China Temukan Lagi Jejak Virus Korona Tipe Baru pada Produk Perikanan RI
Pengawasan ketat proses produksi hingga distribusi tidak cukup menjamin keamanan produk perikanan dari kontaminasi virus korona tipe baru. Diperlukan pengawasan kesehatan karyawan secara berkala.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk ketiga kalinya, ditemukan jejak virus korona tipe baru pada kemasan dan produk perikanan yang dikirim dari Indonesia ke China. Indonesia perlu memastikan pengawasan ketat dari hulu ke hilir perikanan untuk memastikan produk yang diekspor memenuhi standar keamanan pangan.
Kepala Pusat Pengendalian Mutu Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP) Widodo Sumiyanto mengemukakan, investigasi tengah dilakukan menyusul temuan Otoritas Bea dan Cukai China (GACC).
Pada 26 November 2020, GACC mendeteksi kontaminasi virus penyebab Covid-19 pada kemasan produk ikan samge (fish croacker) beku asal Indonesia yang dikirim PT AL yang berdomilisi di Tangerang, Banten. Otoritas China meminta Indonesia menambah kelengkapan jaminan keamanan produk dalam sertifikat kesehatan. Kelengkapan itu berupa pencantuman penama kapal perikanan untuk produk perikanan tangkap yang diekspor ke China, wilayah penangkapan ikan, dan keterangan tertulis bahwa produk yang dipasok ke China sudah diuji Covid-19.
Widodo menambahkan, dalam perundingan yang alot, otoritas China juga meminta agar seluruh kapal perikanan Indonesia didaftarkan ke China sebagai persyaratan pembelian produk. Namun, Indonesia meminta agar kapal yang didaftarkan ke China hanya kapal-kapal yang terkait ekspor ke China.
Untuk mencegah kejadian berulang, tambah Widodo, pihaknya akan menerapkan pengawasan ketat hulu-hilir, mulai dari proses produksi penangkapan dan budidaya ikan, pengolahan, penyedia kemasan, hingga distribusi. Langkah lain adalah mengevaluasi unit pengolahan ikan yang mengekspor ikan ke China.
”Saya mohon maaf kepada masyarakat Indonesia karena belum mampu mencegah (temuan korona tipe baru) secara paripurna. Akan tetapi, kami berupaya meningkatkan sistem pengawasan perikanan dari hulu-hilir. Seluruh pihak harus berkomitmen,” ujarnya, Selasa (1/12/2020).
Pihaknya akan menerapkan pengawasan ketat hulu-hilir, mulai dari proses produksi penangkapan dan budidaya ikan, pengolahan, penyedia kemasan, hingga distribusi.
Kasus pertama ditemukan pada September 2020, yakni temuan virus korona tipe baru pada kemasan luar produk ikan layur beku yang dikirim PT PI yang berdomisili di Sumatera Utara. Kasus kedua diumumkan GACC pada 10 November 2020 berupa temuan kontaminasi virus korona tipe baru pada produk ikan bawal beku yang dikirim PT ALI yang berdomisili di Jawa Timur.
Hingga kini, otoritas China sudah menemukan jejak kasus virus korona tipe baru pada produk yang dikirim 18 negara ke China.
Dampak pandemi
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Artati Widiarti mengatakan, pandemi covid-19 pernah berdampak pada penurunan ekspor dan pengurangan kapasitas produksi di sejumlah daerah.
Saat ini, ekspor perikanan sudah berangsur normal. Meski demikian, ada negara tujuan ekspor yang memberlakukan penerapan syarat pemeriksaan lebih ketat terkait jejak Covid-19 sehingga perlu diperhatikan seluruh pelaku usaha.
”Kita semua perlu mencari solusi agar masalah tidak terjadi lagi dan ekspor bisa lancar kembali,” katanya dalam webinar bertema ”Bio-Security & Hygiene di Unit Pengolahan Ikan untuk Mengurangi Risiko Kontaminasi Covid-19”, Selasa.
Meski demikian, ada negara tujuan ekspor yang memberlakukan penerapan syarat pemeriksaan lebih ketat terkait jejak Covid-19 sehingga perlu diperhatikan seluruh pelaku usaha.
Artati meminta pelaku bisnis perikanan, pengolah, pemasok, dan pemasar produk perikanan untuk memperketat protokol kesehatan, termasuk proses produksi dalam mencegah penyebaran virus korona tipe baru.
”Seluruh level unit pengolahan ikan, baik skala mikro maupun besar, diharapkan dapat menerapkan biosekuritas dan higineitas plus sehingga dapat mengurangi risiko kontaminasi pada produk dan kemasan,” katanya.
Tim Ahli Global Quality and Standards Program (GQSP) SMART-Fish 2 Ahmad Poernomo menyebutkan, perikanan melibatkan banyak orang dan mata rantai. Unit pengolahan ikan yang memiliki armada perikanan tangkap perlu meninjau situasi dan kondisi kapal yang masih sulit menerapkan protokol kesehatan. Pelaku usaha pengolahan juga diminta meningkatkan keamanan dan kesehatan pekerja.
”Fokusnya (pelaku usaha) tidak ke pangan, tetapi pada aspek kesehatan dan keselamatan pekerja yang memengaruhi mutu dan keamanan pangan, di antaranya sanitasi dan higienitas,” katanya.
Menurut data KKP, sampai dengan triwulan III-2020, hasil perikanan yang diekspor ke 149 negara sebanyak 921.265 ton dengan nilai 4,28 miliar dollar AS. Volume ekspor itu meningkat sekitar 6 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019, yakni 867.266 ton atau senilai 4,01 miliar dollar AS ke 158 negara tujuan ekspor. (LKT)