Pemerintah perlu fokus menyelesaikan persoalan jangka pendek. Jangan sampai terjebak ”sok” berpikir jangka panjang melalui UU Cipta Kerja dan proyek strategis nasional yang tidak tepat.
Oleh
Enny Sri Hartati
·5 menit baca
Indonesia boleh tersenyum bangga karena di antara negara G-20 diramalkan akan memiliki pemulihan ekonomi tercepat kedua setelah China. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi ekonomi Indonesia hanya terkontraksi atau minus 1,5 persen pada 2020, di bawah China yang positif 1,9 persen. Sementara Korea Selatan diproyeksi minus 1,9 persen dan Rusia minus 4,1 persen.
Namun, Indonesia mesti hati-hati menanggapi pujian IMF. Pertama, indikator yang menjadi acuan IMF masih berupa ramalan besaran kontraksi ekonomi. Padahal sudah jelas, selama tiga triwulan 2020 berturut-turut, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,97 persen, minus 5,32 persen, dan minus 3,49 persen. Untuk mampu tumbuh minus 1,5 persen pada 2020, maka harus terjadi lonjakan spektakuler pada triwulan IV-2020. Setidaknya ekonomi harus tumbuh positif 4,34 persen.
Kedua, jika diasumsikan triwulan II-2020 merupakan titik kontraksi terdalam, maka angka kontraksi Indonesia memang cukup rendah. Banyak negara terkontraksi sangat parah, seperti Singapura (-13,3 persen), Amerika Serikat (-9 persen), Hong Kong (-9 persen), dan Uni Eropa (-13,9 persen). Namun, sebenarnya tingkat pemulihan ekonomi pada triwulan III-2020 terhadap triwulan II-2020, Indonesia yang paling lambat, hanya 34,4 persen. Sementara itu, Amerika Serikat mengalami pemulihan ekonomi 67,8 persen, Hong Kong 62,2 persen, Singapura 47,4 persen, dan Uni Eropa 71,9 persen.
Ketiga, negara-negara yang terkontraksi sangat dalam itu rata-rata memiliki korelasi kuat dengan rantai pasok global seperti Singapura atau terhadap pasar keuangan global seperti Uni Eropa. Artinya, jika ekonomi global membaik, apalagi pandemi berakhir, dengan sendirinya perekonomiannya juga pulih.
Untuk mampu tumbuh minus 1,5 persen pada 2020, maka harus terjadi lonjakan spektakuler pada triwulan IV-2020. Setidaknya ekonomi harus tumbuh positif 4,34 persen.
Berbeda dengan Indonesia, integrasi perekonomian Indonesia dengan global sangat rendah. Motor penggerak utama perekonomian Indonesia adalah konsumsi rumah tangga dan investasi. Oleh karena itu, tingkat pemulihan ekonomi pun sangat bergantung pada pemulihan daya beli masyarakat dan keyakinan tendensi bisnis pelaku usaha.
Namun pada kenyataannya, daya beli masyarakat justru merosot. Banyak pekerja dirumahkan, dikurangi jam kerjanya, dan mengalami pemutusan hubungan kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Agustus 2020 angka pengangguran terbuka meledak menjadi 9,77 juta orang (7,07 persen). Sementara tingkat setengah pengangguran (TSP), yaitu yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan baru, sebanyak 14,10 juta orang (10,19 persen). Tingkat pekerja paruh waktu juga meningkat menjadi 35,88 juta orang (25,96 persen) dan pekerja informal melonjak menjadi 77,68 juta orang (60,47 persen).
Secara agregat, pandemi Covid-19 mengakibatkan penurunan pendapatan sekitar 29,12 juta pekerja. Jumlah itu berasal dari tambahan pengangguran terbuka sebanyak 2,67 juta orang, tidak bekerja 1,77 juta orang, bekerja dengan pengurangan jam kerja 24,03 juta orang, dan menjadi bukan angkatan kerja (BAK) karena Covid-19 sebanyak 0,76 juta orang.
Profil ketenagakerjaan itu cukup menjadi proksi betapa beratnya upaya pemulihan daya beli masyarakat jika tidak segera terjadi penciptaan lapangan kerja baru. Kemampuan fiskal pemerintah melalui anggaran perlindungan sosial tidak mungkin menjangkau apalagi mengompensasi penurunan pendapatan 29,12 juta pekerja dan perlindungan sosial terhadap 26,42 juta penduduk miskin.
