Paduan APBN dan Reformasi Struktural untuk Pemulihan Ekonomi
Pemerintah memadukan penggunaan APBN dan reformasi struktural dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan ekonomi tak bisa hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Instrumen kebijakan makro juga mesti dibarengi reformasi struktural untuk mengatasi masalah daya saing, produktivitas, dan kualitas sumber daya manusia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, APBN tidak sanggup mengompensasi seluruh biaya pemulihan ekonomi. Defisit APBN tahun 2020 dan 2021 sudah cukup besar. Pada 2020, defisit APBN ditargetkan 6,34 persen produk domestik bruto (PDB), sementara defisit APBN tahun 2021 dipatok 5,71 persen PDB.
”Defisit APBN masih besar untuk mendukung pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19,” kata Sri Mulyani dalam forum diskusi sektor finansial yang diselenggarakan CNBC, Selasa (10/11/2020).
Instrumen kebijakan makro harus dibarengi kerja keras mengatasi permasalahan daya saing, produktivitas, dan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Krisis Covid-19 bukan alasan untuk berhenti berbenah. Momen krisis harus dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi domestik melalui langkah-langkah struktural.
Oleh karena itu, tambah Sri Mulyani, pemerintah mempercepat pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan sapu jagat ini akan memberikan berbagai kemungkinan baru bagi perekonomian Indonesia di masa mendatang. Harapannya, potensi dan inovasi dapat terwadahi lebih efisien sejalan dengan upaya deregulasi dan debirokratisasi.
”Pemerintah akan menggunakan instrumen APBN bersama reformasi struktural,” kata Sri Mulyani.
Presiden Joko Widodo dalam sejumlah kesempatan menyebutkan lima fokus utama reformasi struktural, yakni pengembangan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi dan alur birokrasi, serta transformasi ekonomi. Reformasi struktural tidak akan berhenti kendati dalam kondisi krisis.
Harapannya, potensi dan inovasi dapat terwadahi lebih efisien sejalan dengan upaya deregulasi dan debirokratisasi.
Sri Mulyani menambahkan, pemerintah memosisikan Indonesia berbeda dari negara-negara berkembang lain. Pemerintah tidak hanya fokus menangani Covid-19, tetapi juga memulihkan ekonomi. Pemulihan ekonomi tetap harus dilakukan untuk menjamin kesejahteraan penduduk rentan.
Pada 2021, agenda reformasi struktural tetap dilancarkan. Hal ini tecermin dalam alokasi anggaran pendidikan yang mencapai Rp 550 triliun atau 20 persen dari total belanja pemerintah. Alokasi terbesar kedua adalah pembangunan infrastruktur sebesar Rp 413 triliun, ditambah pengembangan teknologi informasi Rp 30 triliun.
Sentimen vaksin
Sri Mulyani menambahkan, perekonomian global mulai bergerak ke arah tren pemulihan setelah terperosok cukup dalam pada triwulan II-2020. Pemulihan ekonomi juga didukung sentimen positif dari progres pengembangan vaksin yang diproduksi perusahaan farmasi asal Amerika Serikat, Pfizer.
”Efektivitas vaksin menimbulkan sentimen positif di seluruh dunia,” kata Sri Mulyani.
Mengutip Reuters, vaksin Covid-19 yang dikembangkan Pfizer dan BioNTech dinilai 90 persen efektif mencegah infeksi virus berdasarkan uji klinis fase III yang kini sedang berlangsung. Uji klinis tahap III dilakukan terhadap 43.000 sukarelawan sejak Juli 2020. Dari 43.000 sukarelawan itu, ditemukan 94 orang tertular Covid-19.
Menurut Sri Mulyani, pemulihan ekonomi nasional dan global sangat tergantung pada penemuan vaksin. Penanganan Covid-19 tetap menjadi prioritas pertama, setelahnya baru pemulihan ekonomi. Selama Covid-19 belum tertangani, ekonomi tidak akan pulih ke kondisi normal karena pembatasan sosial dan wilayah tetap diberlakukan.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menambahkan, penemuan dan pendistribusian vaksin akan menumbuhkan kepercayaan dunia usaha untuk keluar dari krisis. Optimisme pelaku usaha dari kelompok menengah ke atas saat ini sudah mulai bangkit kembali.
”Pengusaha tengah bersiap untuk ekspansi dan tumbuh kembali. Ini hanya masalah waktu,” kata Wimboh.
Optimisme pelaku usaha dari kelompok menengah ke atas saat ini sudah mulai bangkit kembali.
Secara terpisah, ekonom yang juga Menteri Keuangan periode 2013-2014, M Chatib Basri, mengungkapkan, semua negara di dunia termasuk Indonesia saat ini dalam masa bertahan, bukan dalam masa pemulihan. Kondisi ekonomi diperkirakan kembali normal paling cepat pada 2022 dengan asumsi vaksin mulai terdistribusi pada tahun 2021.
”Saat ini jangan dulu bicara tentang pertumbuhan, yang penting perekonomian tidak terpuruk. Setelah pandemi bisa teratasi, baru bicara pemulihan ekonomi,” kata Chatib.