Menanti Konsistensi Kebijakan Pemerintah untuk Nelayan
Mewujudkan kehidupan nelayan yang sejahtera masih merupakan pekerjaan rumah. Dukungan dan perlindungan dari pemerintah dibutuhkan untuk mewujudkan hal itu.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI
·3 menit baca
Minimnya dukungan serta perlindungan pemerintah dan kurangnya modal menjadi tantangan terbesar dalam upaya menciptakan kesejahteraan nelayan. Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pada pekan ketiga Oktober lalu.
Sebanyak 63,6 persen responden jajak pendapat ini menyatakan, nelayan kecil dan sedang (pemilik perahu atau kapal ikan berbobot di bawah 10 gros ton) belum merasakan kesejahteraan. Hanya 21 persen responden yang merasa kesejahteraan nelayan sudah membaik.
Terkait dengan buruknya kesejahteraan nelayan di Tanah Air, separuh lebih responden menyatakan, dua masalah utama nelayan adalah kekurangan modal dan kurangnya perlindungan dari pemerintah. Menurut 54,3 persen responden, perlindungan terhadap nelayan di laut pada saat ini justru lebih buruk. Masalah lain yang dihadapi nelayan adalah kurangnya pelatihan atau pendidikan.
Selain itu, hampir tiga perempat responden menyatakan, ada tiga hal yang paling mendesak dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan nelayan. Tiga hal itu adalah sosialisasi ilmu budidaya perikanan, pemberian dana simpan-pinjam untuk mendukung usaha nelayan, dan peremajaan fasilitas penunjang untuk nelayan.
Belum optimalnya upaya mendorong kesejahteraan nelayan tidak lepas dari kebijakan yang kurang pro-nelayan.
Belum optimalnya upaya mendorong kesejahteraan nelayan tidak lepas dari kebijakan yang kurang pro-nelayan. Pada periode II pemerintahan Presiden Joko Widodo, setidaknya ada perbedaan dalam tujuh isu terkait nelayan dan perikanan jika dibandingkan periode pemerintahan sebelumnya. Isu itu terkait pencurian ikan, batas minimum usaha baru penangkapan ikan, pungutan hasil perikanan untuk perikanan tangkap, penangkapan benih lobster, batasan kapal pengangkut ikan hidup, reklamasi Teluk Benoa, dan alat penangkapan ikan hidup.
Dari tujuh isu itu, kebijakan pada empat isu telah resmi berubah. Adapun perubahan pada tiga isu lain tengah disiapkan. Dari perubahan kebijakan dalam empat isu (pencurian ikan di Indonesia, batas minimum usaha baru penangkapan ikan, penangkapan benih lobster, dan alat penangkapan ikan yang dilarang), tampak adanya perubahan kebijakan pemerintah.
Sebut saja kebijakan pemerintah terkait penangkapan benih lobster. Sebelumnya, menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016, pemerintah melarang penangkapan benih lobster. Lobster yang ditangkap juga harus memiliki berat di atas 200 gram atau panjang karapas di atas 8 sentimeter. Selain itu, ada larangan menjual benih lobster untuk dibudidayakan.
Larangan ini lalu dihapus pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua melalui Permen KP No 12/2020.
Perubahan juga terjadi dalam kebijakan terkait alat penangkapan ikan yang diizinkan. Sebelumnya, puluhan alat tangkap ikan berjenis pukat, cantrang, dogol, payang, dan seines dilarang digunakan di Indonesia sesuai dengan Permen No 2/Permen-KP/2015 dan Permen KP No 71/2016.
Namun, dengan Instruksi Menteri Kelautan dan Perikanan No B.717/MEN-KP/XI/ 2019, ada delapan alat tangkap ikan yang dikeluarkan dari larangan. Delapan alat itu ialah pukat cincin pelagis kecil dengan dua kapal, pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal, payang, cantrang, pukat hela dasar udang, pancing berjoran, pancing cumi mekanis (squid jigging), dan huhate mekanis.
legalisasi alat tangkap yang sebelumnya dilarang itu tidak berpihak kepada nelayan kecil.
Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menyebutkan, legalisasi alat tangkap yang sebelumnya dilarang itu tidak berpihak kepada nelayan kecil. Ini karena alat tangkap itu cenderung hanya dapat digunakan oleh kapal-kapal besar milik korporasi (Kompas, 3/11/2020).
Akhirnya, tanpa adanya keberpihakan dari pemerintah, nelayan kecil di Indonesia akan terus terpinggirkan.