Target produksi minyak mentah Indonesia sebanyak 1 juta barel per hari pada 2030 dianggap terlalu ambisius.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Sekali lagi, pemerintah berambisi memproduksi 1 juta barel minyak mentah di dalam negeri per hari pada 2030. Sementara produksi gas bumi ditargetkan 12 miliar standar kaki kubik per hari.
Mungkinkah target ambisius itu tercapai? Apakah Pemerintah Indonesia mampu mewujudkan rencana produksi sebanyak itu? Sebagian pertanyaan itu bernada pesimistis, yang dilatarbelakangi tata kelola hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia yang masih karut-marut.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 23 November 2020, produksi minyak mentah di dalam negeri 705.883 barel per hari dan gas bumi 6,5 miliar standar kaki kubik per hari. Mengacu pada target produksi migas pada 2030, ada kekurangan produksi minyak 295.000 barel per hari dan gas bumi kurang 5,5 miliar standar kaki kubik per hari.
Sejatinya, target produksi minyak sebanyak 1 juta barel per hari pada 2030 bukan yang pertama. Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 untuk mendorong pencapaian produksi minyak 1,01 juta barel per hari pada 2014. Faktanya, produksi minyak Indonesia pada 2014 sebanyak 795.000 barel per hari.
Mengacu pada target produksi migas pada 2030, kekurangan produksi minyak 295.000 barel per hari dan gas bumi kurang 5,5 miliar standar kaki kubik per hari.
Menurut pemerintah, sumber daya migas di Indonesia masih besar. Ada 68 basin (cekungan) yang sama sekali belum diteliti. Secara keseluruhan, ada 128 cekungan di Indonesia. Dari jumlah itu, 20 cekungan berhasil memproduksi migas, 27 cekungan gagal, dan 13 cekungan belum menghasilkan migas. Ada harapan menemukan cadangan baru di 68 cekungan lain.
Strategi pemerintah menuju produksi 1 juta barel pada 2030, antara lain, mengoptimalkan potensi sumur minyak, mempercepat status cadangan migas ke produksi, menerapkan metode pengurasan minyak tingkat lanjut, serta menggiatkan eksplorasi.
Namun, bagaimana dengan aturannya? Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengatur hulu migas. UU ini masih dalam proses revisi di DPR. Awal November 2020, pemerintah menerbitkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat perubahan tentang UU No 22/2001. Akan tetapi, tak banyak pembahasan di UU Cipta Kerja, kecuali perubahan status kegiatan usaha migas yang diganti dengan sistem perizinan.
Perubahan status tersebut menimbulkan pertanyaan baru. Bagaimana nasib kontrak bagi hasil hulu migas yang sudah ada dan berjalan selama ini? Ada dua jenis kontrak bagi hasil di Indonesia, yaitu skema biaya produksi yang dipulihkan (cost recovery) dan bagi hasil berdasar produksi bruto (gross split).
Bagaimana nasib kontrak bagi hasil hulu migas yang sudah ada dan berjalan selama ini?
Dengan dua skema itu, kontraktor berkontrak dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai representasi negara kendati statusnya bersifat khusus.
Melihat kenyataan itu, pelaku usaha hulu migas Indonesia bersikap realistis. Strategi pemerintah menuju 1 juta barel per hari pada 2030 memerlukan keekonomian yang lebih besar dibandingkan dengan saat ini. Ringkasnya, target itu perlu insentif yang lebih menarik daripada saat ini.
Apalagi, indeks daya tarik fiskal Indonesia di sektor hulu migas di bawah rata-rata indeks di dunia. Dari skala 0-5, indeks daya tarik fiskal Indonesia di angka 2,4, sedangkan rata-rata dunia 3,3. Indonesia dianggap sebagai negara yang kurang menarik untuk berinvestasi di sektor hulu migas.
Target 1 juta barel bukan mimpi, sepanjang pemerintah juga memperbaiki tata kelola hulu migas secara revolusioner. Apalagi, sisa waktu 10 tahun bukan waktu yang panjang di dunia migas. Target berhasil atau gagal, ada di tangan pemerintah sendiri.