Sementara itu, lapangan kerja merupakan fungsi dari investasi, terutama investasi sektor padat karya. Sekalipun terjadi peningkatan investasi, jika realisasi investasi hanya pada sektor-sektor jasa, penciptaan kerja pun tetap akan nihil.
Sektor padat karya jelas lebih banyak dikontribusikan oleh sektor industri pengolahan dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sayangnya, kinerja sektor utama tersebut yang justru mengalami tekanan terberat di tengah pandemi Covid-19.
Mandulnya stimulus fiskal
Pemerintah Indonesia sering membandingkan bahwa alokasi anggaran untuk memitigasi Covid-19 jauh lebih kecil dibandingkan anggaran negara-negara lain. Padahal, pemerintah telah diberikan diskresi fiskal yang luar biasa melalui pelebaran defisit yang boleh mencapai Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Konsekuensinya, akumulasi utang pemerintah hingga Oktober 2020 mencapai Rp 5.877,71 triliun. Komposisi utang itu didominasi surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 5.028,86 triliun (86 persen). Di samping itu, pemerintah juga diberi keleluasan, bahkan cenderung memiliki imunitas dalam mengeksekusi anggaran, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Upaya mendapatkan pembiayaan itu juga ditopang dengan skema berbagai beban (burden sharing) dari Bank Indonesia yang sudah mencapai Rp 494,52 triliun. Jumlah itu berasal dari realisasi pembelian SBN melalui SKB I sebesar Rp 72,49 triliun dan SKB II Rp 422,03 triliun.
Ironisnya, ketersediaan dana mitigasi Covid-19 yang cukup ”melimpah” seolah menjadi mandul atau sia-sia. Realisasi anggaran belanja APBN 2020 hingga triwulan ketiga baru 61,3 persen, sedangkan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) 82,4 persen. Artinya, sisa anggaran yang harus direalisasikan pemerintah pusat kurang dari tiga bulan terakhir masih sebesar Rp 763,8 trliun. Di tingkat daerah, masih ada sisa anggaran belanja APBD 2020 yang belum dieksekusi sebesar Rp 402,3 triliun.
Adapun realisasi anggaran program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) per 25 November 2020 baru sebesar 62,1 persen dari toral Rp 695,2 triliun. Bahkan, realisasi anggaran kesehatan hanya 41,18 persen dari Rp 97,9 triliun, dukungan sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah 54,94 persen, insentif usaha 38,47 persen, dan pembiayaan korporasi baru 3,21 persen.
Satu-satunya realisasi anggaran PEN yang cukup melegakan adalah dana perlindungan sosial karena sudah terealisasi Rp 207,8 triliun (88,92 persen). Namun, publik tiba-tiba dikejutkan dengan penangkapan Menteri Sosial yang diduga menerima suap atas pengelolaan dana bantuan sosial penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial. Sebelumnya, BPS juga merilis temuan, program Kartu Prakerja terindikasi salah sasaran karena sebesar 66,47 persen penerimanya justru berstatus bekerja.
Rendahnya efektivitas stimulus fiskal dan potensi moral hazard terjadinya Covid gate, membuat ’demam’ tinggi pengelolaan fiskal.
Rendahnya efektivitas stimulus fiskal dan potensi moral hazard terjadinya Covid gate, membuat ”demam” tinggi pengelolaan fiskal. Tidak mengherankan jika Kementerian Keuangan hampir dipastikan kelabakan menjaga kesehatan dan keberlangsungan fiskal ke depan.
Belum lagi, pemerintah tetap memaksakan diri melaksanakan pemilihan kepala daerah. Selain menyedot anggaran yang tidak prioritas, pilkada ini berpotensi membuat anggaran negara makin membengkak jika pengendalian Covid-19 tak kunjung selesai.
Meskipun vaksin Covid-19 ke depan diyakini akan menuntaskan persoalan kesehatan, ekonomi tidak akan segera pulih seketika. Pasca-Covid-19, hampir dipastikan akan terdapat perubahan dan dinamika dalam tatanan perekonomian global.
Ekonomi akan menuju keseimbangan baru sehingga perlu fokus menyelesaikan persoalan jangka pendek. Jangan sampai Indonesia terjebak ”sok” berpikir jangka panjang melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan proyek strategis nasional yang tidak tepat. Ibarat gajah di pelupuk mata tak tampak, tetapi semut di seberang lautan tampak.
*Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef)