Pandemi Jadi Momentum Terapkan Bisnis Ramah Lingkungan
Praktik bisnis ramah lingkungan dinilai bermanfaat bagi pelaku bisnis, termasuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Praktik tersebut dapat menopang citra, daya tahan, dan daya saing UMKM.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis akibat pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi pelaku bisnis untuk mengawali kegiatan usaha berkelanjutan. Penerapan praktik bisnis ramah lingkungan dinilai bermanfaat bagi pelaku bisnis, termasuk di segmen mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, dalam melangsungkan usaha.
Pandemi Covid-19 memberi pelajaran bahwa semua pihak bergantung pada faktor yang bersifat multidimensi. Masa pandemi adalah saat berintrospeksi dan melihat lagi strategi bisnis agar lebih berkelanjutan.
”(Pandemi juga jadi momentum bagi pelaku) juga agar lebih meningkatkan daya lenting (kemampuan pulih setelah mendapat tekanan) dan lebih menyeimbangkan aspek lingkungan hidup, kepentingan ekonomi, dan kesejahteraan sosial,” kata dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina, Senin (7/12/2020).
Poppy mengatakan hal tersebut pada diskusi bertajuk ”UMKM, Pandemi, dan Bisnis Berkelanjutan”. Pada acara yang ditayangkan langsung melalui akun Youtube Greenpeace Indonesia tersebut, Poppy menyampaikan hasil survei timnya terkait penerapan praktik bisnis berkelanjutan oleh UMKM.
Survei secara dalam jaringan (daring) dilaksanakan pada 15-23 Oktober 2020 terhadap 1.294 responden. Setelah data dibersihkan, ada 1.073 responden dari 25 provinsi di Indonesia yang dinilai layak olah.
Indikator praktik bisnis ramah lingkungan mencakup isu hemat energi, pengelolaan sampah atau limbah, dan transportasi ramah lingkungan. Survei menunjukkan, antara lain, sebanyak 88 persen responden melakukan praktik bisnis ramah lingkungan dengan mematikan lampu kantor, pabrik, atau bengkel kerja setelah selesai produksi.
Jumlah responden yang mengolah sampah dengan baik sebanyak 87,6 persen dan mengolah limbah usaha dengan lebih baik 85,5 persen. Sebanyak 82,57 persen responden bertanam beberapa tumbuhan di kantor, pabrik, atau bengkel kerja.
Selanjutnya, sebanyak 83 persen responden memiliki kantor, pabrik, atau bengkel kerja dengan jendela banyak demi sirkulasi usaha. Sebanyak 64,77 persen responden memiliki kantor, pabrik, atau bengkel kerja yang menggunakan mesin hemat bahan bakar.
Survei memperlihatkan sebanyak 58 persen responden menggunakan penyejuk ruangan (AC) secara hemat. ”Kami dapat menyimpulkan bahwa di masa pandemi, UMKM secara disiplin menjalankan praktik bisnis ramah lingkungan,” kata Poppy.
Terkait pilihan manfaat praktik bisnis berkelanjutan, Poppy menuturkan, sebanyak 86,2 persen menyebutkan bisnis mereka mendapatkan citra baik. Adapun responden yang memilih jawaban bahwa praktik bisnis ramah lingkungan menjadikan bisnis mereka bertahan lebih lama sebanyak 83,3 persen dan lebih dapat bersaing 83,7 persen.
”Hal ini menggembirakan karena berarti UMKM dapat memaknai manfaat dari implementasi prinsip-prinsip berkelanjutan dalam sebuah proses bisnis,” ujar Poppy.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya mengatakan, pihaknya menaruh perhatian terhadap kesadaran praktik bisnis ramah lingkungan. Greenpeace saat ini mendorong agar strategi dan pembangunan ekonomi ke depan tidak hanya berorientasi pertumbuhan ekonomi.
Strategi dan pembangunan ekonomi juga harus menempatkan lingkungan dan manusia pada posisi sama penting. ”Dan, kami melihat ketiga hal itu, yakni manusia, lingkungan, dan ekonomi, saling berkaitan satu sama lain,” lanjut Tata.
Sementara itu, Head Center for Innovation Design and Entrepreneurship Research Binus University-International Ari Margiono menuturkan, di tengah pandemi ada kebutuhan pelaku bisnis untuk bertransformasi secara digital.
Ketimpangan digitalisasi, di sisi kemampuan dan kapabilitas organisasi UMKM, harus diatasi agar UMKM dapat berperan sentral dalam ekonomi digital. Di sisi lain, saat ini pun perlu mulai dipikirkan aspek ramah lingkungan dalam perkembangan teknologi digital.
”Sebagai contoh, semakin banyaknya upaya membuat pusat data untuk melayani kebutuhan transaksi digital, penyimpanan, dan sebagainya harus diikuti penggunaan energi secara hemat dan terbarukan,” kata Ari.