Program hilirisasi batubara menjadi dimetil eter harus melalui kajian yang komprehensif. Dimetil eter diharapkan dapat mengganti elpiji yang sebagian besar diperoleh dari impor. Faktor keekonomian hilirisasi penting.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah belum mengkaji secara mendalam terkait potensi adanya alokasi subsidi pada proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter atau DME. Produk DME ditujukan untuk mengganti peran elpiji yang sekitar 70 persen dari total konsumsi di Indonesia diperoleh dari impor. Sejumlah pihak mengingatkan pemerintah agar proyek gasifikasi mempertimbangkan betul aspek keekonomiannya.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan, pemerintah sudah berkomitmen memberikan insentif fiskal kepada perusahaan tambang batubara yang mengerjakan proyek hilirisasi. Proyek tersebut bisa berupa gasifikasi batubara menjadi DME atau metanol. Perusahaan tambang yang menggarap gasifikasi diberikan insentif berupa royalti nol persen.
”Insentif nol persen sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Kami sedang menyiapkan produk hukum turunannya, yaitu peraturan pemerintah hingga peraturan menteri. Kami terus berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan terkait insentif royalti nol persen, termasuk soal kemungkinan subsidi,” ucap Sujatmiko dalam acara ”Minerba Virtual Expo 2020”, Kamis (10/12/2020).
Peraturan pemerintah maupun peraturan menteri yang disiapkan, lanjut Sujatmiko, akan mengatur persyaratan teknis pemberian insentif royalti nol persen tersebut. Adapun penetapan harga batubara yang digunakan untuk proyek gasifikasi harus mempertimbangkan aspek keekonomian, terutama margin yang wajar bagi pengusaha tambang maupun margin untuk proyek gasifikasi itu sendiri.
Kami terus berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan terkait insentif royalti nol persen, termasuk soal kemungkinan subsidi.
Mengenai royalti nol persen, Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR beberapa waktu lalu menyampaikan, royalti nol persen dikenakan terhadap volume batubara yang dipakai perusahaan untuk proyek hilirisasi di dalam negeri. Kebijakan tersebut diberikan lantaran ongkos investasi hilirisasi batubara di Indonesia terbilang mahal. Untuk menghasilkan DME sebanyak 1,5 juta ton per tahun, perusahaan membutuhkan investasi sebesar hampir 2 miliar dollar AS atau setara Rp 28,2 triliun.
”Selain itu, hanya hilirisasi batubara yang merupakan proyek strategis nasional atau menghasilkan produk strategis yang berhak memperoleh royalti nol persen,” kata Arifin.
Sementara itu, dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Rabu (9/12/2020), ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, mengingatkan agar kebijakan gasifikasi batubara dikaji lebih dalam. Pasalnya, harga DME yang dihasilkan dari gasifikasi batubara akan bersaing langsung dengan harga elpiji. Ia menyebut bahwa harga DME akan lebih mahal ketimbang harga elpiji.
”Karena DME lebih mahal, pemerintah harus mengalokasikan subsidi baru untuk DME. Selain itu, rasanya mustahil DME bisa berkompetisi dengan gas alam, sebab ongkos pengusahaan gas alam jauh lebih murah ketimbang memproses batubara menjadi DME yang mata rantainya lebih panjang,” ujar Faisal.
Harga DME yang dihasilkan dari gasifikasi batubara akan bersaing langsung dengan harga elpiji.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menambahkan, sektor mineral dan batubara masih berkontribusi penting bagi penerimaan negara. Pemerintah juga tengah menyiapkan desain besar tata kelola industri tambang mineral dan batubara di Indonesia setelah lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan hasil revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dari catatan Kementerian ESDM, capaian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara sejauh ini sudah sebanyak Rp 31,4 triliun atau 100 persen dari target APBN 2020. Sementara produksi batubara sebanyak 514 juta ton dan diyakini dapat mencapai target 540 juta ton sampai akhir tahun ini. Untuk smelter, realisasi sampai 2020 adalah telah terbangun sebanyak 19 smelter.
”Desain besar tata kelola industri sektor mineral dan batubara sedang dimatangkan lewat penyusunan peraturan pemerintah maupun aturan turunan dari UU No 3/2020,” ucap Agung.