Upaya mempercepat pemulihan dan pengembangan sektor perikanan yang terdampak Covid-19 memerlukan inovasi dan kolaborasi hulu hilir. Digitalisasi perikanan menjadi jembatan untuk mendorong inovasi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi usaha perikanan dinilai menjadi instrumen percepatan pemulihan ekonomi perikanan. Selama pandemi Covid-19, usaha rintisan perikanan hulu hilir terus berkembang, mencakup permodalan, perikanan budidaya, hingga pemasaran.
Inisiator Digifish Network, Rully Setya Purnama, yang juga CEO MInapoli, mengemukakan, ekosistem inovasi digital kelautan dan perikanan atau Digifish Network saat ini memiliki 32 usaha rintisan (start-up) anggota dari total 700 pelaku usaha rintisan kelautan dan perikanan. Usaha rintisan ini mencakup bidang pendanaan, akuakultur, alat kerja otomatisasi, e-dagang, peningkatan sumber daya manusia (SDM), gudang pendingin, pemasaran, dan logistik.
Di tengah pandemi Covid-19, sektor perikanan tetap tumbuh dan dilirik investor. Dua usaha rintisan perikanan berbasis digital, yakni Aruna dan Efishery, misalnya, memperoleh kucuran dana investor senilai total Rp 200 miliar untuk pengembangan bisnis.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, Indonesia memiliki visi menjadi negara maju dengan produk domestik bruto tertinggi ke-4 pada 2024. Namun, Indonesia saat ini masih berada di jebakan kelas menengah karena mengandalkan sumber daya alam sebagai tulang punggung perekonomian.
Aktivitas perekonomian Indonesia perlu didorong dari berbasis sumber daya alam menjadi berbasis inovasi. Oleh karena itu, perlu diciptakan iklim inovasi yang melibatkan akademisi, pemerintah, dan industri. Dengan 62 persen wilayah perairan, Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang besar. Pemanfaatan potensi sumber daya alam memerlukan inovasi dan teknologi yang memudahkan pelaku usaha.
Guna mendorong inovasi-inovasi baru, diperlukan eksositem riset yang kondusif melalui sinergi pemerintah, peneliti, dan swasta. Selain itu, pembinaan usaha-usaha rintisan perikanan berbasis digital untuk menciptakan eksoistem inovasi dan riset di bidang kelautan dan perikanan. ”Harapannya menciptakan kemandirian dan berkontribusi pada kemajuan Indonesia di bidang kelautan dan perikanan,” kata Bambang, dalam webinar Digifish 2020: ”Accelerating The Impact of Innovation Ecosystem on The Fisheries Sector”, Selasa (15/12/2020).
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin mengatakan, pada 2025, Indonesia menargetkan masuk peringkat ke-5 besar negara perikanan. Tantangannya, bagaimana meningkatkan nilai tambah produksi perikanan melalui inovasi teknologi dan pemasaran yang bagus.
Tahun 2019, nilai ekspor perikanan Indonesia 4,9 miliar dollar AS atau peringkat ke-11 negara eksportir perikanan. Untuk menempati peringkat 5 besar negara eksportir perikanan, nilai ekspor sedikitnya 8,2 miliar dollar AS pada 2024. Oleh karena itu, pengembangan perikanan difokuskan pada komoditas unggulan, yakni udang, tuna-cakalang, dan cumi-sotong-gurita. Selain itu, peningkatan angka konsumsi ikan dari 58,3 kg per kapita pada 2020 menjadi 60,8 kg per kapita pada 2024.
Peran start-up digital perikanan luar biasa untuk meningkatkan produksi dan pemasaran. Jumlah usaha rintisan perikanan yang tergabung dalam Digifish Network ada 32 perusahaan dan diyakini bertambah pada 2021. Berkembangnya usaha rintisan perikanan berbasis digital diharapkan mendorong inovasi teknologi untuk pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap sesuai dengan kapasitas maksimum yang diperbolehkan (MSY), peningkatan produktivitas kelautan dan perikanan, pemanfaatan lahan budidaya perikanan secara optimal, serta integrasi tata ruang laut dan darat.
CEO Efishery Gibran Huzaifah mengemukakan, usaha rintisan berbasis digital perlu terus berinovasi untuk menawarkan nilai tambah dan efisiensi produksi. Pihaknya yang semula mengembangkan teknologi budidaya ikan kini juga merambah ke penyedia akses pembiayaan, pakan, dan pasar. Selama pandemi Covid, sejak Maret 2020 hingga kini, sebanyak 850 ton ikan bisa dipasarkan. Ikan dibeli langsung dari pembudidaya dan dikelola untuk pemasaran.
Di sisi hulu, pengembangan teknologi budidaya ikan mendorong produksi lebih efisien, antara lain pembudidaya mengetahui data jumlah ikan dalam kolam, pakan yang dibutuhkan, waktu pemberian pakan, hingga prediksi panen. ”Prediksi masa panen akan memangkas rantai panjang penjualan karena langsung menghubungkan pembudidaya ikan dengan pembeli sehingga harga jual di tingkat petambak lebih baik,” kata Gibran.
Ketua Umum Asosiasi Produsen, Pengolahan, dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengemukakan, pandemi Covid-19 sempat menyebabkan pemasaran (food service) perikanan ke hotel, restoran, dan kafe anjlok hingga 80 persen dan saat ini pemasaran berangsur membaik menjadi sekitar 60 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi. Sebaliknya, pasar ritel untuk konsumen akhir melalui supermarket dan e-dagang meningkat pesat 30 persen.
”Kami melakukan perubahan food service dengan memperbanyak penjualan ke konsumen akhir, terutama produk bernilai tambah,” katanya.
Sementara itu, persyaratan pasar ekspor semakin ketat, mencakup jaminan kemanaan pangan, ketelusuran, dan keberlanjutan produk perikanan yang dipasok. Untuk bisa menerapkan itu, diperlukan integrasi informasi secara nasional dengan memanfaatkan teknologi digital.