Pekerja formal yang terimbas efisiensi di perusahaannya bertahan di sektor informal selama pandemi Covid-19. Berbagai bidang usaha dicoba demi memenuhi pendapatan tambahan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga yang terdampak kebijakan efisiensi perusahaan bertahan dengan berbagai rupa pekerjaan sambilan selama pandemi Covid-19. Mereka yang terkena pemecatan atau pengurangan waktu kerja berupaya mendapat pemasukan tambahan, terlebih pada saat resesi ekonomi seperti sekarang.
Sebagian orang mengandalkan usaha penjualan produk makanan dan minuman sebagai sambilan. Indria Sari (32), misalnya, menekuni masakan nasi kuning sambal cakalang dengan model bisnis prapesan. Warga Bogor, Jawa Barat, ini mulai mendalami bisnis setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan keramik tempatnya bekerja.
Indria baru fokus pada bisnis ini sekitar Agustus 2020 silam, setelah mendapat kepastian PHK. Setelah berjalan sekitar empat bulan pada Kamis (12/11/2020) ini, masakannya kini bisa terjual 10 sampai 15 porsi dalam seminggu. Bisnis ini pun menjadi tumpuan ekonomi meski dia berkeras untuk mencari pekerjaan tambahan lain.
”Waktu setelah Lebaran sekitar Juli, perusahaan tempat saya kerja waktu itu sudah ngasih sinyal untuk mem-PHK karyawan. Dari situ saya cari ide untuk bisnis apa. Akhirnya kepikiran yang itu, untuk kecil-kecilan saja sambil cari usaha lain,” ungkapnya saat dihubungi, Kamis siang.
Bisnis semacam itu juga diandalkan Megah Putra Perkasa (45), warga Tangerang, Banten. Pilot maskapai penerbangan komersial ini sempat tidak bekerja berbulan-bulan selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Di waktu senggangnya sejak April lalu, dia dan istrinya berjualan produk pakaian perempuan.
Pada Juni, Megah juga memulai bisnis kedai mi ayam di kawasan perumahan Bumi Serpong Damai. Dua lini bisnisnya itu kini tetap berjalan meski dirinya mulai kembali sibuk dengan jadwal penerbangan. ”Penjualan bisnis saya tidak banyak, tetapi sangat lumayan untuk diandalkan saat jadwal penerbangan sedang lesu. Terutama untuk penjualan mi ayam kini masih berjalan lewat pengiriman secara daring,” ucap lelaki beranak empat ini.
Selain berjualan makanan, ada pula yang mengandalkan bisnis jasa. Gavriela Diandra Ganesh (25), misalnya, mengandalkan jasa ilustrasi desain grafis untuk penghidupan selama pandemi. Dia membuka imbalan terbuka bagi orang-orang yang memesan jasa ilustrasinya di media sosial. Selain itu, dia juga mengerjakan sejumlah pesanan ilustrasi dari teman-teman.
”Sejak kena lay off (pemberhentian) dari sebuah perusahaan digital, Juli kemarin, aku masih lanjut mengerjakan ilustrasi secara freelance. Ini pun masih sambil terus cari lowongan pekerjaan selama pandemi,” tuturnya.
Selama pandemi, makin banyak orang yang menjalankan pekerjaan sambilan untuk menambah penghidupan. Usaha yang tergolong pekerjaan informal ini makin digeluti seiring banyaknya PHK karyawan dari sejumlah perusahaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020 menunjukkan, porsi pekerja informal sebesar menjadi 60,47 persen atau 77,68 juta orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan Agustus 2019 yang hanya 55,88 persen. Jumlah pekerja informal tahun ini mendominasi dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja.
Sementara, porsi jumlah pekerja formal tahun ini hanya 39,53 persen atau 50,77 juta orang. Porsi tersebut makin turun dibandingkan Agustus 2019 yang masih 44,12 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, data tersebut mencerminkan jumlah orang-orang yang bekerja formal, seperti buruh, pegawai, dan karyawan, makin berkurang. Ada kecenderungan kalau mereka yang bekerja formal beralih menjadi pekerja informal. ”Peningkatan paling banyak di sektor informal ini ada pada mereka yang berstatus pekerja keluarga atau pekerja yang tidak dibayar,” ucapnya, Kamis (5/11/2020).
Suhariyanto menambahkan, pandemi berdampak luar biasa di sektor ketenagakerjaan. Selain banyak pekerja yang bergeser dari formal ke informal, semakin banyak pula pekerja berstatus tidak penuh yang berstatus setengah pengangguran serta pekerja paruh waktu.
Per Agustus 2020, pekerja penuh, yaitu orang yang bekerja minimal 35 jam per minggu, turun dari 71,04 persen menjadi 63,85 persen dari total penduduk bekerja. Pekerja setengah pengangguran meningkat dari 6,42 persen menjadi 10,19 persen. Sementara, porsi pekerja paruh waktu meningkat dari 22,54 persen menjadi 25,96 persen.
Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, penambahan pekerja informal adalah konsekuensi logis dari situasi pandemi. Kondisi pekerja informal itu mesti dibantu oleh pemerintah. Selama ini, bantuan lebih banyak diarahkan untuk pekerja formal yang terdaftar di BP Jamsostek, seperti pada program subsidi upah.
Faisal menyarankan, dalam jangka menengah dan panjang, struktur ketenagakerjaan yang berat di sektor informal ini harus diubah. Solusi yang dapat ditempuh adalah menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja baru untuk menyerap kembali pekerja informal itu ke sektor formal.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sebelumnya menyatakan, pemerintah masih menghadapi kendala untuk pendataan pekerja informal lantaran terlalu sporadis. Data yang terhimpun selama ini lebih banyak dari pekerja formal.
Ke depan, melalui portal baru yang dikelola bersama BPS, Ida berharap pendataan pekerja informal lebih tertata. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Ketenagakerjaan lebih banyak memberi perlindungan untuk pekerja formal dibandingkan informal. Oleh karena itu, lewat UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah ingin menarik lebih banyak pekerja informal ke sektor formal.