Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Diprioritaskan Diganti
Sumber potensi energi terbarukan di Indonesia terus dioptimalkan untuk mengganti pembangkit listrik berbahan bakar minyak ataupun batubara. Pemerintah juga memperbaiki aturan jual beli listrik dari energi terbarukan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga melintasi tiang baja yang menopang kincir angin pada laboratorium pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/11/2020). Laboratorium PLTB ini menjadi bagian dari kerja sama antara Pemerintah Kota Semarang dan kampus Politeknik Negeri Semarang dalam pengembangan energi ramah lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memprioritaskan penggantian pembangkit listrik tenaga diesel atau PLTD untuk digantikan dengan pembangkit listrik bersumber dari energi terbarukan. Ada sekitar 5.000 PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh Indonesia dengan kapasitas terpasang mencapai 2.000 megawatt. Pertumbuhan pembangkit listrik dari energi terbarukan diupayakan dua kali lipat lebih tinggi.
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Rabu (25/11/2020), Direktur Mega Proyek PLN Muhammad Ikhsan Asaad menyampaikan, untuk mencapai target bauran energi nasional di 2025, PLN akan mempercepat penggunaan sumber energi terbarukan dalam pembangkit listrik. Dari 2.130 lokasi yang terdapat PLTD, akan ada 200 lokasi yang bakal diganti dengan pembangkit listrik dari energi terbarukan. Jenis sumber energi terbarukan bergantung pada potensi yang ada di daerah tersebut.
”Kalau misal di daerah potensi pancaran sinar mataharinya melimpah, maka akan kami kembangkan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya). Apabila di daerah lain potensi anginnya tinggi, maka akan kami kembangkan PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu),” kata Ikhsan.
Ikhsan menambahkan, cara lain yang ditempuh PLN adalah menerapkan metode co-firing pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batubara. Metode co-firing dilakukan dengan mencampur material lain, seperti biomassa, pada komposisi tertentu bersama batubara. Pengujian yang dilakukan PLN, kadar biomassa yang dicampur sebesar 1-5 persen.
Dari 2.130 lokasi yang terdapat PLTD, akan ada 200 lokasi yang bakal diganti dengan pembangkit listrik dari energi terbarukan.
”Dari 52 PLTU yang potensial diterapkan metode co-firing, apabila menggunakan campuran biomassa hingga 5 persen, maka dibutuhkan biomassa sebanyak 8 juta ton per tahun,” ujar Ikhsan.
Kompas/Priyombodo
Foto udara perumahan yang telah dilengkapi panel surya di kawasan Summarecon Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020). Kesadaran konsumen terhadap lingkungan dari penggunaan energi terbarukan dimanfaatkan oleh pihak pengembang perumahan dengan memberikan penawaran bonus panel surya di setiap unit rumah yang dijual.
Ikhsan menggarisbawahi bahwa pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan juga harus mempertimbangkan pasar atau permintaan listrik. Pasalnya, saat ini PLN tengah mengalami apa yang disebut over supply (kelebihan pasokan) akibat menurunnya konsumsi tenaga listrik selama pandemi Covid-19. Sistem ketenagalistrikan di Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi rata-rata ada kelebihan pasokan 40-50 persen.
”Untuk daerah di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, masih banyak yang menggunakan diesel dan kondisi pasokan listriknya defisit. Daerah-daerah inilah yang akan kami dorong percepatan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan,” kata Ikhsan.
Data PLN menyebutkan, kapasitas terpasang pembangkit listrik milik PLN saat ini sebesar 63.208 MW. Dari kapasitas tersebut, porsi pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan mencapai 7.992 MW atau setara 12,6 persen. Pembangkit listrik tenaga air adalah yang paling besar dari semua jenis pembangkit energi terbarukan, yaitu berkapasitas 4.707 MW, disusul kemudian oleh pembangkit listrik tenaga panas bumi 2.131 MW.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa berbagai skenario global menunjukkan penggunaan energi fosil telah mencapai puncaknya dan berangsur-angsur menurun di masa mendatang. Apalagi, dukungan berbagai lembaga pembiayaan untuk proyek jenis ini makin berkurang. Selain itu, ada faktor kemajuan teknologi di bidang pembangkit listrik energi terbarukan.
”Investasi membangun PLTS dan penyimpan daya listrik akan lebih murah dibandingkan membangun PLTU baru setelah 2028 sehingga PLTU tidak layak secara ekonomis untuk dibangun. Jika tetap dibangun dan dioperasikan, dikhawatirkan berpotensi menjadi aset yang terbengkalai,” kata Fabby.
Berbagai skenario global menunjukkan penggunaan energi fosil telah mencapai puncaknya dan berangsur-angsur menurun di masa mendatang.
Grafis bauran energi pembangkit listrik yang dioperasikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) hingga 2019.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan sampai 2035 ada penambahan PLTS dengan kapasitas 13.565 MW dengan harga di bawah 4 sen dollar AS per kWH. Selain itu, pengembangan PLTS atap secara masif tak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor bisnis dan industri. Target kapasitas terpasang untuk PLTS atap adalah 2.904 MW.
”Begitu pula konversi pembangkit listrik tenaga diesel untuk digantikan dengan PLTS plus baterai sebagai penyimpan daya listrik sehingga tidak ada lagi intermiten,” kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Untuk mempercepat pemanfaatan potensi energi terbarukan di Indonesia, lanjut Dadang, pemerintah dalam waktu dekat segera menerbitkan peraturan presiden tentang harga listrik dari energi terbarukan. Beberapa poin penting dalam perpres tersebut adalah penetapan feed in tariff (patokan harga tenaga listrik berdasar biaya produksi) untuk pembangkit listrik tenaga hidro, tenaga surya, tenaga biomassa, dan PLTS atap dengan kapasitas hingga 5 MW. Adapun harga listrik dari PLTA peaker, bahan bakar nabati, dan gelombang laut ditetapkan berdasar mekanisme kesepakatan antara pengembang dan PLN.