Asuransi Syariah Dinilai Lebih Transparan dan Adil
Di tengah meningkatnya kebutuhan proteksi jiwa dan kesehatan selama pandemi Covid-19, produk asuransi syariah menjadi salah satu alternatif yang bisa dipilih nasabah.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah meningkatnya kebutuhan proteksi jiwa dan kesehatan selama pandemi Covid-19, produk asuransi syariah menjadi salah satu alternatif yang bisa dipilih nasabah. Konsep keadilan dan transparansi dalam produk syariah menjadi keunggulan yang bisa menarik minat nasabah untuk berasuransi.
Peningkatan kebutuhan proteksi terkait kesehatan tergambar dalam survei Manulife Asia Care terhadap 300 nasabah asuransi di Indonesia selama pandemi. Sebanyak 72 persen nasabah berencana untuk membeli tambahan asuransi, dalam 18 bulan ke depan, akibat adanya pandemi Covid-19.
Direktur dan Chief Employee Benefit dan Syariah Distribution Manulife Indonesia Karjadi Pranoto dalam webinar Kompas Talks, Selasa (10/11/2020), mengatakan, sebanyak 34 persen responden ingin menambah produk terkait penyakit kritis. Diikuti produk asuransi jiwa oleh 30 persen responden, kesehatan 30 persen, dan rawat inap 29 persen.
Atas dasar itu, Karjadi mengatakan, pihaknya pun meluncurkan produk asuransi jiwa dan kesehatan berbasis syariah pada Oktober 2020. Produk asuransi syariah disebut menjadi alternatif asuransi yang berkeadilan dan mengutamakan transparansi sehingga bisa dimanfaatkan masyarakat dari berbagai kalangan.
”Produk syariah harus berbasis resharing, tidak hanya berbagi risiko. Lalu, ada akad yang jelas dan keterbukaan atas dana yang digunakan. Produk syariah juga lebih aman dari produk konvensional karena diawasi dewan pengawas syariah,” tuturnya dalam webinar dengan topik ”Proteksi Diri Syariah untuk Semua”.
Deputi Direktur Industri Keuangan Non-bank (IKNB) Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rini Cakti Yuliani menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, asuransi syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri dari perjanjian antara perusahaan asuransi syariah (akad tijarah atau jual beli) dan pemegang polis serta perjanjian di antara para pemegang polis (akad tabarru’ atau dana sosial), dalam rangka pengelolaan kontribusi.
Berdasarkan prinsip syariah, pengelolaan kontribusi atau iuran digunakan untuk saling menolong dan melindungi, antara lain, dengan cara memberikan penggantian kepada pemegang polis karena risiko yang diderita pemegang polis.
Konsep tersebut berbeda dengan asuransi konvensional yang lebih memindahkan risiko karena perusahaan asuransi yang menanggung risiko dengan biaya premi atau kontribusi yang alokasi dananya dimiliki perusahaan. Sementara di asuransi syariah, ada dua alokasi dana berbeda, yakni dana kolektif peserta dan dana perusahaan yang dapat digunakan sebagai upah jasa pengelolaan dana.
Dalam hal pengelolaan investasi dalam asuransi syariah, prinsip syariah juga dijalankan dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Pengawasan produk syariah pun berganda karena dibantu OJK.
”Produk asuransi syariah aman, transparan, dan bisa untuk semua,” kata Rini.
Sebagai alternatif, produk asuransi syariah pun terus bertumbuh di Tanah Air yang mayoritas berpenduduk Muslim. Selama 2012-2019, aset asuransi syariah mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 19,27 persen per tahun, sedangkan kontribusi tumbuh 13,35 persen per tahun. Pada tahun 2019, aset asuransi syariah tumbuh sebesar 8,33 persen dan kontribusi naik sebesar 21,77 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar berpendapat, konsep asuransi syariah menjamin proteksi yang sebenar-benarnya sehingga menciptakan ketenangan batin dan pikiran. Konsep syariah pada asuransi juga tidak eksklusif untuk umat Islam, tetapi juga seluruh kalangan.
Konsep ekonomi syariah kini juga tren di negara-negara Barat yang tidak berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Inggris dan Perancis. ”Syariah bukan ancaman bagi negara non-Muslim, malah menjadi alternatif bisnis,” katanya.