Mobilitas masyarakat berisiko meningkatkan kasus Covid-19 sehingga dapat menghambat pemulihan ekonomi. Di sisi lain, investor ritel domestik berpotensi membuat pergerakan saham berfluktuasi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN/dimas waraditya utama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mobilitas masyarakat diperkirakan tetap meningkat pada akhir tahun kendati pemerintah telah memangkas jadwal libur panjang. Peningkatan pergerakan itu berisiko menyebabkan eskalasi kasus Covid-19 sehingga berpotensi menghambat tren pemulihan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (14/12/2020), mengatakan, kegiatan dan mobilitas masyarakat makin pulih pada triwulan IV-2020. Kondisi ini terkonfirmasi dalam sejumlah indikator, salah satunya indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Indonesia yang kembali ke zona ekspansif di level 50,6 pada November 2020.
Peningkatan mobilitas masyarakat pada akhir tahun ini harus diwaspadai. Sejumlah negara mengalami lonjakan kasus infeksi Covid-19 pada November-Desember, seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, dan Swedia. Pemerintah tidak boleh meremehkan Covid-19 selama vaksinasi belum dilakukan.
”Pada akhir tahun ini, mobilitas masyarakat akan naik. Jangan sampai rem harus diinjak karena kasus Covid-19 mengalami eskalasi sangat cepat,” ujarnya di Jakarta.
Sebelumnya, libur panjang Natal, Tahun Baru, dan pengganti cuti bersama Idul Fitri selama 11 hari (24 Desember 2020-3 Januari 2021). Kemudian, pemerintah memangkasnya tiga hari (28-30 Desember 2020) karena mempertimbangkan risiko peningkatan kasus Covid-19.
Pada akhir tahun ini, mobilitas masyarakat akan naik. Jangan sampai rem harus diinjak karena kasus Covid-19 mengalami eskalasi sangat cepat.
Sri Mulyani menekankan, langkah-langkah penanganan Covid-19 yang efektif akan meminimalkan efek domino ke sosial dan ekonomi. Penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling mendukung. Kebijakan tetap diarahkan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi tanpa memperburuk kesehatan.
Indonesia harus menjaga tren pemulihan ekonomi yang mulai terlihat dari penurunan kontraksi perekonomian triwulan III-2020. Tren pemulihan harus dijaga tetap kuat, tidak stagnan, dan berkelanjutan.
”Jika stagnan, kondisi perekonomian Indonesia akan sulit, bahkan tidak akan kembali ke level sebelum pandemi,” katanya.
Pada 2021, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 4,5-5 persen dengan syarat penyebaran Covid-19 terkendali dan vaksinasi mulai dilakukan. Prioritas kebijakan tetap penyaluran bantuan sosial ke 40 persen masyarakat terbawah dengan memperbaiki pendataan dan pelaksanaan bersih korupsi.
Tren pemulihan harus dijaga tetap kuat, tidak stagnan, dan berkelanjutan. Jika stagnan, kondisi perekonomian Indonesia akan sulit, bahkan tidak akan kembali ke level sebelum pandemi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, kedatangan vaksin akan meningkatkan kepercayaan mendorong rasa aman masyarakat untuk kembali berkegiatan ekonomi. Tahun ini pemerintah mendatangkan 1,2 juta vaksin, dan pada 2021 vaksin yang ditargetkan datang sekitar 1,8 juta. Vaksin yang datang pada 2021 sudah dalam bentuk jadi dan bahan baku. PT Bio Farma akan memproduksi sekitar 15 juta vaksin.
”Kami berharap Badan Pengawas Obat dan Makanan segera menerbitkan penggunaan obat dalam kondisi darurat (emergency use authorization/EUA). Penerbitan EUA masih menunggu data yang disampaikan Sinovac selaku penyuplai vaksin, dan menunggu hasil uji klinis di Bandung,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menambahkan, percepatan pemulihan ekonomi tidak akan terjadi tanpa perencanaan yang matang. Pemulihan ekonomi tidak hanya bertumpu pada vaksinasi dan kebijakan pemerintah, tetapi juga kontribusi pelaku usaha.
Ekonom senior dan Menteri Keuangan periode 2012-2013, Chatib Basri, mengingatkan, Indonesia berisiko mengalami tren pemulihan ekonomi menyerupai huruf K. Kelompok menengah atas akan naik kelas, sementara kelompok menengah bawah turun kelas. Akibatnya, ketimpangan semakin melebar.
Kelompok menengah atas akan selamat dari krisis Covid-19 karena memiliki tabungan yang cukup dan akses internet yang mumpuni. Mereka juga mampu mentransformasikan dirinya ke dunia digital. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok menengah bawah yang kondisinya serba terbatas.
Investor domestik
Di tengah pandemi Covid-19, investor domestik semakin mendominasi pasar modal. Di satu sisi, kehadiran investor ritel domestik bisa menopang stabilitas di kala aliran keluar dana investor asing sedang deras. Namun, di sisi lain, kecenderungan investor ritel untuk melakukan aksi jual-beli saham dapat membuat pergerakan saham fluktuatif.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Hasan Fawzi menyampaikan, saat ini lebih dari separuh kepemilikan saham di pasar modal dimiliki investor domestik. Dari Rp 3.491 triliun nilai kepemilikan saham yang tercatat di BEI, 50,44 persen merupakan milik investor ritel domestik, sedangkan 49,56 persen dimiliki investor asing.
”Momentum dominasi kepemilikan investor domestik yang menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah,” ujarnya dalam acara ”Pengembangan Pasar Modal Apresiasi untuk Negeri” yang berlangsung secara daring, Senin.
Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, menjelaskan, ada kecenderungan investor ritel domestik untuk melakukan aksi jual-beli (trading) saham untuk mendapatkan keuntungan. Sementara investor asing cenderung berinvestasi dalam jangka waktu yang lebih panjang.
”Kecenderungan trading akan membuat pergerakan saham cenderung fluktuatif. Di sisi lain, pasar saham berpotensi didominasi dengan transaksi saham-saham berkapitalisasi pasar yang tidak begitu besar,” ujarnya.