Gas Bumi Menjadi Batu Loncatan Transisi di Indonesia
Peran gas bumi dalam bauran energi nasional akan semakin besar seiring dengan dikuranginya pemakaian batubara dan minyak bumi. Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur gas agar penyerapan gas optimal.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan gas bumi di Indonesia bakal kian masif dan akan menjadi batu loncatan penting dalam program transisi energi. Pemerintah telah mencanangkan target produksi gas bumi sebanyak 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Namun, pemerintah diingatkan untuk menggenjot pembangunan infrastruktur gas bumi di dalam negeri.
Sepanjang 2019, dari total konsumsi energi nasional yang mencapai 215 juta ton setara minyak (MTOE), porsi terbesar pasokan energi berasal dari batubara, yaitu 38 persen. Disusul kemudian penggunaan minyak 33 persen, gas bumi 20 persen, dan sisanya energi baru dan terbarukan sebesar 9 persen. Di masa mendatang, porsi gas akan semakin besar penggunaannya di Indonesia.
”Gas bumi akan menjadi bagian penting dalam transisi energi di Indonesia yang paralel dengan pengembangan energi baru dan terbarukan. Gas akan banyak menggantikan peran batubara di sektor industri,” kata Vice President Pertamina Energy Institute Hery Haerudin dalam acara ”Pertamina Energy Webinar 2020”, Selasa (8/12/2020).
Dalam paparannya, menurut Hery, penggunaan gas di 2050 akan meningkat menjadi 21 persen dalam bauran energi nasional. Adapun penggunaan batubara turun menjadi 20 persen dan minyak bumi menjadi 12 persen. Sejalan dengan perubahan itu, konsumsi energi baru dan terbarukan diperkirakan melonjak hingga menjadi 47 persen.
Gas akan banyak menggantikan peran batubara di sektor industri. (Hery Haerudin)
”Revisi kebijakan pemerintah yang menurunkan harga gas akan menimbulkan perubahaan konsumsi batubara ke gas bumi atau beralih sepenuhnya ke listrik,” ujar Hery.
Hery menambahkan, berkaca dari pengalaman sejumlah negara di Eropa yang menerapkan transisi energi, program tersebut dapat berjalan baik lantaran didukung dengan kebijakan yang kuat dan stabil. Apalagi, harga listrik dari energi terbarukan di Eropa ditetapkan dengan skema feed in tariff (harga berdasar biaya produksi). Selain itu, ekosistem industri pendukung program energi terbarukan ditumbuhkan dan dijaga dengan baik.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Arifin Rudiyanto menambahkan, pembatasan penggunaan energi fosil di Indonesia harus dibatasi sembari terus mengembangkan energi terbarukan.
Beberapa hal yang sedang dan akan dilakukan pemerintah adalah pembatasan produksi batubara, substitusi pemakaian elpiji dengan jaringan gas rumah tangga, serta pengoptimalan biodiesel dalam campuran bahan bakar minyak jenis solar.
”BUMN, khususnya Pertamina, membangun kilang yang khusus untuk mengolah minyak kelapa sawit (CPO) menjadi bahan bakar dengan kapasitas 20.000 barel per hari di Plaju, Sumatera Selatan. Ini menjadi bagian dari pencapaian target 23 persen energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional,” ucap Arifin.
Terkait dengan gas bumi, pemerintah menargetkan produksi sebesar 12 miliar barel kaki kubik per hari pada 2030. Target tersebut seiring dengan target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari di tahun yang sama. Sejumlah kalangan mengingatkan pemerintah agar turut membangun infrastruktur gas bumi di dalam negeri agar seluruh produksi gas yang ditargetkan dapat terserap sepenuhnya.
Pembatasan penggunaan energi fosil di Indonesia harus dibatasi sembari terus mengembangkan energi terbarukan.
Lapangan kerja
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menyatakan, program transisi energi di Indonesia berpeluang menciptakan lapangan kerja baru. Pasalnya, pemanfaatan sumber energi terbarukan akan semakin tinggi dalam rangka menuju target bauran energi nasional di 2025 dan 2050. Ia juga memastikan bahwa tidak akan ada pengangguran baru akibat transisi energi ini.
”Seakan-akan, apabila Indonesia beralih ke energi terbarukan, energi fosil, seperti minyak dan batubara, akan ditinggalkan dan industrinya terhenti sehingga muncul pengangguran. Tidak seperti itu. Konsumsi energi fosil masih ada kendati pemakaiannya dibatasi,” kata Djoko.
Mengutip data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mencapai 417.800 megawatt (MW). Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW. Dari semua potensi itu yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen saja. Sementara porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional masih sekitar 10,9 persen.