Dari 65 perusahaan eksportir benih lobster yang terdaftar, hanya 8 perusahaan yang dinilai layak mengekspor benih lobster. Mayoritas eksportir cenderung mengabaikan persyaratan ekspor dan mencari jalan pintas.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengungkapkan, hanya 8 perusahaan dari 65 perusahaan eksportir yang layak mengekspor benih lobster. Mayoritas eksportir dinilai mencari jalan pintas untuk mengekspor benih, tetapi mengabaikan ketentuan ekspor.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia, eksportir wajib membudidayakan lobster berkelanjutan di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudidaya. Benih diperoleh dari nelayan kecil yang terdaftar. Selain itu, mereka juga mesti melepasliarkan lobster hasil panen.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini menyatakan, hasil evaluasi dan peninjauan lapangan oleh pemerintah terhadap eksportir memperlihatkan, hanya delapan perusahaan eksportir benih lobster yang mematuhi persyaratan, antara lain berhasil membudidaya dan melepasliarkan lobster hasil panen.
Sementara itu, 57 perusahaan lain dinilai tidak memenuhi kriteria. Eksportir, antara lain, mesti mengajukan izin sebagai pembudidaya lobster, membudidayakan lobster berkelanjutan, minimal dua kali panen, dan melepasliarkan hasil panen.
Ada indikasi perusahaan tidak memenuhi syarat budidaya dan hanya mengejar ekspor benih. ”Kalau (perusahaan yang lain) ingin mengajukan izin ekspor, ya, perbaiki dulu budidaya sampai memenuhi syarat ekspor,” kata Zaini, Jumat (18/12/2020).
Zaini menambahkan, sebagian perusahaan sudah mengekspor benih meski baru mulai membudidaya. Budidaya yang dilakukan pun tidak memenuhi syarat, misalnya perusahaan hanya memiliki lima keramba. Di sisi lain, pengawasan diakui longgar sehingga banyak perusahaan lolos ekspor meski tak memenuhi syarat.
Evaluasi terhadap 65 perusahaan eksportir benih lobster ditempuh menyusul penutupan sementara ekspor benih bening lobster mulai 26 November 2020. Penghentian sementara ekspor benih bening lobster merupakan tindak lanjut atas kasus dugaan suap perizinan usaha budidaya dan ekspor benih lobster yang menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka. Kasus ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Zaini, mandat regulasi menitikberatkan budidaya, bukan ekspor benih. Proses budidaya lobster berkelanjutan dengan masa dua kali panen membutuhkan waktu sekitar satu tahun bagi perusahaan yang baru mulai budidaya. Namun, bagi perusahaan yang sebelumnya pernah membudidaya, proses panen bisa lebih cepat.
Dari 65 perusahaan itu, baru 41 perusahaan yang melakukan ekspor, 12 perusahaan di antaranya dihentikan sementara ekspornya setelah Bea Cukai menemukan indikasi manipulasi data ekspor. Terhadap 12 perusahaan ini, kementerian berencana mencabut izin ekspor jika sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Problem pelaksanaan
Secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin mengemukakan, tidak ada masalah dalam peraturan ekspor benih lobster. Namun, persoalan muncul dalam pelaksanaannya. Pihaknya sudah menelusuri dan memverifikasi pelaksanaan budidaya lobster yang menjadi prasyarat ekspor.
Perusahaan eksportir, misalnya, wajib memiliki keramba jaring apung untuk budidaya lobster. Namun, ada beberapa perusahaan yang belum punya dan menyewa KJA. Pihaknya mengarahkan, ekspor tetap jalan sepanjang memenuhi syarat. Pemenuhan persyaratan membutuhkan waktu sehingga mesti ada pembenahan.
Sehari sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan, peraturan ekspor benih lobster sudah tepat. Namun, terdapat kesalahan dalam implementasi. ”Kita masih sangat lemah dalam impelementasi (peraturan),” ujarnya dalam webinar ”Grand Design Infrastruktur 2050: Harnessing Indonesian Maritime Resources for Blue Economy”.