Kebijakan energi di Indonesia memerlukan penyesuaian baru, terutama mempertimbangkan dampak pandemi Covid-19. Konsistensi melaksanakan kebijakan dan pemanfaatan sumber energi yang beragam menjadi penting.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Tak banyak yang tahu sosok Dewan Energi Nasional. Padahal, tugas dan fungsi dewan ini sangat vital, yakni menyangkut perumusan kebijakan dan pengawasan energi di negeri ini. Tugas anggota dewan, khususnya dari unsur pemangku kepentingan, yang proses pemilihannya tengah berlangsung di DPR, cukup berat.
Dewan Energi Nasional (DEN) diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Berdasar undang-undang ini, tugas DEN adalah merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional, menetapkan rencana umum energi nasional (RUEN), menetapkan langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan bidang energi yang bersifat lintas sektoral.
Struktur keanggotaan DEN sebagai berikut: Presiden dan Wakil Presiden RI menjabat sebagai ketua dan wakil ketua DEN. Adapun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menjabat sebagai ketua harian. DEN juga memiliki anggota unsur pemerintah, yaitu Menteri Keuangan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Perhubungan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Riset dan Teknologi, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Adapun anggota DEN dari unsur pemangku kepentingan, yang saat ini tengah diseleksi DPR, terdiri dari perwakilan kalangan akademisi, industri, teknologi, lingkungan hidup, dan konsumen.
Kepengurusan DEN periode sebelumnya telah menghasilkan dua regulasi penting, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Selain UU terkait di sektor energi, dua produk hukum tersebut juga menjadi panduan bagaimana energi di Indonesia dikelola.
Yang paling disorot adalah peningkatan persentase energi baru dan terbarukan menjadi 23 persen pada 2025 dan sedikitnya 31 persen di 2050.
Salah satu contohnya adalah target-target bauran energi nasional. Yang paling disorot adalah peningkatan persentase energi baru dan terbarukan menjadi 23 persen pada 2025 dan sedikitnya 31 persen pada 2050. Kenaikan itu seiring dengan penurunan peran batubara dan minyak bumi. Sampai tahun ini, peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional baru 9 persen dan diragukan target 23 persen bisa tercapai pada 2025.
Begitu pula konsistensi soal produksi batubara nasional. Pada 2019, seharusnya produksi batubara dikurangi menjadi 400 juta ton saja. Faktanya, produksi batubara di tahun tersebut melesat menjadi 610 juta ton. Sementara target konsumsi listrik per kapita juga masih jauh dari yang direncanakan. Target 1.200 kWh per kapita tercapai sebanyak 1.084 kWh per kapita.
Dokumen-dokumen kebijakan energi seolah hanya di atas kertas, tetapi sulit sekali merealisasikannya. Tak heran, beberapa pihak menyuarakan pengkajian ulang kebijakan energi nasional di Indonesia. Salah satu indikator yang tak relevan adalah angka pertumbuhan ekonomi. Dalam rencana umum energi nasional, asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia dipatok 6-7 persen per tahun.
Harga minyak mentah global sempat anjlok hingga negatif. Permintaan batubara merosot. Sementara suara-suara transisi energi ke sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan terus menguat.
Apalagi, pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia turut mengacaukan tata kelola energi di hampir banyak negara. Harga minyak mentah global sempat anjlok hingga negatif. Permintaan batubara merosot. Sementara suara-suara transisi energi ke sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan terus menguat.
Anggota DEN 2020-2025 yang terpilih nanti harus menyadari bahwa dunia sedang bergerak ke arah sumber energi terbarukan yang berkelanjutan. Teknologi kian berkembang dan semakin efisien. Beberapa biaya pengadaan tenaga listrik dari sumber energi terbarukan menjadi jauh lebih murah ketimbang dari sumber energi fosil.
Indonesia, yang sudah menjadi negara pengimpor bersih (net importer) minyak sejak 2004, harus memiliki cara untuk memanfaatkan keragaman sumber energi di dalam negeri. Apalagi, Indonesia terbilang kaya untuk sumber energi terbarukan, seperti bahan bakar nabati, panas bumi, tenaga surya, bayu, atau hidro. Dengan keseluruhan potensi yang mencapai lebih dari 400 gigawatt, para pengambil kebijakan harus mampu mengorkestrasikan seluruh pemangku kepentingan agar sumber energi terbarukan dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Satu hal yang tak kalah penting adalah pelaksanaan rumusan tentang kebijakan energi sebaiknya mengabaikan faktor politik populis.