Potensi Besar Pemulihan Ekonomi Melalui Pembangunan Rendah Karbon
Pembangunan rendah karbon perlu dijadikan prioritas dalam membangun ekonomi, khususnya setelah Covid-19. Melalui ekonomi hijau, peluang lapangan kerja akan semakin terbuka dan ekonomi akan semakin tangguh.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan rendah karbon perlu menjadi prioritas untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. Meskipun prosesnya membutuhkan investasi yang besar dan waktu yang panjang, pembangunan rendah karbon akan menciptakan lapangan kerja yang besar.
Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2020 mencatat, kebutuhan pendanaan pembangunan rendah karbon mencapai Rp 306 triliun atau 2 persen dari produk domestik bruto. Sekitar 24 persen dari total tersebut merupakan proporsi pendanaan oleh pemerintah, sementara 76 persen atau sekitar Rp 232,56 triliun mengandalkan pendanaan oleh nonpemerintah.
Saat ini, pemerintah baru mengalokasikan sebesar Rp 23,44 triliun hingga Rp 34,87 triliun atau sekitar 11 persen. Dengan kata lain, diperlukan percepatan untuk menuju penggunaan energi baru terbarukan dengan target 23 persen pada 2025, dari saat ini baru mencapai sekitar 10,9 persen.
Dengan menerapkan industri hijau yang sejalan dengan ekonomi sirkular, Bappenas mencatat ada potensi penciptaan 4,4 juta green jobs (lapangan kerja hijau) baru di Indonesia. Kontribusi terhadap nilai ekonomi Indonesia pada 2030 diperkirakan mencapai Rp 598 triliun.
Selain itu, mengurangi timbulan sampah hingga 54 persen pada 2030. Penerapan ekonomi sirkular juga berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 7 persen dan pemakaian air hingga 5 persen dibandingkan dengan proses bisnis yang dijalankan saat ini.
Menteri Keuangan RI periode 2013-2014 Muhammad Chatib Basri menyampaikan, pandemi Covid-19 memberikan kesempatan untuk mendesain ulang kebijakan. Peran ekonomi hijau menjadi sangat penting karena dalam tiga tahun ke depan dunia akan berada dalam tingkat suku bunga mendekati nol persen, termasuk Indonesia.
”Kondisi di mana suku bunga relatif rendah menjadi peluang adanya insentif bagi perusahaan dan pemerintah untuk melakukan ekonomi hijau. Langkah ini penting karena, kalau negara masih berbasis mengeksplotasi sumber daya alam, negara-negara lain tentu akan memberikan penalti,” tutur Chatib, Senin (14/12/2020).
Paparan mengemuka dalam webinar KTALK bertemakan ”Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh dalam Rangka Pemulihan Covid-19 dengan Pembangunan Rendah Karbon”. Diskusi ini diadakan untuk menggambarkan konsep pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau untuk memulihkan perekonomian di Indonesia pascapandemi Covid-19.
Menurut Chatib, kesulitan dalam pembangunan rendah karbon sering kali terjadi karena isu lingkungan masih dianggap sebagai ”barang mewah” di tengah persoalan sosial selama ini.
”Kalau mau dapat dukungan untuk pembangunan rendah karbon, artinya kita harus terhubung juga dengan isu sehari-hari, antara lain kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Tanpa itu, pembangunan rendah karbon tidak akan mendapat perhatian,” ujar Chatib.
Berjalan beriringan
Deputi Maritim dan Sumber Daya Alam Bappenas Arifin Rudiyanto mengatakan, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong agar stimulus fiskal hijau menjadi bagian dari kebijakan pemulihan ekonomi yang diimpelementasikan pada 2021 dan 2022. Inovasi sektoral dan pembiayaan hijau melalui carbon pricing juga perlu dilakukan dalam upaya mengembangkan energi terbarukan.
”Penanganan pandemi tidak dapat terpisah dari penanggulangan perubahan iklim, termasuk dengan menjaga keanekaragaman hayati. Perlu upaya kolektif dan kolaborasi multipihak serta lintas sektor untuk membangun Indonesia yang lebih baik, tangguh, dan berkelanjutan,” papar Arifin.
Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam berpendapat, meski tidak mudah, pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan harus berjalan beriringan dan tidak ada yang dirugikan (trade off). Respons terhadap pandemi pun tidak cukup memperhatikan dampak jangka pendek.
Meskipun pandemi Covid-19 nantinya dapat diatasi, ancaman lain akan datang di masa mendatang. Perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati merupakan tantangan selanjutnya yang berpotensi mendatangkan ancaman lebih besar dibandingkan dengan pandemi saat ini.
”Emisi tahun 2020 diperkirakan menurun cukup signifikan, tetapi dikhawatirkan akan kembali meningkat ketika kasus Covid-19 mereda. Untuk itu, ke depan kita perlu melihat bagaimana membuat kebijakan yang kuat serta insentif bagi pelaku usaha yang menerapkan aspek rendah karbon,” tutur Medrilzam.
Kepala Subbidang Pendanaan Perubahan Iklim Lainnya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Noor Syaifudin menyampaikan, saat ini penyerapan kerja untuk industri energi baru terbarukan lebih tinggi dibandingkan dengan industri berbahan bakar fosil. Instrumen pembiayaan, misalnya green bond (surat utang negara hijau), pun semakin populer, baik untuk sektor privat maupun pemerintah.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris Yahya menyampaikan, perlu kebijakan terkait pemanfaatan cofiring (proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam boiler batubara) pada eksisting PLTU, baik dari sektor hulu maupun hilir. Diperlukan juga standar nasional Indonesia untuk bahan bakar biomassa, misalnya kayu dan sampah.
”Selain itu, untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, perlu adanya insentif dan infrastruktur pendukung. Penting juga untuk membangun kapasitas bagi masyarakat atau komunitas yang terlibat dalam penyediaan bahan baku,” kata Harris.
Anggota Komisi VII DPR RI/Green Economy Caucus, Dyah Roro Esti, menyampaikan, DPR sepenuhnya mendukung penerapan energi baru terbarukan dan pembahasannya akan kembali masuk dalam program legislasi nasional pada 2021. Kolaborasi menurut dia, perlu dilakukan dengan seluruh pemangku kepentingan.