Mereka Berjibaku Mempertahankan Sedapnya Aroma Kopi
Masa pandemi memaksa pengusaha minuman kopi mencari cara demi mempertahankan bisnis mereka. Di tengah lesunya roda perekonomian, kreativitas menjadi mutlak untuk menjaga kelangsungan usaha.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melambatnya perguliran roda ekonomi selama pandemi ini memukul banyak sektor, termasuk usaha kopi. Mereka yang bergelut di bidang ini mesti memutar otak demi mempertahankan sedapnya aroma kopi.
Kamis (19/11/2020) siang, sejumlah pengunjung menempati bangku-bangku yang disediakan di Koffie Nation. Kafe yang berada di Epiwalk, Jakarta Selatan, ini menyediakan pilihan ruang ber-AC dan luar ruangan. Beberapa pengunjung asyik bercengkerama, ada pula yang sibuk mengerjakan urusan pribadinya.
Setelah diperbolehkannya restoran menyediakan ruang untuk makan-minum di tempat, penjualan di Koffie Nation mulai bergeliat. Tempat ngopi yang mengandalkan pekerja kantor di sekitar pusat belanja ini juga mulai terisi seiring perkantoran yang menerapkan bekerja dari kantor lagi.
”Ada saja, sih, pengunjung yang datang. Tapi, jumlahnya masih jauh di bawah saat bulan Februari atau sebelum pandemi. Penjualan kami kini masih turun lebih dari 50 persen dibandingkan di Februari,” kata Michael Darmawan, pemilik Koffie Nation.
Ia mencontohkan, sebelum pandemi, tokonya bisa menghabiskan 50 kg biji kopi dalam sebulan. Setelah pandemi, stok 50 kg itu baru habis dalam 2-3 bulan.
Beragam cara ditempuh demi mempertahankan asap dapur mengepul. Saat tren kopi literan, Koffie Nation yang beroperasi sejak pertengahan tahun 2019 ini juga menawarkan kopi susu dalam kemasan 1 liter. Ada pula beragam varian minuman lain racikan kafe ini. Penjualan lewat situs belanja juga dilakukan.
Kini, tren kopi literan sudah surut. Kemungkinan, menurut Michael, lantaran sebagian orang kembali masuk kerja sehingga mereka memilih membeli kopi di kafe atau kios kopi. Selain itu, produsen minuman kopi juga menjamur. Sebagian di antaranya adalah mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja dan menjajal peruntungan di sektor usaha ini.
Sebelum pandemi, tokonya bisa menghabiskan 50 kg biji kopi dalam sebulan. Setelah pandemi, stok 50 kg itu baru habis dalam 2-3 bulan.
Untuk menjaring orang singgah ke kafe, kru Koffie Nation menyediakan paket makanan lengkap dengan es teh seharga Rp 40.000-an. Paket seperti ini menjadi pemikat bagi karyawan sekitar.
Paket-paket makanan-minuman dengan harga miring ini, menurut Michael, dilakukan hampir semua pemilik kedai kopi mulai dari yang kecil hingga kedai kopi berjejaring yang marak ditemui di pusat keramaian. Semua pengusaha seakan tengah bertahan di lesunya aktivitas ekonomi saat pandemi.
Meskipun penurunan tajam terasa di toko kopi, Michael mengatakan pemasukan dari penjualan langsung ini masih memberikan kontribusi terbesar di tempatnya. Sektor lain, yakni kursus barista, tengah lesu. ”Kami menawarkan paket kursus dengan harga promo hingga kini. Bahkan, kalau ada satu orang saja yang mau kursus, tetap kami layani. Sebelum pandemi, biasanya kami tunggu hingga 2-3 orang baru kursus diadakan,” ucapnya.
Michael menambahkan, penjualan biji kopi juga mulai dilakukan demi memperbesar peluang pemasukan. Awalnya, biji kopi direncanakan baru dijual mulai tahun 2021.
Cindy, pemilik gerai Inikopibudi di Sunter, Jakarta Utara, juga merasakan penurunan peminat kopi. ”Sekarang bahkan lebih parah lagi dibandingkan saat awal pandemi. Dulu, kami banyak terbantu dengan penjualan kopi literan. Beberapa konsumen bahkan membeli berkali-kali. Barangkali karena dulu belum banyak penjual kopi literan,” ujarnya.
Seiring dengan banyaknya pekerja yang kembali bekerja di kantor, menurut Cindy, penjualan kopi literan mulai turun. Sebagian orang juga sudah berani ngopi di kedai kopi atau di mal. Selain itu, pilihan kedai kopi juga kian banyak. Seperti disampaikan Michael, perang harga semua pengusaha kopi ikut berpengaruh pada penjualan di tempatnya. Kedai yang meracik kopi dengan teknik kopi tiam atau kopi pucung ini harus bertahan di tengah gempuran diskon dari pengusaha skala besar.
Penjualan daring pun tidak mudah karena pembeli bisa membandingkan harga antara satu produsen dan produsen yang lain. Padahal, ia juga sudah memudahkan pembeli dengan memakai layanan pesan antar makanan maupun di toko daring. Beberapa produk minuman kopi juga ditawarkan dalam paket dengan makanan ringan.
”Aku mengarah ke personal, sebar pesan di Whatsapp ke teman-teman tentang produk yang aku jual. Ini lumayan membantu,” kata Cindy yang sudah empat tahun menjual minuman kopi.
Aneka cara dilakukan untuk menggaet pembeli. Cindy mengatakan, pihaknya juga mengeluarkan jenis kopi saset, baik varian kopi hitam maupun kopi susu. Kopi saset dengan bahan baku kopi bubuk ini dipasarkan lewat daring dan baru dibuat apabila ada pesanan masuk.
Ia juga menjual biji kopi. ”Tapi ini baru untuk direct selling. Belum masuk ke daring,” katanya.
Colbert Theopan, Roasing Director PT Nagadi Kopi Indonesia, optimistis pasar minuman kopi akan tetap berkibar. ”Orang yang senang es kopi juga tetap ada, mereka yang mencari specialty coffee juga terus mengonsumsinya,” ucapnya.
Ia mengakui, di masa awal pandemi, permintaan biji kopi di tempatnya sempat menurun lebih dari 50 persen dibandingkan sebelum pandemi. Kini, penjualan mulai meningkat menjadi sekitar 70 persen dibandingkan sebelum pandemi. Sementara ini, pembeli masih didominasi pengusaha kafe yang memilih biji sangrai. Sebagian pembeli lain adalah eksportir kopi.