantung pada potensi yang ada di daerah tersebut.
”Kalau, misalnya, di daerah potensi pancaran sinar mataharinya melimpah, akan kami kembangkan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya). Apabila di daerah lain potensi anginnya tinggi, akan kami kembangkan PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu),” kata Ikhsan.
Data pemerintah menunjukkan, sampai dengan Mei 2020, bauran energi pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi batubara yang sebesar 63,92 persen. Gas berada di posisi kedua, yakni sebesar 18,08 persen, energi terbarukan sebesar 14,95 persen, dan bahan bakar minyak sebesar 3,05 persen.