Realisasi Belanja Negara Diproyeksikan 96,4 Persen Tahun Ini
Realisasi belanja negara sepanjang 2020 diproyeksikan sebesar Rp 2.639,8 triliun atau 96,4 persen dari pagu APBN 2020. Lambatnya realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah jadi masalah yang berulang setiap tahun.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi belanja negara diproyeksikan sebesar Rp 2.639,8 triliun atau 96,4 persen dari pagu APBN 2020. Pemerintah mengintensifkan belanja di dua bulan terakhir tahun ini.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi belanja negara per 31 Oktober 2020 sebesar Rp 2.041,8 triliun atau 74,5 persen dari pagu APBN yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2020. Realisasi itu terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.343,8 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 698 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, pemerintah harus mengeksekusi belanja negara senilai Rp 798,7 triliun pada triwulan IV-2020. Dengan asumsi tersebut, realisasi belanja negara sepanjang 2020 diproyeksikan Rp 2.639,8 triliun atau 96,4 persen dari pagu APBN 2020.
”Sepanjang triwulan IV-2020, belanja pemerintah yang harus dieksekusi mencapai Rp 664,9 triliun, sementara TKDD Rp 133,8 triliun,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi pers, Selasa (1/12/2020).
Belanja negara akan dieksekusi secara lebih ekspansif pada November-Desember 2020 untuk mencapai target triwulan IV-2020. Eksekusi belanja bisa lebih cepat karena TKDD akan dicairkan satu kali lagi pada Desember 2020. Selain itu, beberapa program pemerintah juga baru terealisasi akhir tahun, seperti bantuan sosial dan dukungan korporasi.
Sri Mulyani menambahkan, eksekusi belanja tidak hanya mengandalkan instrumen APBN, tetapi juga harus didukung APBD. Pemerintah daerah memiliki peran penting untuk ikut mempercepat realisasi belanjanya. Total belanja APBD yang harus dieksekusi pada November-Desember sebesar Rp 402,3 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi belanja APBD sampai 31 Oktober 2020 baru Rp 678,41 triliun atau 62,77 persen dari pagu. Secara nominal realisasi belanja APBD tahun ini lebih rendah sekitar Rp 84,9 triliun dibandingkan dengan periode sama tahun 2019. Penurunan belanja dipengaruhi penurunan pendapatan asli daerah.
”Jika digabungkan, total belanja APBN dan APBD yang harus dieksekusi pemerintah pusat dan daerah pada triwulan IV-2020 sebesar Rp 1.201 triliun,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menekankan, belanja APBN dan APBD diharapkan terealisasi optimal pada akhir tahun. Realisasi belanja yang tinggi dibutuhkan untuk bekal menjaga momentum dan melanjutkan pemulihan ekonomi tahun depan. Pemulihan ekonomi pasti terjadi, tetapi kekuatan dan keberlanjutannya masih harus diupayakan.
Realisasi lambat
Secara terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Akhmad Akbar Susamto, mengatakan, lambatnya realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah menjadi masalah menahun. Eksekusi belanja cenderung menumpuk di akhir tahun anggaran. Bahkan, sebagian anggaran mengendap di rekening pemerintah daerah.
Tidak hanya terlambat, sejumlah alokasi anggaran juga kerap gagal dibelanjakan. Kegagalan pemerintah merealisasikan sebagian belanja akan mengurangi manfaat belanja bagi perekonomian. Hal lebih fatal terjadi jika alokasi anggaran yang gagal dibelanjakan justru memiliki efek pengganda yang besar.
”Pemerintah harus belajar dari masalah eksekusi belanja program pemulihan ekonomi nasional tahun ini. Hingga pertengahan November 2020, realisasi anggaran baru sekitar 60 persen,” kata Akbar.
Realisasi anggaran program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) per 25 November 2020 sebesar Rp 431,54 triliun atau 62,1 persen dari pagu. Realisasi anggaran untuk kesehatan Rp 40,31 triliun atau 41,18 persen pagu dan perlindungan sosial Rp 207,8 triliun (88,92 persen)
Adapun realisasi dana dukungan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebesar Rp 98,76 triliun atau 85,27 persen dari pagu, dukungan sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 36,25 triliun (54,94 persen), insentif usaha Rp 46,4 triliun (38,47 persen), dan pembiayaan korporasi Rp 2 triliun (3,21 persen).