Orientasikan Perjanjian Internasional pada Sumber Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia berpotensi mengoptimalkan perjanjian perdagangan internasional. Tidak hanya di tataran peningkatan ekspor, tetapi juga untuk menguatkan posisi dalam rantai pasok global dan investasi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Iklim perdagangan dunia dinilai semakin tidak menentu akibat pandemi Covid-19. Namun, Indonesia dapat menghadapi ketidakpastian itu dengan mengarahkan perjanjian perdagangan internasional pada keseimbangan sumber pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, iklim perdagangan internasional terus-menerus berubah sehingga menuntut sejumlah penyesuaian, baik oleh pemerintah maupun pelaku bisnis. Dalam situasi tersebut, Indonesia mesti bisa menavigasi. Salah satunya dengan menyeimbangkan empat sumber pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi domestik, belanja pemerintah, investasi, dan ekspor.
”Ketergantungan terlalu besar pada satu atau dua sumber (pertumbuhan) menempatkan Indonesia pada risiko kelumpuhan apabila terdapat perubahan signifikan di tingkat global dan domestik,” ujarnya dalam telekonferensi pers ”Normal Baru Perdagangan Internasional” di Jakarta, Jumat (6/11/2020).
Indonesia mesti bisa menavigasi. Salah satunya dengan menyeimbangkan empat sumber pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi domestik, belanja pemerintah, investasi, dan ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan-III 2020 minus 3,49 persen secara tahunan. Namun, kondisi ini lebih baik daripada pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 yang minus 5,32 persen. Dua kali pertumbuhan ekonomi secara triwulanan yang negatif ini membuat Indonesia masuk jurang resesi.
Ekspor dan impor pada triwulan III-2020 terkontraksi cukup dalam, masing-masing tumbuh minus 10,82 persen dan minus 21,86 persen secara tahunan. Kendati begitu, dibandingkan dengan triwulan II-2020, pertumbuhan ekspor mengalami perbaikan, sedangkan impor justru semakin terkontraksi. Pada triwulan II-2020, ekspor tumbuh minus 11,68 persen, sedangkan impor minus 16,98 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat, Indonesia berpotensi mengoptimalkan perjanjian dan fasilitas perdagangan internasional, tak hanya di tataran peningkatan ekspor. Perjanjian dan fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan untuk menguatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok global dan menderaskan arus investasi.
Ia mencontohkan, perpanjangan fasilitas Sistem Tarif Preferensial Umum (GSP) untuk Indonesia oleh Amerika Serikat (AS). ”Jangan melihat GSP hanya untuk meningkatkan ekspor ke AS. Lebih jauh lagi, GSP dapat menjadi daya tarik Indonesia bagi negara-negara lain yang tengah mencari hub produksi,” ujarnya.
Jangan melihat GSP hanya untuk meningkatkan ekspor ke AS. Lebih jauh lagi, GSP dapat menjadi daya tarik Indonesia bagi negara-negara lain yang tengah mencari hub produksi.
Data BPS menunjukkan, sepanjang Januari-September 2019, nilai ekspor Indonesia ke dunia mencapai 117,19 miliar dollar AS, lebih rendah 5,81 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019. Adapun impornya senilai 103,68 miliar dollar AS atau merosot 18,15 persen secara tahunan.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi asing sepanjang Januari-September 2020 mencapai Rp 301,7 triliun. Nilai investasi ini turun 5,1 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja mengemukakan, pelaku usaha dan industri mendukung terciptanya perjanjian perdagangan internasional. Namun, perjanjian tersebut jangan hanya menyoal perluasan akses pasar, tetapi juga berorientasi pada peningkatan kapasitas dan daya saing industri nasional.
”Hal ini membuat industri nasional bisa menjadi alternatif global dan basis produksi regional yang kompetitif dalam rantai pasok dunia,” katanya saat dihubungi.
Perjanjian tersebut jangan hanya menyoal perluasan akses pasar, tetapi juga berorientasi pada peningkatan kapasitas dan daya saing industri nasional.
Iman juga memaparkan perkembangan sejumlah perundingan internasional. Dua di antaranya adalah Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Korea Selatan (IK-CEPA).
Menurut Iman, Kementerian Perdagangan cukup optimistis dengan RCEP yang saat ini sudah di tahap final. Pada 15 November 2020, perkembangan finalisasi RCEP bisa dilaporkan ke menteri. ”Saya tidak bisa memberikan informasi lebih jauh, tetapi kami sedang berupaya menyelesaikannya minggu depan. Selain itu, kami tetap terbuka pada India apabila ingin bergabung lagi,” katanya.
Selain RCEP, IK-CEPA telah mencapai tahap akhir negosiasi. Kesepakatan subtansial terhadap IK-CEPA ditandai dengan penandatanganan dokumen oleh perwakilan kedua negara pada Oktober 2019.
Beberapa waktu lalu, Mercosur atau Pasar Umum Amerika Selatan menghubungi Kementerian Perdagangan karena tertarik untuk membuat perjanjian perdagangan dengan Indonesia. Di kawasan pasar ekonomi Amerika Selatan tersebut, Indonesia juga telah memiliki Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif dengan Chile (IC-CEPA) yang sudah berlaku sejak Agustus 2019. Chile bisa menjadi pintu masuk Indonesia ke kawasan tersebut.
Terkait dengan optimisme pemerintah terhadap penyelesaian RCEP dan IK-CEPA, Shinta menyatakan, pelaku usaha dan industri menantikan penandatanganan kedua perjanjian itu. Salah satunya karena potensi pasarnya sangat bagus dalam membantu meningkatkan kegiatan ekonomi nasional untuk keluar dari kondisi krisis.
Meskipun setelah penandatanganan membutuhkan waktu 1-2 tahun untuk ratifikasi, kedua perjanjian itu membawa sinyal positif terhadap pertumbuhan kegiatan ekonomi nasional. ”Penandatanganan perjanjian meningkatkan kepastian bisnis yang dapat berdampak pada investasi dan ekspor,” katanya.